Amil dan Budaya Literasi

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Penulis : Nana Sudiana (Sekjend FOZ & Direksi IZI)

Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al A’laq (96) ayat 1-5).

Membaca dan menulis adalah keterampilan dasar bagi mereka yang ingin mengembangkan diri lebih baik. Kemampuan membaca dan menulis ini disebut pula dengan keberaksaraan atau literasi. Kemampuan literasi merupakan bagian tak terpisahkan dari perkembangan kebudayaan manusia. Makna budaya literasi merujuk pada kebiasaan berpikir yang diikuti proses membaca dan menulis.

Dalam perkembangan budaya literasi di Indonesia, sejumlah lembaga survei menyatakan fakta tentang rendahnya budaya literasi di Indonesia. Programme for International Student Assessment (PISA) menyebutkan, pada tahun 2012 budaya literasi di Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negera yang disurvei. Pada penelitian yang sama ditunjukkan, Indonesia menempati urutan ke-57 dari 65 negara dalam kategori minat baca. Data Unesco menyebutkan posisi membaca Indonesia 0.001%—artinya dari 1.000 orang, hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca. Bertahun kemudian, kondisi literasi kita tak membaik signifikan. Faktanya berdasarkan laporan berjudul “Skills Matter” yang dirilis OECD pada tahun 2016, berdasarkan tes PIAAC, tingkat literasi orang dewasa Indonesia masih berada pada posisi terendah dari 40 negara yang mengikuti program ini.

Betapa memprihatinkan hasil survei tersebut, padahal perkembangan ilmu dan budaya dimulai dari keduanya. Salah satu penyebab rendahnya literasi di Indonesia antara lain dikarenakan oleh masyarakat yang kurang sadar akan manfaat literasi. Bahkan sejumlah orang masih belum mengerti makna literasi. Di negeri ini, banyak orang lebih terbiasa mendengar dan berbicara daripada berliterasi. Lihat saja di sekeliling kita, demikian banyak orang berbicara satu sama lain, menonton televisi atau hiburan lainnya, namun sangat sedikit yang terbiasa menyisihkan waktunya untuk membaca dan menulis. Minat baca di negeri ini masih sangat rendah, terbukti dari Indeks minat baca yang dikeluarkan UNESCO tadi.

Amil dan Budaya Menulis
Menjadi amil tak semua hal harus bisa dikerjakan. Namun dalam urusan kemampuan dasar seperti membaca dan menulis, idealnya seorang amil bisa melakukan keduanya dengan baik. Rendahnya literasi berkorelasi dengan kemajuan bangsa. Bagi amil korelasi ini tentu berkaitan dengan kemajuan gerakan zakat Indonesia. Literasi rendah bisa berkontribusi pada rendahnya produktivitas bangsa, dan bagi amil, kurang lebih sama. Literasi yang rendah yang dimiliki seorang amil akan berdampak pada produktivitas amil yang rendah. Dan bila ini terjadi, tentu saja bisa mengakibatkan kurangnya kemampuan amil dalam membantu meningkatkan kesejahteraan para mustahik yang sedang diperjuangkan.

Literasi ini juga berkaitan dengan soal kesenjangan kemampuan amil. Tersebab hal ini, perlu ada upaya-upaya serius dari berbagai pihak untuk meningkatkan tingkat literasi amil zakat Indonesia. Salah satu cara untuk mengatasi masalah literasi ini dengan melatih amil meningkatkan kapasitas literasinya. Perlu dibentuk juga komunitas amil yang mendorong terciptanya learning society. Hal ini harus disadari bersama karena budaya membaca ternyata tidak dapat dibangun secara cepat bagaikan membalikkan telapak tangan. Budaya membaca yang paling efektif harus dibangun perlahan dan terus menerus tanpa henti. Para amil, harus membiasakan diri secara personal minimal setiap hari membaca buku atau bahan bacaan lain 30 menit hingga 1 jam. Gerakan membaca ini semakin lama akan semakin baik, apalagi didukung oleh keluarga masing-masing atau komunitas.

