Kenyamanan Untuk Kelas Ekonomi Dasar

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Nur Efendi CEO RZ

Penulis: Nur Efendi CEO RZ, Ketua Umum Forum Zakat

Jika Anda adalah seorang yang sering atau menyukai bepergian baik di dalam maupun luar negeri, tentu familiar dengan berbagai kelas penumpang yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan. Harga tiket yang Anda bayar tentunya akan berpengaruh dengan level kenyamanan yang akan Anda dapatkan. Khususnya untuk penerbangan jarak jauh yang mengharuskan terbang belasan hingga puluhan jam, tingkat kenyamanan ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap kondisi Anda selama dan di akhir penerbangan.

Saya menyoroti salah satu fenomena menarik di Amerika Serikat (AS) baru-baru ini, di mana para kandidat presidensial tengah gencar berkampanye dan menyebut-nyebut banyaknya sub kategori masyarakat AS ditinjau dari perspektif ekonomi. Situs The Economist mengulasnya dengan istilah-istilah berikut: the haves (yang berpunya harta), the have-lesses (yang punya lebih sedikit harta), the have-somewhats (yang mempunyai harta sedang-sedang saja), the have-nots (yang tidak memiliki harta yang cukup – untuk hidupnya) dan the have-nothing-at-alls (yang sama sekali tidak memiliki apa-apa). Maskapai-maskapai besar di AS merespon ini dengan meluncurkan kelas penumpang baru, yang disebut sebagai basic economy – jika diterjemahkan sepertinya sepadan dengan ’ekonomi tingkat dasar’.

Banyak tinjauan media dan para pemerhati penerbangan yang memberikan sorotan bahwa sepertinya kelas ekonomi dasar ini berpotensi untuk menjadi bentuk kejahatan baru yang dirilis oleh para pemilik maskapai. Hal ini dikarenakan banyak hak dan kenyamanan penumpang penerbangan kelas ekonomi standar sebelumnya yang harus dikorbankan. Namun ada juga yang menganalisa, bahwa produk ini muncul karena permintaan konsumen, yang memburu tiket pesawat dengan tarif paling rendah asal bisa ’terbang’. Landasan atau motivasi para pemburu tiket murah ini tentunya beragam. Tapi bukankah masalah kepemilikan harta (uang, materi) biasanya menjadi latar belakang utamanya?

Jika dianalogikan dengan kehidupan saudara-saudara seiman kita yang fakir dan miskin, bukankah mereka juga level kenyamanan hidupnya harus banyak yang tereduksi karena tekanan ekonomi? Jangankan memikirkan sampai jenjang apa anak mereka akan sekolah atau toilet seperti apa yang harus ada di dalam rumah. Fisik dan pikiran mereka sudah tersita dengan kegelisahan apakah ia dan keluarganya akan bisa makan atau tidak. Bukan saja mereka ini merasa tidak nyaman, bahkan mereka cenderung termarjinalkan di tengah masyarakat. Lalu bagaimana mereka bisa berkontribusi lebih banyak untuk pembangunan keluarga, komunitas, bahkan bangsanya?

Maka bagi saya, profesionalitas sebagai amil zakat (penghimpun dana zakat) adalah bagian dari itqanul ’amal (kesempurnaan amal) yang diikhtiarkan menurut batas-batas kemampuan saya dan teman sejawat di LAZ (Lembaga Amil Zakat), BAZNAS (Badan Amil Zakat). Simpul yang senantiasa memperkuat dorongan untuk istiqomah di bidang ini adalah: “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah : 105).

Dari perspektif profesionalitas dan komitmen pelaku/organisasi LAZ, BAZNAS, menjadi jembatan antara the haves dengan the have-nots dan the have-nothing-at-alls adalah sebuah investasi kebaikan di dunia dan akhirat. Sedangkan dari perspektif humanitarian, proses ini menjadi jalan untuk memuliakan mereka yang berada di tingkat dasar tangga perekonomian bangsa. Memberikan mereka hak yang seharusnya dimiliki setiap warga negara, dengan cara-cara yang memanusiakan manusia.

Jadi untuk kita yang sudah nyaman berada di tempat duduk bisnis atau kelas utama, saatnya untuk berbuat nyata dan berbagi bahagia dengan mereka yang di kelas ekonomi tingkat dasar. Caranya bisa beragam, dengan menunaikan zakat profesi Anda sekarang misalnya?