Oleh: Hilman Latief*
Saat ini, “kebangkitan zakat” telah menjadi tagline dan agenda besar Badan Amil Zakat Nasional untuk periode 2016-2020. Harapan masyarakat bahwa zakat dapat berkontribusi menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan memang begitu besar, setidaknya dalam 20 tahun terakhir.
Beberapa kebijakan telah dilakukan pemerintah dan DPR ditandai dengan lahirnya UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sebagai revisi UU No 38 Tahun 1999 tentang hal yang sama. Peraturan lainnya sebagai turunan dari undang-undang yang ada juga sudah siap saji.
Seiring dengan itu, semangat kebangkitan zakat juga digelorakan oleh Ketua Baznas saat ini, Prof Bambang Sudibyo, yang juga pernah menjabat menteri ekonomi dan menteri pendidikan nasional. Estimasi potensi zakat saat ini di Indonesia mencapai Rp 240 triliun (meningkat dari sebelumnya yang ‘hanya’ Rp 217 triliun).
Para pengelola dana filantropi Islam (zakat, infak, dan sedekah) muncul di mana-mana dan dikelola lebih terstruktur dan sebagian di antaranya sangat profesional. Lembaga filantropi yang mulai berkecambah, terutama sejak akhir 1990-an itu mampu mengelola dana dalam program pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan yang lebih terpola dan cukup terukur.
Dibanding lembaga amil zakat informal di masjid-masjid, lembaga filantropi modern lebih punya greget karena penampilan dan visibilitasnya di mata publik lebih kuat, meskipun dilihat dari tingkat keberhasilannya mengentaskan kemiskinan masih bisa diperdebatkan.
Justru dalam konteks inilah konsep kemiskinan layak untuk dieksplorasi kembali dan didefinisi ulang, seiring dengan perubahan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di Indonesia. Apalagi, salah satu tujuan dari munculnya lembaga zakat adalah untuk mengentaskan kemiskinan.
Jumlah orang miskin di Indonesia selalu diperdebatkan karena ukuran yang digunakan pemerintah, lembaga swadaya, ataupun agensi internasional tidak selalu sama. Pertanyaannya, apakah cukup berbicara tentang kemiskinan dengan ukuran pendapatan per hari dan bagaimana pula lembaga zakat merumuskan agenda pengentasan kemiskinan?
Kemiskinan multidimensi Sebetulnya Islam cukup komprehensif memfungsikan zakat/sedekah, khususnya dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas hidup manusia. Terdapat delapan golongan yang berhak menerima zakat, yaitu fakir, miskin, ibnu sabil, mualaf (termasuk non-Muslim dan yang baru berislam yang hatinya cenderung dekat dengan Islam dan tidak memusuhi Islam), riqab (hamba sahaya), gharamin (orang-orang yang berhutang), amilin (pengelola dana zakat), ibnu sabil, dan fi sabilillah.
Hal yang belum banyak dilakukan adalah membangun interpretasi baru terhadap konsep delapan asnaf itu. Beberapa tahun silam, ketika berbicara zakat, sosok seperti Masdar F Masudi, yang sekarang juga menjadi salah satu ketua di Baznas, mencoba interpretasi dan cara pembacaan yang baru terhadap delapan asnaf itu. Dalam pengertian belum dapat diterima publik yang lebih luas, mungkin karena cara pandangnya yang menyejajarkan zakat dan pajak.
Kita memang tidak cukup untuk menghitung angka kemiskinan hanya berdasarkan pada pendapatan (income) semata. Misalnya, yang disebut miskin adalah yang penghasilannya di bawah satu atau dua dolar per hari. Kebutuhan itu tak hanya terbatas pada sandang (bisa berpakaian), pangan (bisa makan), dan papan (punya tempat tinggal).
Pada era modern, pembacaan dan pemaknaan masalah kemiskinan harus diperluas, termasuk memasukkan standar tertentu yang disasarkan pada studi terbaru. Misalnya, sandang dapat diterjemahkan ke dalam pakaian yang layak dan baik, pangan terkait standar kecukupan gizi, dan papan terkait standar minimum rumah yang layak dan sehat. Bila membaca dengan cara demikian, pengelolaan dana zakat sudah harus lebih transformatif-kontekstual.
Belakangan ini konsep kemiskinan sudah banyak dikaji. Salah satu yang mulai banyak dibaca adalah konsep kemiskinan multidimensi. Pada 2010, the University of Oxford dan United Nation Development Program mengkaji hal ini dan merumuskan multidimentional poverty index (MPI). Dalam MPI, yang disebut miskin tidak terbatas pada berapa penghasilan seseorang, tapi lebih fokus pada hal-hal berikut.
Pertama, kesehatan yang buruk karena terbatasnya pengetahuan masyarakat serta akses sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Tak sedikit masyarakat yang masih bergelut dengan gaya hidup yang tidak sehat dan saat yang sama sulit mendapatkan layanan kesehatan karena terbatasnya akses (kekurangan dan kesalahan administrasi, lokasi yang jauh, atau transportasi terbatas).
