Amil dan Urusan Umat

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Penulis: Nana Sudiana (Sekjend FOZ & Direksi IZI)

 

“Siapa yang membantu menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari sebuah kesulitan di antara berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan salah satu kesulitan di antara berbagai kesulitannya pada hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim No. 2699)

 

Dalam Islam, menjadi seorang muslim yang baik tidaklah sulit. Baik bagi mereka yang memeluk Islam sejak lahir atau berasal dari keluarga muslim atau bagi mereka yang sebelumnya beragama lain dan kemudian memeluk Islam. Bagi yang sebelumnya berbeda keyakinan, batas mereka menjadi muslim secara formal adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang bermakna “Tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad sebagai utusan Allah SWT”. Namun sebagai seorang Muslim, menjadi pribadi yang baik ternyata tak cukup. Ada tanggungjawab sosial yang melekat pada seorang muslim. Tanggungjawab sosial ini juga yang kadang disebut tanggungjawab keumatan. Seorang muslim harus menjadi bagian urusan keumatan. Hal ini melekat dengan sendirinya dan tak perlu ada pihak yang meminta atau sekedar mengingatkannya. Peran  seorang Muslim dengan Muslim lainnya demikian jelas. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa : “Orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain bagaikan bangunan yang sebagiannya menyangga sebagian yang lain.” (HR Bukhari dan Muslim).

 

Dalam realitanya, ternyata ada banyak hal serius yang terjadi di tubuh umat Islam saat ini. Di negeri kita saja di Indonesia, kondisi umat Islam kini tak bisa disebut umat yang tanpa masalah. Di negeri yang mayoritasnya adalah umat Islam, saat ini jutaan saudara muslim kita hidup di bawah garis kemiskinan. Pun mereka yang melakukan tindak pidana korupsi, hampir bisa dipastikan umumnya juga seorang muslim. Belum lagi masalah pendidikan, kesehatan, sosial, dan kualitas kehidupan umat ini, semuanya hampir mengalami masalah yang tak ringan. Dengan begitu, jelas saat ini kita tak hanya bisa berpangku tangan, berharap masalah yang ada selesai sendiri. Realitas kehidupan umat ini meminta tanggungjawab kita juga untuk terlibat, turun tangan dan berpartisipasi langsung maupun tidak langsung dalam mengurangi beban persoalan umat Islam.

 

Amil Yang Dinantikan

Menjadi amil dalam gerakan zakat adalah sebuah anugerah. Apalagi amil sejati yang senantiasa menjaga hati. Menjadi amil seperti ini tentu saja mungkin tak populis, apalagi diganjar berbagai macam penghargaan atau hadiah. Amil sejati esensinya adalah menjadi suluh bagi kegelapan hidup para mustahik. Mereka siang malam bekerja, kadang banyak malah yang hanya berteman kesenyapan. Tugas-tugas yang ditunaikan, terkadang bukan saja mendekati risiko terganggunya aspek kesehatan, malah kadang mendekati risiko kematian.

 

Para amil sejati, memiliki cita-cita sederhana. Mereka ingin menjadi bagian yang disebut sebuah hadits sebagai problem solver mukmin lainnya, apalagi yang dhuafa. Para amil sejati sangat percaya bahwa siapa yang membantu menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari sebuah kesulitan di antara berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan salah satu kesulitan di antara berbagai kesulitannya pada hari kiamat. Hal ini, tentu saja sejalan dengan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

 

“Dari Abu Hurairah Radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wasallam bersabda : Siapa yang membantu menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari sebuah kesulitan di antara berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan salah satu kesulitan di antara berbagai kesulitannya pada hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hambaNya selama hambaNya itu menolong saudaranya. Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka akan Allah mudahkan baginya jalan ke surga. Tidaklah sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah (maksudnya masjid, pen) dalam rangka membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi para malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk yang ada di sisiNya. Dan siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya”. (HR. Muslim No. 2699, At Tirmidzi No. 1425, Abu Daud No. 1455, 4946, Ibnu Majah No. 225, Ahmad No. 7427, Al Baihaqi No. 1695, 11250, Ibnu ‘Asakir No. 696, Al Baghawi No. 130, Ibnu Hibban No. 84).

