Sinergi strategis, di antaranya Forum Zakat menjadi bagian dari tim penyusun PSAK 109 yang mengatur tentang keuangan zakat dan pengelolaan satu pintu mustahik melalui program BPJS. Dua hal ini sangat strategis karena terkait dengan sistem keuangan dan pengelolaan kesehatan di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih dan mempermudah mustahik mendapatkan pelayanan yang baik.
—-
Dunia semakin tua. Ketimpangan antara si miskin dan si kaya begitu jauh. Suara-suara lirih dari pelosok tanah yang tak tersentuh oleh gemerlap sinar kemewahan, begitu nyaring di telinga. Rentetan musibah yang antre menunggu giliran, juga menambah pedih kisah-kisah yang memilukan.
Dari semua kejadian itu, manusia berbelas kasih. Mereka mulai menyematkan tugas filantropi. Filantropi—dari bahasa Yunani philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia—adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia, menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.
Di level dunia, kita mengenal PBB atau United Nations. Lembaga internasional yang beranggotakan hampir seluruh negara di dunia. Lembaga yang terbentuk pada 24 Oktober 1945 di San Fransisco ini dibentuk untuk memfasilitasi beberapa isu dunia, seperti hukum internasional, keamananan internasional, pengembangan ekonomi, perlindungan sosial, hak asasi dan perdamaian dunia.
Di dalam tubuh PBB, dia dibantu oleh lembaga-lembaga khusus yang mengurusi kemanusiaan. Sebut saja, WHO (World Health Organization), organisasi yang mengurus kesehatan dunia. Lalu, UNICEF, organisasi yang fokus terhadap dunia ibu dan anak di negara-negara yang membutuhkan.
Mengenai pendanaannya, PBB disokong oleh negara-negara anggota. Jumlahnya pun ditentukan oleh Majelis Umum. Dalam menentukan besar kecilnya, Majelis Umum melihat bedasarkan kepada kemampuan membayar tiap anggota. Tentunya, Majelis Umum telah melihat dan mengetahui betul masing-masing pendapatan nasional bruto mereka.
Di tataran domestik, beberapa orang bersepakat untuk merelakan dirinya menjadi bagian dari solusi yang dihadapi dunia, mereka membentuk lembaga filantropi. Fokus mereka macam-macam, mulai dari aksi tanggap bencana, pemberantasan kebodohan dan buta aksara, pemberdayaan ekonomi hingga urusan sanitasi. Mereka mengambil perannya masing-masing dalam menjadi solusi.
Lantas, dalam menjalankan peran tersebut, bagaimana lembaga-lembaga kemanusiaan itu melakukan fundrising dan mengatur kelangsungan hidup sebuah lembaga? Terlebih lagi bila lembaga itu merupakan sebuah payung yang lebih besar dari berkumpulnya lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya.
Humanitarian Forum Indonesia (HFI) adalah salah satu dari dari payung besar yang menaungi beberapa lembaga kemanusiaan di Indonesia. HFI didirikan oleh tujuh NGO (Non Government Organization) yaitu, MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), YTBI (Yayasan Tanggul Bencana Indonesia), YEU (Yakkum Emergency Unit), Dompet Dhuafa, Karina-KWI, WVI (Wahana Visi Indonesia), Perkumpulan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat (PPKM). Dan pada 2010, PKPU bergabung dengan HFI, juga Church World Service (CWS) Indonesia pada 2011. Pada 2013, DRR Unit of Union of Churches in Indonesia dan Rebana Indonesia Foundation (jaringan gereja Baptist) bergabung dengan HFI. Hingga sekarang, HFI memiliki anggota sebanyak 12 organisasi.
HFI berdiri atas dasar kemanusiaan. Di sana berkumpul beberapa lembaga kemanusiaan yang berbasis agama kuat. Menurut Arifin Purwakanata, Chairman of Executive Board HFI, lembaganya adalah salah satu bagian pemecahan masalah kecurigaan yang selama ini terjadi antara lembaga-lembaga kemanusiaan. “Gagasannya adalah mendudukkan semua lembaga kemanusiaan berbasis agama. Maka hal itu bisa kita lihat sebagai peluang,” kata Arifin.
Gagasan HFI sebenarnya bukan berasal dari Indonesia, HFI ini adalah perpanjangan dari HF Internasional. HF internasional ini terbentuk tidak lama setelah peristiwa 9/11. Tujuannya saat itu hanya satu, membentuk sebuah forum agar bertemunya para lembaga-lembaga yang bersinggungan dengan peristiwa tersebut, seperti Islam dan non Islam.
Pendiri dan Presiden HF Internasional, Hany Al Banna lalu membentuk HF di Inggris. Hani adalah President Islamic Relief. Setelah itu, Hani menawarkan kepada Indonesia, dan akhirnya para pegiat filantropi di Indonesia bersedia. Tapi bagi Arifin, sebenarnya Indonesia bukan hanya sekedar ditawarkan. Bagi Indonesia sendiri, forum ini memang diperlukan. Jadi, ada kesadaran di antara lembaga-lembaga di Indonesia untuk membentuk HFI.
