Penulis: Nana Sudiana (Sekjend FOZ & Direksi IZI)
Istilah post-truth kini semakin populer. Bahkan praktiknya hingga menerpa gerakan zakat. Beberapa hari ini beredar di sosial media dan beberapa jejaring whatsapp group terkait klarifikasi petinggi sebuah pengelola zakat yang terindikasi terserang hoaks soal dananya yang diisukan digunakan dipakai untuk pembuatan jalan tol dan untuk bayar utang negara.
Apa sebenarnya post-truth itu?. Post-truth dapat didefinisikan sebagai kata sifat yang berkaitan dengan kondisi atau situasi dimana pengaruh ketertarikan emosional dan kepercayaan pribadi lebih tinggi dibandingkan fakta dan data yang objektif dalam membentuk opini publik. Kata post truth menurut BBC, merupakan word of the year pada tahun 2016. Ke depan bisa saja kata post-truth masih akan menjadi word of the year selama beberapa tahun mendatang.
Di era post-truth terjadi ketidakpercayaan yang semakin besar terhadap fakta dan data yang disajikan oleh institusi tertentu, termasuk media massa mainstream. Saat yang sama terjadi peningkatan secara signifikan peran media sosial sebagai sumber berita dan informasi yang diyakini publik.
Mahalnya Sebuah Kepercayaan
Bila kita lihat sejarah kemunculan istilah post-truth, sebenarnya istilah ini pertama kali digunakan pada bulan Januari tahun 1992 dalam sebuah artikel pada Nation Magazine. Artikel tersebut ditulis oleh seorang penulis keturunan Serbia-Amerika, Steve Tesich. Kalimat ini merupakan cerminan dari kegeisahan Tesich terhadap perilaku para politisi dan Pemerintah yang sengaja memainkan fakta dan data yang objektif atau bahkan tidak menggunakannya sama sekali demi memanipulasi opini publik.
Dalam artikel tadi, Tesich menggambarkan apa yang disebutnya “the Watergate syndrome” dimana semua fakta-fakta buruk yang diungkapkan di masa kepresidenan Richard Nixon malah membuat warga Amerika meremehkan kebenaran sebab itu bukanlah hal nyaman untuk mereka percayai. Ia juga menggunakan kata postruth sebagai refleksinya atas skandal Iran-Kontra dan Perang Teluk Persia.
Pemungutan suara saat Brexit pada 23 Juni 2016 menjadi momen pertama dimana terdapat lonjakan frekuensi penggunaan istilah post truth. Frekeunsi ini semakin menguat lagi pada bulan Juli ketika Donald Trump menjadi nominasi calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik hingga pada momen pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 8 November 2016.
Menurut David Patrikarakos, jurnalis berkebangsaan Inggris, era post-truth telah menciptakan post-truth leader mulai dari Vladimir Putin hingga Donald Trump. Mereka menggunakan kelemahan masyarakat untuk dapat mengenali kebenaran demi mencapai kekuasaan. Di era post-truth semakin banyak keraguan terhadap sebuah informasi yang disebarkan di benak orang-orang, maka akan semakin menguatkan kecenderungan mereka untuk menampikkan kebenaran ketika mereka mendengar atau bahkan melihatnya. Tujuannya tidaklah lagi untuk membalikkan fakta seperti yang dilakukan politisi di jaman dulu tapi jauh lebih buruk, yakni untuk menumbangkan gagasan atau konsep mengenai eksistensi kebenaran yang objektif.
Istilah post-truth ini dalam khazanah Islam dapat bermakna pengkhianatan atas posisi penting pemegang kunci informasi. Ini tergambar dalam sebuah hadits :
“Tidak akan terjadi hari kiamat sehingga muncul perkataan keji, kebiasaan berkata keji, memutuskan kerabat, keburukan bertetangga, dan sehingga orang yang khianat diberi amanah (kepercayaan) sedangkan orang yang amanah dianggap berkhianat”. [HR. Ahmad, No. 6514)
Khianat adalah lawan dari amanah. Kalau amanah berarti melaksanakan kewajiban yang sudah disanggupi, maka khianat adalah kebalikannya. Yaitu: berlaku curang atau mengurangi, atau membatalkan kewajiban.
Al Jâhizh berkata, “Khianat adalah melanggar sesuatu yang diamanahkan orang kepadanya, berupa harta, kehormatan, kemuliaan, dan mengambil milik orang yang dititipkan dan mengingkari orang yang menitipkan. Termasuk khianat juga tidak menyebarkan berita yang dianjurkan disebarkan, merubah surat-surat (tulisan-tulisan) jika dia mengurusinya dan merubahnya dari maksud-maksudnya”. [Tahdzîbul Akhlâq, hlm. 31].
Dari Hadits yang lain, disebutkan gambaran tentang orang munafik ini yaitu : “Tanda orang munafik ada tiga yaitu apabila bercerita dia berdusta, apabila berjanji dia menyelisihi janjinya, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia berkhianat”(HR. Bukhari dan Muslim).
Khianat juga bisa berkaitan dengan urusan manusia. Sebagaimana penjelasan al-Jahizh di atas yang mengatakan, “Khianat adalah melanggar sesuatu yang diamanahkan orang kepadanya, berupa harta, kehormatan, kemuliaan, dan mengambil milik orang yang dititipkan dan mengingkari orang yang menitipkan. Termasuk khianat juga tidak menyebarkan berita yang dianjurkan disebarkan, merubah surat-surat (tulisan-tulisan) jika dia mengurusinya dan merubahnya dari maksud-maksudnya” [Tahdzibul Akhlaq, hlm. 31].