Selain itu, gerakan zakat (termasuk OPZ masing-masing) harus sudah menyediakan perpustakaan khusus bagi amilnya. Perpustakaan ini tergantung masing-masing kemampuan organisasi amil. Namun setidaknya dapat berisi buku-buku yang digunakan sebagai sarana membangun budaya literasi zakat. Buku soal fikih, manajemen, marketing, sosiologi, akuntansi, pemberdayaan masyarakat dan lain sebagainya secara bertahap harus terus dilengkapi. Walau mungkin kecil tempatnya, usahakan posisi perpustakaan ini mudah dijangkau sehingga menarik minat untuk membaca koleksi bukunya.

Menulis bagi seorang amil idealnya bukan hal yang sulit. Tokh dalam keseharian pekerjaan seorang amil ada tugas-tugas yang berhubungan dengan laporan. Dan laporan yang baik tentu saja tak melulu berisi foto dan video. Diperlukan narasi untuk menjelaskan proses sebuah program/project yang sudah atau masih sedang berlangsung. Dengan tuntutan membuat laporan secara terus menerus, setidaknya memaksa amil terus memperbaiki kualitas kemampuannya dalam menulis.

Menulis memang terlihat mudah, namun tanpa latihan terus menerus, kemampuan ini tak akan terasah baik. Ibarat pisau, ia akan semakin tajam bila terus digunakan dan sering di asah secara rutin. Menjadi penulis profesional mungkin akan butuh waktu panjang, bagi amil cukuplah ia bisa merangkai kata dengan baik dan menata kalimat-kalimatnya secara runtut agar orang paham jalan pikiran dan gagasan utama yang ingin disampaikan.

Ditengah padatnya kesibukan para amil, sejatinya kegiatan menulis bisa dijadikan sarana rekreasi pikiran dan hati. Jangan jadikan menulis sebagai sebuah beban. Mulailah menulis sebagai sebuah kewajiban, sehingga merasa harus terus dicoba dan dilakukan setiap saat. Menulis pada awalnya bisa juga dengan mengikuti mood dan perasaan. Jangan menyulitkan diri dengan ketatnya jadwal dan target penulisan. Bila ingin menulis ya menulis saja, dan bila sedang tak ada mood menulis ya berhenti menulis. Saat berhenti menulis inilah saatnya membaca dan menghabiskan buku-buku yang disukai untuk diselesaikan.

Dalam benak seorang amil yang ingin maju dan terus berkembang, harus tertanam jawaban yang kuat, “kenapa saya harus menulis?”. Jawaban ini tak harus mencari-carinya dalam paparan alasan terkait kompetensi amil. Di sana memang ada soal kemampuan pelaporan, namun tak secara khusus menyinggung soal apakah seorang amil dituntut harus bisa menulis. Di kaitannya dengan portofolio amil juga, tak ada juga soal menulis ini dijadikan bahan pembuktian sebagai pendukung portofolio yang dipersyaratkan.

Sebagai amil, mari kita sadari bersama bahwa keterampilan menulis dan membaca ini adalah kemampuan dasar yang harus dikuasai dengan baik. Tak mungkin amil yang ingin memperbaiki gerakan zakat di negeri ini mengabaikan soal kemampuan literasi ini. Apalagi bagi para amil yang punya idealisme untuk menjadi bagian penting dakwah zakat di negeri ini. Dalam dakwah zakat sendiri diperlukan kemampuan edukasi akan nilai-nilai zakat bagi kehidupan.

Seseorang yang banyak membaca dan mempelajari sesuatu tak bisa hanya berhenti di sana. Untuk melakukan hal tersebut, agar apa yang dipelajari dan dibaca semakin terikat kuat dalam memori, seseorang perlu menuliskannya kembali. Dengan menuliskannya kembali, makin kuatlah apa yang didapatkan manusia lewat apa yang dialami dan dirasakannya, termasuk juga apa yang dipelajarinya. Menuliskan kembali ilmu, pengetahuan, wawasan, pengalaman dan penglihatan dan perasaan yang dialami setiap hari memudahkan kita menghubungkan setiap informasi yang ada menjadi lebih berharga.