Menggabungkan beberapa lembaga lintas agama memang sebuah tujuan yang tidak mudah. Tapi, di bawah payung HFI, para pegiat kemanusiaan ini mampu bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan yang berdiri di atas landasan agama yang berbeda.
Bagi lembaga-lembaga yang belum paham, mungkin HFI dinilai sangat aneh. Padahal ini adalah suatu gerakan yang sangat bagus. Saat Indonesia dinilai sebagai sebuah negara yang belum toleran maka sebuah forum yang berisikan agama-agama di Indonesia perlu dibuat.
Bagi HFI, forum ini diharapkan menjadi model dan contoh bagi keberadaan toleransi yang selama ini hanya selalu berada dalam teks-teks buku. Di HFI, dilarang bagi lembaga-lembaga yang bernaung di bawahnya untuk menyelipkan Kitab Suci masing-masing agama dalam setiap aksinya.
Dalam catatan Arifin, HFI ditekankan untuk memecahkan kebuntuan yang terjadi akibat tidak adanya forum yang mendudukan mereka bersama. Sinergi terus dilakukan untuk mengubah sekat-sekat es menjadi air-air hangat.
“Saya bangga, ternyata keakraban kita di ruang rapat ini bisa sampai di level paling bawah,” ujar Arifin, menirukan isi pesan yang diterimanya dari Pendeta Viktor saat menceritakan pengalamannya bekerjasama dengan PKPU dan DD yang bertugas di Manado di bencana banjir bandang.
HFI memang sengaja menerapkan pola sinergi yang santai dan tidak kaku. Bagi HFI, ruang-ruang rapat tempat bertemunya para petinggi lembaga, bukanlah ruang yang diisi oleh hal-hal serius. Setiap rapat, HFI pun menerapkan semacam tausiyah bergilir. Kadang tausiyah dibawakan oleh orang muslim, dan kadang dibawakan oleh orang non muslim.
Jika melihat sususan HFI, semua board dipegang oleh mereka yang beragama Islam. Bagi HFI ini penting, saat ketua pembina, ketua pengurus, dan direktur dari lembaga Islam. Penempatan struktur semacam ini bukan tanpa sebab. Untuk menyinergiskan dengan umat yang mayoritas berada di negeri ini, maka umat terbanyak harus bisa mengayomi. Umat terbanyak harus bisa menjadi ‘bapak’ yang baik bagi yang lainnya.
“Jadi walaupun jumlah lembaga yang mewakili Islam di situ sedikit. Tapi kita menjadi teman yang baik bagi mereka. Dan mereka juga merasa bahwa mereka orang-orang yang baik bagi mereka,” tambahnya.
Sebuah tradisi lain yang diterapkan oleh HFI juga tentang menjaga kontestanisasi. Lembaga ini tidak pernah menyebutkan mengenai tentang perolehan dana yang berhasil dihimpun oleh masing-masing anggota.
Bahkan untuk masalah iuran, HFI pun tidak pernah mematok. Karena HFI mengetahui persis setiap kondisi lembaga-lembaga yang berada di bawahnya. Tapi bagi Arifin, salah satu inisiator berdirinya lembaga ini, uang yang dibayarkan oleh anggota bukan menjadi ‘nyawa’ bagi keberlangsungan forum itu. Ada celah lain yang bisa didapatkan, asal ada komitmen. HFI pernah mengadakan seminar di mancanegara, yaitu Yaman dan Istambul.
Arifin menilai, selama bekerjasama di HFI, Arifin merasakan NGO yang berbasis agama lebih ‘waras’ dibandingkan yang lain. Definisi waras di sini adalah mereka lebih tulus, lebih sadar kemanusiaannya. Jadi mereka yang berkumpul di HF itu adalah orang-orang yang sadar akan ketuhanan. Prinsipnya, di HFI ini saling menghormati kebaikan masing-masing.
Untuk mempertahankan keberlanjutan, HFI punya trik. Para anggota diminta tidak menampilkan kontestasasi. Para anggota juga diminta tidak bersaing sesama anggota. Mereka harus menjunjung tinggi HFI sebagai forum bersilaturahim dan berkomunikasi.
Model Sinergi FOZ
Sinergi antar lembaga zakat di lapangan sering kali kurang tertib dan terkendali. Saat gempa di Aceh tahun 2005 dulu, lembaga zakat belum terkoordinasi dengan baik. Meski saat itu sudah ada Forum Zakat, perannya belum maksimal. Seiring waktu, pemahaman sinergi terbentuk di pegiat zakat.