Post- Truth di Dunia Zakat
Fenomena post-truth di dunia zakat juga terjadi. Repitisi kalimat “lembaga zakat Ilegal” sempat muncul berulang. Lantas saat ini bila muncul hoaks terkait dana zakat untuk tol dan infrastruktur maka sebenarnya bukan hal baru. Pertanyaan kita selanjutnya, mengapa muncul juga hoaks di dunia zakat?.
Dunia zakat bukan berada di ruang hampa, ia sepenuhnya berada di tengah dinamika masyarakat yang ada. Bila kita lacak darimana kemunculan menguatnya hoaks di dunia zakat, maka kita tak bisa menutup mata bahwa hal ini berawal dari sejak dimulai-nya kontestasi pemilu presiden 2014. Mulai tahun ini, hoax dan fake news dengan massif bertebaran. Kemunculan awalnya yang bermaksud mempengaruhi preferensi pemilih lalu bak bola salju, membesar dan tak tentu arahnya.
Situasi ini kembali meningkat seiring kontestasi berikutnya menjelang 2019. Hari ini, Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat informasi bohong alias hoax. Dengan semakin meningkatnya tingkat “melek internet” yang kini penggunanya lebih dari 60 juta orang, maka semakin kuat daya rusak hoaks ini.
Dengan pengguna internet yang semakin banyak yaitu tercatat sejumlah 132,7 juta, dengan 129,2 juta di antaranya adalah pengguna media sosial pada level aktif, mestinya ada edukasi yang dilakukan secara efektif untuk mereka. Sayangnya, selama ini penanggungjawab urusan zakat ini, termasuk regulatornya kadang melupakan proses edukasi ini.
Pengelola zakat tak seharusnya meninggalkan urusan edukasi ini. Dan dalam konteks lebih tinggi, semestinya regulator zakat secara intens melalukan pembinaan yang rutin agar para pengelola zakat bisa berperan lebih baik. Ditambah diperlukan kehati-hatian dalam mereproduksi istilah-istilah yang justru bisa kontraproduktif bagi dunia zakat.
Munculnya hoaks di dunia zakat, bisa jadi karena adanya sebab tak langsung akibat peristiwa-peristiwa lain yang ada. Ditambah, adanya ketidakpercayaan yang masih tersisa di masyarakat atas pengelolaan zakat. Harus diakui, saat ini masyarakat Indonesia tengah berada pada era di mana kebenaran dan kebohongan semakin sulit dibedakan. Dengan begitu, diperlukan sinergi para pengelola zakat untuk terus meningkatkan edukasi dan literasi zakat. Ditambah diperlukan juga edukasi pada masyarakat, termasuk untuk muzaki maupun mustahik agar memiliki kemampuan untuk menyaring berita bohong.
Lalu bagaimana post truth terjadi di dunia zakat Indonesia? Bagaimana fenomena ini mempengaruhi masyarakat Indonesia dan apa dampak buruk dari fenomena ini bagi gerakan zakat Indonesia. Ternyata post-truth ini tak tiba-tiba terjadi. Di paparan tadi, tergambar bahwa hal ini ada pemicunya. Seringkali misalnya isu-isu utama zakat tak dibarengi kajian atau rencana yang mendalam.
Bila kita lihat kenapa ada yang protes ketika ada isu zakat dananya untuk tol dan infrastruktur, karena memang sempat terlontar juga dari pihak Kementrian agama bahwa dana zakat ini juga potensial untuk digunakan sebagai penopang dana pembangunan infrastruktur. Dan isu ini ketika didalami, ternyata alasan kuatnya, masyarakat khawatir dan takut dana zakat ini disalahgunakan. Rakyat dengan begitu, tergerak untuk melakukan antisipasi atas ketakutan dana yang telah dikelola tadi bukan untuk digunakan semestinya.
Beberapa alasan lain adalah diakibatkan munculnya ketidakpercayaan pada pihak-pihak yang memegang otoritas atau kewenangan yang ada saat ini. Jadinya apa pun isu yang berkembang mengenai urusan publik, apalagi yang terkait dengan soal mobilisasi keuangan masyarakat, langsung muncul kecurigaan.
Life is choice ; hidup adalah pilihan. Dalam mengelola zakat bukan hanya butuh kebijakan yang baik dan efektif, namun juga diperlukan kepemimpinan zakat yang amanah. Tanpa kepemimpinan yang amanah sulit mengawal gerakan zakat bisa berdiri tegak dan mampu mengangkat martabat umat. Spirit kepemimpinan amanah ini kan bersumber dari tanggung jawab akan tugas yang dipikul dan harus diselesaikan. Orang-orang yang amanah ini juga akan hati-hati memproduksi isu atau lontaran gagasan
Kemunculan para pemimpin gerakan zakat yang amanah dan jujur, dipastikan akan mampu mewarnai dan membawa perubahan yang baik bagi gerakan zakat. Termasuk pemimpin yang amanah ini juga dengan sendirinya secara efektif akan menangkal hoaks dan isu-isu liar yang bisa merusak dan menghancurkan kebaikan gerakan zakat.
Rasulullah SAW mengingatkan para pemimpin, “Siapa saja yang dianugerahkan Allah sebagai pemimpin, tetapi dia tidak berbuat sesuatu untuk kebaikan umatnya (malah sebaliknya menipu dan menzalimi umatnya ), Allah akan mengharamkan surga untuknya”(HR. Bukhori).
#Ditulis seiring sebuah Meeting di Ballroom Hotel Ashley, Jakarta, Senin, 20 Mei 2019.