Totalitas Amil

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
images(9)

Penulis: Nana Sudiana

Bila menjadi amil zakat dapat dianggap sebagai sebuah pekerjaan, tentu saja seseorang yang bekerja didalamnya harus bekerja secara sungguh-sungguh. Lain halnya bila amil zakat ini sekedar pengabdian atau pengisi waktu luang, tak ada tuntutan apapun didalamnya. Karena namanya juga sambilan, maka seseorang yang menjadi amil bisa kapan saja bekerjanya sesuai ketersediaan waktu yang ada.

Menjadi sebenar-benarnya amil, ternyata urusannya tak sesederhana sebuah pekerjaan. Didalamnya bukan pula soal berapa lama waktu yang harus dihabiskan ketika seseorang bekerja sebagai amil. Amil tak melulu harus menyediakan waktu yang lama saat bekerja, namun lebih dari sekedar itu, pekerjaan sebagai amil memerlukan totalitas.

Kata “totalitas” menurut KBBI dapat berarti keutuhan atau keseluruhan. Utuh dalam konteks kerja sebagai amil barangkali tidak setengah-setengah atau tanggung. Jika ketika bekerja sebagai amil ingin mendapatkan yang terbaik, lakukanlah semua dengan kemampuan yang terbaik. Kita mungkin pernah mendengar pepatah “jangan lakukan setengah-setengah, jika tidak ingin mendapatkan hasil setengah”.

Bekerja sebagai amil, sesungguhnya berkorelasi dengan aktivitas dakwah. Karena bila kita pahami, yang dilakukan amil sendiri tidak lain mengubah masyarakat dari yang kurang baik menuju kehidupan yang lebih baik. Bahkan pekerjaan amil ini tak hanya soal merubah pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat, namun malah menyasar hingga memperbaiki sendi-sendi ekonomi dan sosial mereka.

Dengan pekerjaan seperti tadi, bagi amil hanya ada satu sikap yaitu : totalitas. Tak ada keraguan atau kekhawatiran didalam diri seorang amil. Apalagi sejak awal ia sadar betul bahwa ketika ia memilih menjadi amil ia harus siap atas semua risiko yang akan ia hadapi. Begitu saat pertama menyatakan kesediaan menjadi amil, maka ia harus hidup bersama jalan dakwah sosial ini. Begitu terbetik keraguan, maka segera saja kelemahan harapan akan muncul, apalagi bila kemudian muncul godaan dan tantangan dalam pekerjaan amil yang ia lakukan.

Kembali ke soal totalitas ini, sebenarnya totalitas yang bagaimana yang perlu seorang amil miliki?. Ternyata totalitas yang diperlukan dari seorang amil adalah totalitas sebenar-benarnya yakni pemahaman yang utuh akan jalan dakwah sosial ini. Pemahaman ini juga menuntut adanya kesadaran penuh untuk memberikan yang terbaik yang dimiliki seseorang bahkan ia harus bersedia memberikan apa saja yang kelak dituntut olehnya, baik waktu, kesehatan, harta, bahkan darah.

Totalitas sekali lagi menuntut seorang amil menyediakan dirinya menjadi bagian gerakan kebaikan dibawah gerakan zakat ini. Sehingga setiap orang yang bergabung di jalan ini diharuskan untuk mengeluarkan dan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan terbaiknya. Memang dibutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk mencapai hasil maksimal ketika bekerja sebagai amil. Namun hasilnya pun tentu akan sepadan dengan proses perjuangan yang dilakukan. Jangan sampai amil menginginkan hasil yang maksimal untuk mengubah mustahik menjadi muzaki tapi dengan usaha yang kurang.

Dalam praktiknya, totalitas yang diharapkan dari diri seorang amil adalah totalitas dalam berpikir, berbicara dan dalam berbuat. Ketika seorang amil sedang berpikir maka yang dibutuhkan adalah totalitas dalam berpikir, begitu juga dalam berbicara dan bertindak. Pekerjaan amil tidak luput dari tuntutan totalitas dalam kesehariaannya.

Dalam konteks amil sebagai sebuah tim di lingkungan organisasi pengelola zakat masing-masing amil pun diharapkan melakukan pekerjaan mereka dengan penuh totalitas. Agar totalitas ini bisa tumbuh subur di lingkungan organisasi amil, setiap pekerja semestinya bisa mencintai pekerjaannya sebagai amil. Ketika setiap amil mencintai pekerjaannya, maka ia dengan mudah menunjukan totalitasnya dalam bekerja. Ada antusiasme yang tumbuh pesat bila seorang amil telah mencintai pekerjaannya, pun ada ketertarikan yang besar untuk terus mengembangkan dan menemukan solusi-solusi baru atas masalah yang ditemui dalam pekerjaan yang dilakukannya.

Ketika seorang amil telah bekerja dengan penuh cinta dan bukan karena terpaksa, maka totalitas jelas bukan hal sulit untuk diwujudkan. Selanjutnya bila kesadaran totalitas ini telah terbentuk, maka dengan mudah akan menuju kontinuitas pekerjaan amil berikutnya. Karena begitu tumbuh rasa cinta terhadap pekerjaan tadi, maka hal ini akan membuat kita untuk terus melakukannya secara kontinyu.

Kontinuitas ini jelas sangat dibutuhkan untuk mencapai totalitas dalam bekerja sebagai amil. Tentunya untuk melakukan pekerjaan sebagai amil, akan sangat menyenangkan bila kita melakukannya dengan senang hati. Bukankah sebagai manusia normal, yang diinginkan kita dalam hidup adalah kesenangan?. Ketika bekerja sebagai amil sudah terasa menyenangkan, apalagi yang dicari di kehidupan ini?

Jogja-Jakarta, 5 September 2016