Ada perubahan model sinergi ketika terjadi gempa Padang tahun 2009. Gempa berkekuatan 7.6 Skala Richter itu memporak-porandakan Padang. Tidak kurang, 9 wilayah hancur rusak parah saat itu. Seperti, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat. Diperkirakan lebih dari seribu orang tewas tertimbun bangunan runtuh.
Saat itu, Bidang Sinergi FOZ segera bergerak. Salah satu bentuk adalah mengatur dan merapikan relawan zakat yang ingin masuk ke wilayah bencana. Sebagai contoh, para LAZ yang ingin menempatkan relawan mereka untuk bertugas, diharuskan mendaftar di Posko FOZ yang ada di wilayah bencana. Begitu ada salah satu LAZ yang masuk, FOZ memberi tahu titik lokasi lainnya. Jadi tidak ada yang saling tindih.
Selain itu, bentuk sinergi dengan lembaga lain juga terjadi. Saat itu, sesibuk apapun, relawan LAZ hadir dalam rapat kordinasi yang digelar oleh FOZ di Padang. Di sana dibahas, mengenai kemajuan recovery, evaluasi, dan kendala. Walau tidak semua LAZ bisa hadir, hal itu bisa dipahami ketika jarak mereka amat jauh dari posko utama. Saat itu moda transportasi tak banyak, hampir semua lumpuh.
Kejadian yang sama terjadi saat bencana di Mentawai, saat itu Forum Zakat Wilayah Sumbar sudah terbentuk. Jadi FOZ Nasional tidak perlu turun langsung ke daerah bencana. Pengurus dan pegiat FOZ Wil Sumbar yang menggerakkan relawan, mulai dari koordinasi penyerahan bantuan hingga logistik perumahan.
Lembaga zakat dan kemanusiaan yang lain tidak perlu datang ke Mentawai, mereka cukup mentransfer uang ke rekening yang disediakan FOZ, dan relawan di lapangan yang bergerak. Karena pegiat FOZ Sumbar yang tahu betul kebutuhan dasar korban di Mentawai.
Walau demikian, diakui tidak mudah untuk bisa mempersatukan semua lembaga-lembaga dalam satu irama. Ego ke-aku-an lembaga masing-masing harus dilepaskan. “Tapi bisa dipahami pula ketika ada tuntutan dari donatur atau sponsor. Walau begitu, semua bisa dilakukan asal ada kemauan,” kata Ketua Bidang Sinergi FOZ Nasional, Tomy Hendrajati.
Menurut hemat Tomy, selama ini ia tidak pernah menemukan kendala yang berarti dalam mengordinisasikan teman-teman LAZ yang berada di bawah FOZ. Baginya, sinergi dalam bentuk apapun bisa mudah dilakukan jika ada komunikasi yang intensif di antara anggota untuk melebur rasa canggung. “Komunikasi harus dibereskan terlebih dahulu,” ujarnya.
Bentuk sinergi lain yang dikomandoi oleh FOZ juga terjadi di gempa Jogja. Gempa yang terjadi pada 27 Mei 2006 itu menjadikan ribuan orang tuna wisma, selain korban tewas mencapai enam ribu jiwa. Pada saat itu, bentuk sinergis FOZ dilakukan dalam bentuk pembagian tugas recovery.
Bagi Tomy, FOZ bekerja sebagai fasilitator sekaligus pendorong dalam membangun sinergi antar anggota. Peran ini dirasakan makin berkembang, tidak hanya bersifat taktis di lapangan namun juga bersifat strategis. “Hasil sinergi FOZ secara taktis di lapangan beberapa di antaranya adalah pembangunan masjid di Tasikmalaya paska gempa, gedung sekolah di Padang paska gempa Sumbar, dan pembangunan musola di Mentawai,” kata Tomy.
Sedangkan yang bersifat strategis, di antaranya Forum Zakat menjadi bagian dari tim penyusun PSAK 109 yang mengatur tentang keuangan zakat dan pengelolaan satu pintu mustahik melalui program BPJS. Dua hal ini sangat strategis karena terkait dengan sistem keuangan dan pengelolaan kesehatan di Indonesia. Hal ini dinilai perlu, untuk mencegah terjadinya overlapping dan juga mempermudah mustahik mendapatkan pelayanan yang baik.
Sedangkan dalam situasi bencana, FOZ membuka jalur-jalur birokrasi yang memudahkan relawan dari LAZ agar lebih mudah bekerja di lapangan. FOZ turut memfasilitasi penyusunan situation report (laporan situasi) yang disampaikan seluruh anggota FOZ di lapangan. Data ini selanjutnya disebarkan kepada khalayak sebagai sumber informasi terkini.
Tentang pendanaan, FOZ mendapat asupan yang berasal dari iuran rutin anggota. Tetapi untuk pendanaan sinergi bencana, biasanya patungan ‘siapa memberi apa’. Masing-masing berkontribusi sesuai kebutuhan dan kesiapan lembaga. Untuk menjaga netralitas dan posisi, FOZ tidak diperkenankan menghimpun dana dari luar anggota. []