Penulis: @Nana Sudiana
Ramadhan baru saja berlalu. Dan sebagaimana lazimnya dari tahun ke tahun, begitu lepas ramadhan, badan atau lembaga-lembaga zakat seakan berlomba merilis jumlah penghimpunan dana ramadhan yang diraihnya. Dan selalu saja nadanya sama, semua organisasi menyatakan mendapatkan kenaikan penghimpunan dibanding capaian tahun lalu.
Apakah “kebiasaan” ini benar-benar diperlukan oleh publik yang selama ramadhan telah memberikan dana zakat, infak dan sedekahnya pada sejumlah organisasi? Atau bila pun betul publik membutuhkannya, laporan seperti apa yang sejatinya bisa memenuhi keingintahuan masyarakat luas. Kenapa hanya laporan hasil pengumpulan saja yang secara umum disampaikan. Pertanyaan berapa mustahik yang menerima pemberian dana zakat dan dimana saja sebaran mustahik yang dibantu kadang luput untuk diumumkan. Belum lagi informasi, berapa orang atau berapa jumlah keluarga yang diberdayakan menggunakan dana zakat dan akhirnya mereka mampu memiliki usaha yang mengarah pada perbaikan pendapatan keluarga.
Gerakan zakat sejatinya punya dua tanggungjawab besar dalam mengelola zakat. Pertama, tanggungjawab untuk memastikan bahwa organisasinya dijalankan dengan sebenar-benar aturan yang ada. Aturan dan kaidah syar’i dan aturan dan regulasi negara. Kedua tanggungjawab yang tak kalah beratnya adalah memastikan bahwa dana zakat, infak, sedekah yang diterima organisasinya mampu dikelola secara amanah dan ketika didistribusikan benar-benar diberikan kepada mustahik secara tepat, sesuai kebutuhan masing-masing yang diberi dan mampu memberi nilai tambah bagi yang diberinya untuk lebih dekat kepada kehidupan yang lebih Islami daripada sebelumnya.
Dalam sebuah perbincangan di WAG komunitas Zakat belum lama ini, salah seorang peserta diskusi menyampaikan bahwa salah satu visi zakat adalah secara bertahap menaikan kesadaran berislam masyarakat. Tak hanya mendorong muzaki untuk berdonasi semata. Dan kegiatan menaikan sisi religiusitas masyarakat ini harus di kembangkan dengan dasar dasar kerelawanan, keikhlasan dan kedermawanan.
Organisasi zakat kadang lupa, bahwa ada tanggungjawab edukasi pada muzaki dan mustahik yang melekat pada organisasi pengelola zakat. Kepada muzaki tentu lebih mudah, lewat kajian-kajian yang diadakan dan dilangsungkan di dekat lokasi-lokasi tempat tinggal para muzaki tentu tak banyak kesulitan berarti. Paling-paling tantangan terberatnya adalah menyesuaikan waktu muzaki dengan pelaksanaan acara serta mencari ustadz atau pengisi acara yang lebih bisa diterima kalangan muzaki.
Untuk melakukan edukasi bagi mustahik, tantangannya jauh lebih tidak mudah. Diperlukan pendekatan khusus sehingga mustahik merasa perlu belajar Islam dan meningkatkan pengetahuan dan wawasan keislamannya. Dan ini belum cukup, karena dibutuhkan pendekatan yang tepat dan seseuai dengan karakter mustahik yang ada, apalagi mereka jauh lebih tersebar lokasi tempat tinggalnya. Semudah apapun teknis yang disiapkan dalam kerangka pembinaan dan edukasi mustahik, bila tidak ada kesadaran yang cukup baik dari mereka untuk meningkatka kapasitas diri dan keagamaan mereka, acara ini sulit mencapai tujuan utamanya.
Jadi, kembali ke moment paska ramadhan, benar adanya seorang sahabat baik di WAG sebuah komunitas zakat Indonesia yang ketika diskusi kemarin setelah ramadhan mengatakan : “angka bukanlah yang utama”.
Seorang sahabat lainnya mengatakan bahwa : “ada yang lebih penting dari sekedar membandingkan angka penghimpunan, yakni bagaimana kita membandingkan strategi organisasi sehingga dapat di baca oleh semua lembaga dan saat yang sama juga mampu mengembangkan diskusi secara terbuka untuk menguatkan yg lemah dan menyiasati perangkat yang belum lengkap”.
Diskusi semakin menarik, ketika seorang amil yang menganggap dirinya mewakili organisasi pengelola zakat yang lebih kecil. Ia mengatakan : “Perbincangan mengenai sejumlah angka penghimpunan memang penting. Tapi pembelajaran bagi kami Lembaga kecil, itu yang sangat ditunggu. Termasuk ukuran keberhasilan dalam penyaluran. Kami ingin belajar lebih dalam lagi. Kalo untuk bicara angka, kami nyungsep. Bukan kecil hati. Tapi berharap diskusi ini juga membahas tentang cara mengerek kami, untuk bisa bergerak lebih luas”.