 

Para amil ini maju ke depan, memerankan dirinya dalam sebuah tanggungjawab kolektif untuk memperbaiki urusan umat dan menjadi bagian atas problem yang ada. Mereka sadar bahwa masalah-masalah umat ini tak sedikit jumlahnya dan tak mudah. Apalagi bila menyangkut gaya hidup dan mentalitas umat Islam saat ini. Kebodohan umat dan kejahilan-nya kadang menjadi pembenar banyak umat Islam, terutama yang dhuafa untuk melalaikan ibadah mereka pada Allah SWT dan kadang secara terbuka malah melakukan kemaksiatan yang dilarang oleh Allah SWT. Tradisi minum-minuman keras, berjina, melakukan penipuan timbangan, berjudi, melibatkan diri dalam riba dan berbagai macam perbuatan maksiat lainnya, kini dengan mudah dijumpai dikalangan umat Islam. Apalagi di kalangan dhuafa yang punya alibi karena terdesak atau tidak adanya pilihan.

 

Amil semakin hari semakin diharapkan tampil ditengah masyarakat. Membersamai setiap kesusahan hidup yang ada lewat berbagai program nyata yang dibuat sehingga programnya secara nyata bisa dirasakan masyarakat, baik di perkotaan hingga ke pelosok desa. Amil dan lembaga-lembaga zakatnya harus terus hidup dan menjadi teman setia para dhuafa. Aktivitas lembaga-lembaga zakat ini kan panjang durasinya, sehingga tak meniru model aksi-aksi parpol yang sukanya membuat kegiatan sosial musiman, terutama ketika menjelang pemilu tiba.

 

Amil zakat dan lembaga-lembaganya secara perlahan menjadi bagian keseharian masyarakat dhuafa, ia hadir dan ada di tempat-tempat yang dihuni banyak dhuafa, bukan hanya laksana pemadam kebakaran, yang hanya akan hadir bila ada kebakaran besar atau musibah lainnya. Ke depan, bahkan tugas amil tak cukup hanya dengan mendorong perbaikan kehidupan masyarakat miskin dan dhuafa, amil juga harus berdiri paling depan dalam meningkatkan kehidupan keagamaan mereka. Jadi perkara memakmurkan masjid-masjid yang ada, amil juga harus terlibat, sehingga ramai orang-orang shalat di dalamnya dan hidupnya majelis-majelis kajian ilmu keagamaan bagi jama’ahnya.

 

Amil dan Perbaikan Keluarga Dhuafa

Diantara tugas amil ke depan adalah menjadi bagian dari perbaikan kualitas keluarga dhuafa. Selain dibantu dari sisi ekonomi, pendidikan, kesehatan atau lainnya, sdah saatnya pula amil lewat lembaga-lembaga yang dikelolanya mengambil peran untuk membantu dhuafa merencanakan dan mengelola keluarganya agar menjadi pilar bagi perbaikan umat. Keluarga sebagaimana kita tahu, hakikatnya adalah benteng pertama yang menjadi cerminan umat. Bila benteng-benteng ini tak mencerminkan kebaikan, maka itulah wajah umat kita hari ini. Sebaliknya, bila baik dan kokoh bentengnya, maka umat pun akan memiliki kemampuan untuk maju dan menunjukan peradaban mulia.

 

Bagi amil zakat dan lembaganya, tak boleh melupakan tugasnya untuk terlibat langsung dalam pembinaan kualitas keluarga. Harus kita sadari bersama bahwa yang harus diperbaiki di negeri ini adalah keluarga terlebih dahulu. Dari keluarga-keluarga yang baik dan harmonis, diharapkan akan membentuk masyarakat yang baik dan penuh keberkahan. Bila ini terus terbangun, sedikit demi sedikit spirit kemandirian dan tak mengandalkan bantuan dari pihak lain pastilah akan tercipta di sejumlah keluarga dhuafa. Bila hal ini yang terjadi, keluarga-keluarga mandiri berikutnya akan terus lahir dan bahkan bukan hanya akan memutus mata rantai kemiskinan, namun bisa saja malah akan menciptakan lingkaran baru untuk menolong keluarga dhuafa lainnya yang belum beruntung.