Saya teringat dengan relawan yang mengurusi penderita TB (yang sebagian besar mereka miskin dan sangat miskin) di beberapa daerah. Para relawan menceritakan beberapa penderita TB banyak yang semakin parah (sebagian meninggal) karena tidak mampu berobat.
Kedua, pendidikan yang rendah. Catatan dari UNICEF ataupun lembaga riset menunjukkan, jutaan orang masih tidak bisa menikmati pendidikan tingkat lanjut (SMP-SMA) dan ratusan ribu lainnya belum sempat menikmati indahnya bermain di SD.
Ketiga, standar hidup yang tidak layak. Di banyak tempat, khususnya di penjuru kota besar, masih banyak daerah kumuh yang tidak layak untuk hidup dengan baik. Di perdesaan, tempat tinggal yang tidak layak, sanitasi yang jauh dari sehat, air bersih yang masih sulit diakses, dan lainnya.
Keempat, tersisihkan dan tak terberdayakan. Masih banyak kelompok marginal (pinggiran) yang belum tersentuh program pemerintah baik di perdesaan maupun perkotaan. Dan tidak sedikit pula kelompok minoritas tertindas yang tidak mendapatkan akses memadai untuk hidup layak karena diskriminasi. Dalam konteks lain, keadilan gender atau sikap diskriminatif terhadap perempuan karena norma budaya dan tradisi, misalnya, masih banyak terjadi.
Kelima, pekerjaan yang tidak berkualitas. Indonesia adalah salah satu negara dengan pekerja informal terbesar di dunia. Artinya, masyarakat mencari nafkah sedapatnya tanpa masuk dalam bingkai program pemerintah di bidang ekonomi. Pekerjaan yang dilakukan jauh dari cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, terlebih untuk meningkatkan kualitas hidup.
Keenam, kurangnya rasa aman dari tindakan kekerasan. Rendahnya tingkat pendidikan, terbatasnya pengetahuan, dan tingginya pengangguran menjadikan watak masyarakat mudah tersulut melakukan kekerasan. Kekerasan masih bisa disaksikan, seperti di rumah, tempat kerja, bahkan di ruang publik. Perbudakan modern menjadi kasus yang kerap muncul.
Kualitas hidup
Bila kita mempertimbangkan kemiskinan multidimensi, lembaga-lembaga filantropi dan amil zakat juga akan tertuntut untuk merumuskan agenda perubahan sosial yang menjadi tujuannya. Model pendistribusian dana-dana zakat tidak lagi cukup dalam bentuk paket (satu kardus atau satu kantong kresek) berisi sembako.
Program pemberdayaan dan penguatan kapasitas masyarakat menjadi tidak bisa diabaikan lagi. Sesuai perintah Alquran (QS at-Taubah[9]: 103), distribusi dana zakat, infak, dan sedekah kepada kelompok yang berhak menerimanya haruslah sampai pada tahapan membuat mereka nyaman dan aman serta merasa terjamin (sakanun lahum), tak hanya pada hari mereka menerima bantuan, tapi juga mendatang karena mereka bisa bangkit.
Untuk memerangi kemiskinan multidimensi, tentu masih banyak agenda yang harus diselesaikan. Termasuk mengedukasi praktik berzakat dan mengelola zakat. Kaum Muslimin yang wajib berzakat dapat menyalurkan zakatnya melalui lembaga amil tepercaya dan memiliki akuntabilitas yang baik, saat yang sama mereka memberikan sebagian infaknya langsung kepada kerabat atau keluarga dekat.
Pengelola zakat juga dituntut tampil lebih profesional dan akuntabel agar program mereka mendapatkan dukungan kuat dari publik. Dan yang juga sangat penting, agenda distribusi dana filantropi dapat, bahkan harus disertai data akurat dan riset memadai sehingga dampaknya lebih terukur.
Kita patut bersyukur, sudah banyak donatur besar, baik para pengusaha maupun mantan pejabat tinggi serta masyarakat biasa yang sudah memberikan kepercayaan kepada lembaga filantropi Islam atau amil zakat. Kita berharap, gerakan filantropi Islam di Indonesia kuat membangun kemaslahatan masyarakat.
Kerja sama antarlembaga filantropi menjadi tidak dapat diabaikan lagi. Dalam situasi kompleks sekarang, bukan masanya lagi lembaga filantropi Islam ‘main’ sendiri-sendiri. Negara tentunya memiliki tanggung jawab utama membangun kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas hidup, dan mencetak manusia bermutu. Negara juga perlu menerima kehadiran lembaga masyarakat sipil sebagai mitra meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
*)Hilman Latief, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ketua Badan Pengurus Lazismu Pimpinan Pusat Muhammadiyah