Nah lho, ternyata masalah gerakan zakat, baik di moment ramadhan maupun di luar itu cukup kompleks. Ada keinginan sesama elemen pengelola zakat terus dekat dan mampu berdialog hangat. Lontaran-lontaran untuk bertemu, kopi darat maupun laut…..hehe. terus mendapat respon positif. Saat yang sama, sejumlah pihak yang mestinya berdiri di tengah, baik itu berdiri sebagai koordinator zakat nasional maupun yang berdiri sebagai rumah bersama gerakan zakat tak sanggup memenuhi seluruh kebutuhan fasilitasi untuk bisa saling bertemu dan berbicara secara kekeluargaan dan menghadirkan pembicaraan dari hati ke hati.
Gerakan zakat Indonesia bukan milik orang per orang. Gerakan ini telah menjadi wakaf umat dan bangsa yang menginginkan agar zakat dikelola dengan penuh vitalitas dan semangat kebersamaan. Visi bahwa zakat ini menjadi solusi umat dan bangsa harus melekat kuat di benak dan jiwa seluruh amil yang ada di gerakan zakat Indonesia. Visi besar ini tentu tak bisa diusung satu dua orang yang ada. Visi ini harus jadi kesadaran bersama dan menjadi inspirasi untuk diturunkan dalam program-program yang real dan langsung menyentuh kebutuhan umat dan bangsa ini. Dunia zakat tak butuh narasi atau sekedar untaian kata-kata. Fase saat ini justru sudah masuk pada momentum pembuktian nyata bahwa gerakan zakat bisa berbuat nyata dan mampu menjadi solusi di kehidupan yang dijalani.
Gerakan zakat yang berkarakter NGO, tentu saja lebih cenderung tata kekerabatannya bersifat personal dan penuh kehangatan pertemanan. Kadang sejumlah pihak keliru memahami sosiologis ini. Menganggap begitu ada masalah di dunia zakat lalu usai dengan mengundangnya hadir dalam sebuah rapat. Apalagi sejumlah rapat-rapat atau pertemuan besar yang direncanakan kadang sudah terlebih dahulu memiliki keputusan sebelum peserta hadir dan berbicara.
Gerakan zakat Indonesia walau terlihat sama modelnya, sejatinya memiliki model hubungan keorganisasian yang sedikit berbeda. Baznas karena tuntutan regulasi tentu saja memiliki hubungan dan pola kerja lebih formal dalam hubungan sesama amilnya, sedangkan LAZ justru lebih merepresentasikan hubungan yang lebih cenderung seperti NGO yang lebih kuat interaksi personalnya dan memelihara kekuatan komunikasi antar amil layaknya sebuah hubungan pertemanan dan kekeluargaan.
Ini sebenarnya bisa saling melengkapi dan meciptakan sinergi untuk kemajuan gerakan Zakat Indonesia. Kedua model hubungan kelembagaan ini bisa saling belajar untuk terus menciptakan gerakan zakat Indonesia yang lebih baik lagi di masa depan. Sebagaimana harapan salah seorang member WAG zakat nasional, Baznas sebagai koordinator zakat nasional diharapkan mampu memberikan supervisi dan mendorong kemajuan gerakan zakat Indonesia.
Saat yang sama, Forum Zakat yang jadi “rumah bersama” gerakan zakat perlu juga saling mendekat dengan baznas untuk bisa bersinergi menyelesaikan sejumlah problematika dunia zakat Indonesia. Yang sederhana saja, hingga saat ini ternyata masih cukup banyak member forum zakat yang belum selesai urusannya dengan aspek legalitasnya. Sejumlah LAZ yang mengurus proses perijinan ini datang dari sejumlah daerah dan hingga kini banyak yang belum tahu akan berapa lama lagi legalitasnya akan bisa terselesaikan.
Mengapa pe er mengenai legalitas ini penting untuk semua pihak di gerakan zakat, karena tak lain urusan ini akan menjadi salah satu modal penting bagi organisasi pengelola zakat dalam berinteraksi dengan masyarakat. Kepercayaan akan tumbuh dengan baik bilamana LAZ sudah memiliki legalitas. Ini juga saat yang sama akan menumbuhkan kepercayaan yang tinggi bagi Baznas di hadapan LAZ, bahwa Baznas benar-benar dirasakan kehadirannya dan memang terbukti membantu gerakan zakat mencapai legalitas yang diperlukan.
Pe er kedua yang menanti paska ramadhan adalah wujud nyata sinergi gerakan zakat Indonesia. Masyarakat luas ingin tahu dan melihat, apa sich sesungguhnya yang bisa dikerjakan organisasi zakat setelah ramadhan. Ketika ramadhan, mereka berlomba-lomba mengenalkan diri dan menjelaskan progamnya masing-masing. Apa tidak ada satu program saja yang dikerjakan bersama antar pengelola zakat. Haruskah menunggu bencana untuk membuat program bersama?