I Am a Amil

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Penulis: @Nana Sudiana (Sekjend FOZ & Direktur Pendayagunaan IZI)

 

“Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya” 

 

Sahabat Amil yang dirahmati Allah…

Berbahagialah kita saat ini yang masih diberikan amanah sebagai amil zakat. Sebuah posisi yang bila amanah dan ikhlas, bukan saja akan membawa kebaikan pada diri kita dan keluarga, juga dapat membawa kebaikan bagi banyak masyarakat dhuafa penerima zakat yang membutuhkan. Menjadi amil juga adalah sarana kita menjadi bagian mata rantai kebaikan yang terus bergerak dari satu bagian ke bagian lainnya, dari satu masa ke masa berikutnya.

Menjadi amil yang baik akan semakin mantaf bila kita memahami dan mengenal dengan baik dunia amil zakat ini. Sebagaimana ungkapan di awal tulisan ini, “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya”. Ungkapan ini harus diakui memang bukan hadits namun di dalamnya memang memiliki nilai kebaikan, makanya kita sebut saja ucapan di atas sebagai ucapan hikmah saja. Kita semua tahu, pada dasarnya mengenal diri sendiri, lalu mentafakkurinya dengan baik akan menjadi sarana untuk semakin berma’rifah kepada-Nya. Hal ini disebabkan bahwa mengenal dan mengetahui dengan baik soal diri kita sebagai  makhluk yang bernama manusia merupakan bagian dari cara kita mentafakkuri ciptaan Allah SWT.

 

I Am a Amil

Sahabat amil yang dicintai Allah…

Tadi pagi sesaat sebelum boarding saya melihat ada sebuah Novel di salah satu Toko Buku yang ada di ruang tunggu Bandara Semarang. Sebuah Novel karangan Natsume Souseki yang berjudul “I Am a Cat”. Dari sinopsis singkat di bagian belakangnya, saya jadi tahu bahwa novel ini bukan tentang kucing semata. Namun berisi tentang cara pandang seekor kucing terhadap lingkungan sekitarnya. Tentang pengamatan, perasaan dan sikapnya atas manusia-manusia, binatang lain dan alam sekitar yang ada di sekelilingnya. Sebagai kucing, ia sejatinya ingin dicintai, diperlakukan dengan baik dan bisa sejajar dengan kucing-kucing lainnya yang ada di dunia.

Dari melihat judul buku tadi, tiba-tiba jari jemari ini “gatal” untuk tak membiarkan situasi tadi. Menghubungkan judul soal kucing dengan amil. Ya, terus terang buku tadi memicu rasa penasaran, sehingga memunculkan keinginan untuk di adaptasikan pada amil, sehingga jadinya “I Am a Amil”. Apa sebenarnya yang dirasakan, diinginkan dan diimpikan seorang amil zakat di negeri ini?.

Mimpi setiap amil mungkin berbeda, begitu pula perasaan dan keinginan masing-masing. Namun diantara perbedaan-perbedaan tadi, tentu saja ada garis merah yang menghubungkannya. Semua amil tak perlu ditanya apa cita-cita lembaganya sebagai amil zakat. Walau mungkin dengan bahasa dan kata yang beragam, intinya pasti berharap menjadikan zakat sebagai sarana perbaikan kehidupan mustahik. Mewujudkan kehidupan mustahik bisa meningkat dan lebih baik.

Semua Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) pastilah berharap bisa mendorong mustahik kehidupannya lebih baik. Begitu pula berharap para muzakinya hidupnya lebih berkah dan terus meningkat kehidupannya serta harta-nya bisa terus berkembang pula. Nah, giliran untuk lembaga zakatnya sendiri, kadang OPZ bisa berbeda-beda.

Sebagian OPZ punya obsesi untuk terus memperbesar skala pengelolaannya. Baik sisi penghimpunan, pendayagunaan dan omset pengelolaannya. Tak sedikit lembaga yang memandang kesuksesan itu dengan luasnya jaringan dan banyaknya cabang serta perwakilan yang dimiliki. Ada juga yang punya harapan SDM-nya bisa sejahtera dan berkecukupan sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan bisa fokus pada kerjaan amil yang jadi tanggungjawabnya. Tak sedikit yang punya keinginan lembaganya bisa punya legalitas yang resmi. Dan tentu saja, ada beragam obsesi dan cita-cita masing-masing OPZ.

Diantara sejumlah OPZ yang ada, lucunya masih saja ada yang ingin menonjol sendiri dan tampak berbeda. Sebagai strategi pemasaran bolehlah hal tadi dilakukan, tentu saja dalam batas yang wajar dan etika yang memadai. Apalagi saat ini, dimana era disrupsi terjadi, menjadi tak elok bila masih ada lembaga di “hari gini” masih menonjolkan kehebatan masing-masing. Ungkapan-ungkapan “lembaga terbaik”, “lembaga terhebat”, “lembaga tercepat” dan lain sebagainya justru kini kurang memiliki relevansinya di tengah gerakan zakat yang sedang mengarah pada kolaborasi dan sinergi.