 

Ketika ghirrah dan semangat berbagi telah demikian massif, maka ketika itulah puncak kebahagiaan seorang amil. Kebahagiaan ini tampak sederhana, namun bagi para amil begitu dalam dan penuh makna. Bekerja sebagai amil zakat, walau tak banyak mata memandang tetap membahagiakan. Apalagi ketika menyaksikan adanya perubahan mustahik yang dikelolanya perlahan bisa sukses dan mampu menjadi seorang muzakki.

 

Sudah saatnya amil ini mendapatkan kedudukan mulia, sehingga pekerjaan amil ini bukan pilihan pekerjaan terakhir. Ia bukan pilihan setelah tak diterima bekerja di tempat lainnya. Menjadi sebenar-benar amil adalah pilihan jiwa dan manivestasi keyakinan. Ketika memilih menjadi amil dan lalu komitmen untuk mengabdi sepenuh hati, sesungguhnya sudah merupakan sebuah pilihan dengan landasan keyakinan dan sandaran yang kuat bahwa Allah pasti akan memudahkan hidup seseorang dan keluarganya apabila ia memudahkan dan membantu kehidupan para mustahik. Ini soal keterlibatan dalam mengurus umat, siapa lagi kalau bukan seorang muslim yang baik dan bergerak dalam kebaikan secara terus menerus selayaknya seorang amil.

 

Urusan umat memang semakin hari semakin banyak dan rumit. Di tengah berbagai macam keterbatasan umat, tetap harus ada yang bergerak dan berdiri di depan gelanggang membantu umat mengatasi masalah kehidupannya. Umat butuh teman, juga butuh amunisi untuk terus berjuang meningkatkan diri sehingga bisa terus lebih baik dan terbebas dari belenggu kemiskinan dan kefakiran. Umat yang fakir, sebagaimana kita tahu, adalah umat yang lemah dan tak berdaya dihadapan pihak lain yang akan merusaknya. Umat butuh penguat, sekaligus dorongan untuk mampu berdiri di atas kedua kakinya sendiri, sehingga ia punya kemampuan untuk bersikap independen dalam sejumlah urusan dan mampu mandiri dalam hal urusan kehidupan ekonominya.

 

Umat yang berserak, sudah pula saatnya diikat dengan kesadaran penuh sebagai sesama anak bangsa untuk melangkah bersama dan bahu membahu menuju titik terang dan tujuan akhir kehidupan sebagai seorang muslim. Kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat inilah tujuan dan cita-cita yang menyatukan langkah kita dan menjadikan semua urusan lainnya tak lagi relevan untuk diperdebatkan.

 

Seberat apapun urusan umat yang kita pikul bersama-sama, ini jauh lebih ringan bila kita sendirian. Selemah apapun kemampuan kita hari ini dalam menjadi solusi urusan umat, maka semoga saja kekuatan kita terus Allah tambah dan diberikan kemudahan dalam menanganinya. Mari kita terus dekatkan diri pada Sang Illahi Robbi Yang Maha Kuasa dan juga Maha Kaya. Semoga sebagai amil, kita semakin dekat dengan-Nya dan semakin kuat keyakinan bahwa Allah SWT tak akan meninggalkan kita walau sesaatpun, sehingga hati semakin mantaf dan memiliki rasa tenang (sakinah) dalam menjalani tugas-tugas sebagai amil dalam membantu urusan umat. Apapun yang terjadi, Insyallah “Gusti Allah mboten sare“.

 

#Ditulis di Condet, menjelang sahur Ramadhan hari kedua, Selasa, 7 Mei 2019.