Memang tak bisa disalahkan sepenuhnya, karena nyatanya ada kalangan yang justru bukan fokus pada bagaimana mendorong peningkatan kapasitas bersama. Idealnya setiap bagian di gerakan zakat ikut serta memajukan gerakan melalui pembinaan, edukasi, penguatan standar dan kompetensi serta peningkatan internal amil masing-masing. Ironisnya, malah diadakan semacam lomba yang masing-masingnya jelas tak sama kondisinya. Kesadaran ini berisiko memunculkan situasi psikologi yang disebut “Megalomania”.

Kata pakar psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, kepribadian “grandiose” dalam diri seseorang yang ambisius tak bisa disembuhkan. Kepribadian tersebut memiliki ciri-ciri suka memberikan penilaian berlebihan atas diri sendiri, suka pamer, dan memiliki hasrat kuasa superioritas yang akut atau disebut pula megalomania. Kata beliau-nya, kepribadian ini bila sudah tumbuh dan tertanam dari diri seseorang sejak kecil, maka ia tak akan bisa berubah.

Salah satu penyebab megalomania ini adalah pembentukan karakter yang terus menerus mendorong bahwa ia lebih hebat dan superior dibanding lainnya. Bila sedari kecil seorang megalomania, dipupuk dengan sikap tadi,  maka orang atau pihak yang mengalami megalomania tak akan bisa menerima kekalahan. Selain tak mudah menerima kekalahan, orang atau pihak megalomania biasanya suka mengalihkan permasalahan dan menganggap kesalahan berasal dari luar dirinya.

 

Tumbuh dan Kuat Bersama

Sahabat amil yang baik hatinya…

Kehidupan bersama di gerakan zakat, bertahun-tahun justru mengajarkan pada kita semua untuk menjadi bagian sebuah keluarga. Menjadi satu entitas yang saling dorong untuk kemajuan bersama dan menjadi kuat bersama pula. Namanya keluarga, perbedaan pastilah ada, namun perbedaan tadi tak menyurutkan untuk saling berbagi dan menguatkan dengan keyakinan besar bahwa atas nama cinta dan keinginan maju bersama, berkorban dan mengalah untuk kebaikan bersama bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.

Bila setiap OPZ sebagai elemen gerakan zakat memahami ini dengan baik. Para amilnya juga paham dan memiliki kesadaran yang tinggi bahwa di gerakan zakat kehidupan bersama lebih penting dari memacu kehebatan masing-masing, maka masalah seberat apapun jadi terasa ringan. Bila setiap elemen gerakan zakat bersepakat untuk mengikatkan diri dalam ikatan keluarga, maka tentu dengan sendirinya muncul ungkapan “harta yang paling berharga adalah keluarga” sebagaimana penggalan syair di awal film Keluarga Cemara.

Dalam keluarga yang tergambar dalam film “Keluarga Cemara” begitu jelas istilah “money can’t buy happiness”?. Sebuah Istilah yang memiliki arti bahwa uang bukanlah segalanya. Dalam cerita itu, kita bisa melihat bahwa setiap moment apapun, jadi pemicu kebaikan kelauarga, termasuk moment yang sangat sulit dan berat bagi sebuah keluarga, yakni jatuh miskinnya kepala keluarga. Dari sana kita bisa belajar bahwa kita harus selalu berusaha mengambil sisi positif dari apapun yang terjadi.

Dalam konteks gerakan zakat, apapun yang jadi kesulitan salah satu elemen gerakan zakat, akan menjadi masalah bersama yang harus bahu membahu diatasi. Tak boleh ada alasan yang muncul untuk berlepas diri dan meninggalkan anggota keluarga yang lain. Apalagi mereka yang sedang memerlukan pertolongan dan bantuan. Sehebat apapun masalah yang terjadi pada sebuah OPZ, selama ia hidup bersama lembaga-lembaga yang senantiasa bersedia saling tolong dan saling berbagi, pastinya keluarga besar ini bakal merasakan kekuatan atas kebersamaan ini.

 

Mari Melangkah Bersama, Maju Bersama

Sahabat amil yang senantiasa bersemangat…

Mulai hari ini, mari kita satukan langkah, menuju kebaikan secara bersama-sama. Tak perlu kita memperbesar ego untuk tumbuh jadi yang terbaik dan terhebat. Yang ada, justru kita saling berpegangan tangan bersama, urun rembug dan berkontribusi bagi kebaikan gerakan zakat Indonesia.

Mari kita juga terus belajar meningkatkan etika dan moralitas sehingga memiliki kepribadian positif di tengah dinamika gerakan zakat. Etika memang tak diajarkan di sekolah-sekolah saat ini, dulu pun tetap tak ada. Namun etika adalah hal paling dasar diantara hubungan sosial diantara gerakan zakat. Mengukur kompetensi OPZ adalah baik, namun bila tak ada kekuatan moralitas dan pengendalian diri yang baik, maka hal tadi justru bisa saja malah menumbuhkan sikap yang tidak relevan bagi kehidupan bersama di gerakan zakat.

Pengukuran-pengukuran yang tak substansial, apalagi instan dan diwarnai keterpaksaan, hanya akan melahirkan kepalsuan. Hal ini pula yang kita lihat dari cara orang Jepang mendidik anak-anaknya di sekolah di sana. Di masa awal berproses, anak-anak Jepang diajari pada dua fokus utama, yakni pada etika dan moralitas dan pada pendidikan moral serta kebiasaan untuk hidup tertib. Mereka sejak awal ditanamkan tentang tata cara serta berperilaku yang baik terhadap sesama, orang yang lebih tua dari dirinya maupun yang lebih muda, bahkan tidak dikenal olehnya. Tata krama pun menjadi hal yang wajib diajarkan kepada siswa sekolah dasar di Jepang. Merekapun diajari tentang aturan di sekolah, keluarga, dan tempat umum.

Kembali pada soal gerakan zakat, bila memang ada keinginan mengajak elemen gerakan zakat berkompetisi, silahkan saja, namun pastikan telah di didik dengan benar dan sungguh-sungguh dan telah pula dalam kondisi yang sama diantara mereka. Lakukan dulu semacam “integrated course”, yakni berupa kesempatan belajar bersama dengan para ahli atau expertisnya masing-masing. Setelah mereka semua berkesempatan belajar, berikan juga peluang mereka membuktikan dalam lingkup yang telah disiapkan. Berikan mereka penugasan terbatas untuk membuktikan kemampuan terbaiknya masing-masing. Dari sana, sepakati secara bersama apa saja yang akan dijadikan tolak ukur yang akan dinilai dan nantinya diperbandingkan satu sama lain. Bila telah ternaman kesadaran bahwa soal nilai adalah bukan tujuan, maka setiap pelaku yang dinilai bisa tetap fokus pada tujuan lembaga masing-masing dan tak terpengaruh dengan hasil lomba yang diadakan. Juga akan tetap ikhlas dalam mengerjakannya tanpa berharap nilai.

Yang perlu dilakukan ke depan sebenarnya adalah melakukan perbaikan sistem pendidikan dan peningkatan kapasitas amil zakat di Indonesia agar mampu menghasilkan sumber daya amil yang andal. Indonesia ke depan, bisa jadi akan menjadi negara dengan komunitas amil terbesar di dunia dan dengan aneka ragam model pengelolaan lembaganya. Nah, untuk itu semua, perlu ada kemauan kuta dari semua pihak untuk mulai membuat dan merancang semacam laboratorium pengelolaan zakat yang baik di semua daerah. PTN dan Perguruan Tinggi Islam bisa dilibatkan untuk membangun hal ini. Sudah saatnya kita memiliki sarana pendidikan amil zakat yang memadai dan serius. Menyiapkan secara indoor dan outdoor serta membangun kelengkapan semacam sekolah amil zakat yang didukung oleh gedung yang memadai dan refresentatif, pengajar berkualitas, serta didukung juga oleh adanya berbagai fasilitas pendukung seperti tempat olahraga luar ruang, indoor stadium, kolam renang, ruang musik, ruang memasak, ruang melukis, ruang komputer, perpustakaan dengan standar internasional dan sebagainya.

Bila hal ini telah terjadi, kita yakin amil zakat nun jauh di Aceh dengan di Kota Jakarta tetap akan sama kemampuan dan kualitasnya. Dari pedalaman papua dengan dari kota Surabaya, juga akan sama kemampuan dan cara layanan-nya. Jika sudah begini, kompetisi adalah gimmick yang didapat dari kerja keras dan kesungguhan membangun dunia zakat Indonesia. Bila hal ini telah dilakukan, menjadi amil zakat terbaik di dunia, hanyalah pelengkap capaian yang ada.

Kata Ustadz Jazir kemarin di acara penganugerahan Tokoh Inspirasi Republika, ia mengatakan : “Betapa banyak orang-orang sekarang punya kedudukan tapi tak punya tanggungjawab. Lihat saja banyak tempat, bahkan masjid yang menyatakan “Kami tidak bertanggungjawab atas kehilangan barang anda”. Kata beliau, lha kalau memang tidak mau bertanggungjawab, mending tidak usah menerima amanah apapun. Untuk itulah sejak awal Masjid Jogokarian mendeklarasikan”Masjid kami bertanggungjawab atas kehilangan sandal dan barang jama’ah masjid yang hilang”.

Inilah hidup. Inilah realitas dunia gerakan zakat Indonesia. Pihak yang seharusnya duduk paling depan dalam urusan memajukan zakat di Indonesia, kadang menjadi pihak yang justru mungkin malah membuat amil-amil yang ada tak semangat mengambil peran dan tanggungjawab lebih banyak. Semoga dengan terus berubahnya dinamika yang ada, selalu ada celah bagi kebaikan gerakan zakat Indonesia. Pupuk terus optimisme gerakan, karena kita semua tak akan pernah tahu, di episode yang mana gerakan ini akan berbalik menjadi mudah dan sesuai dengan mimpi dan cita-cita kita semua.

Semoga