Mengabadikan Perubahan Lewat Tulisan
Dunia zakat sangat dinamis, terus berubah dan bergerak dalam interval waktu yang kadang tak bisa ditebak. Dalam perjalanan panjang lebih dari 18 tahun ada di gerakan zakat, saya merasa situasinya seakan terus berubah dan penuh dinamika. Dan ditengah situasi tadi, menjadi menarik bila kita bisa mengabadikan bagian demi bagian perubahan yang terjadi dalam berbagai media yang ada. Salah satu media tadi ternyata bentuknya adalah tulisan. Walau terlihat sederhana, ternyata tulisan bisa menangkap setiap moment dan mengabadikan perubahan demi perubahan yang terjadi.

Perubahan dunia zakat ini benar-benar luar biasa. Ada pola yang berulang, dan ada pula yang zig-zag dan mengandung ketidakpastian. Situasinya berubah dan terus berubah. Padahal, perubahan yang ada itu tidak seluruhnya bisa dikendalikan sesuai dengan kemauan kita, para amil zakat. Kita semua tentu berharap ingin mengawetkan, memanjangkan, dan bila perlu mengabadikan gagasan dan pemikiran yang dimiliki. Caranya tentu saja dengan terus belajar mengeksplorasi ide atau gagasan, yang dari langkah ini insya Allah kebesaran lembaga zakat tinggal menanti tiba waktunya.

Lewat menulis, para amil menebarkan gagasan dan ide-ide pada masyarakat luas. Dengan menulis, para amil turut andil mengubah dunia menjadi lebih baik. Banyak ataukah sedikit yang membaca tulisan kita, itu masalah berbeda. Dikomentari banyak atau tidak tulisan kita, itu juga bukan urusan penting. Dan dipuji atau tidak tulisan kita, itu juga bukan tujuan utama. Yang esensial justru kita terus belajar dari lingkungan sekitar.

Sebuah tulisan hakikatnya adalah perwakilan gagasan. Dalam konteks dunia zakat berarti hal ini adalah gagasan para aktor yang terlibat atau berkecimpung di dunia perzakatan. Literasi zakat yang dibuat sendiri para amil akan selalu menjadi hal menarik untuk dibaca para amil lainnya.Tulisan seorang amil menggambarkan bagaimana seseorang amil zakat berpikir terhadap sesuatu. Semakin sistematis menulis, maka semakin mampu seorang amil mengendalikan banyak informasi dan gagasan dalam logika yang runtut dan beraturan. Sebaliknya, semakin kacau logika yang tertuang dalam sebuah tulisan, maka bisa dipastikan bahwa amil zakat itu mengalami disorientasi gagasan. Ia kesulitan menyerap informasi dan fakta yang bergerak amat dinamis di lingkungan internal maupun eksternal dirinya ditengah gerakan zakat di negeri ini.

Menulis dalam praktiknya ternyata bukan soal bisa atau tidak bisa, atau mampu dan tidak mampu. Juga bukan soal ada waktu luang atau tidak. Menulis ternyata membutuhkan kegelisahan. Gelisah karena adanya gap antara harapan dan kenyataan, atau gelisah karena situasi yang terus berubah atau justru tak ada perubahan.

Ada demikian luas hal yang bisa dituliskan seseorang, mulai soal minat, perasaan, keyakinan, teman, keluarga, sosial, agama, kemanusiaan atau apa pun. Semua hal pada dasarnya dapat digunakan untuk menjadi materi bagi dimulainya proses menulis seseorang. Dibalik luasnya tema untuk dituliskan, ternyata saat memulai menulisnya, seseorang harus bisa fokus dan memastikan apa yang akan ia tulis. Untuk menulis dengan penuh kesungguhan, setiap orang berbeda cara mendapatkan situasinya yang menurutnya sesuai. Sebagian menyukai tempat dan situasi yang sepi, sehingga ia memilih menyendiri dan jauh dari keramaian. Yang lain justru merasa ide menulisnya keluar kala di keramaian.

Ketika kita membaca tulisan orang lain, ada kalanya kita merasa bisa menulis lebih baik dan hebat. Kita merasa punya kemampuan lebih, pengalaman dan keterampilan untuk menuliskan sesuatu. Bahkan seolah kita juga yakin bahwa kita seolah sebuah buku yang hidup, yang pengalaman demi pengalaman-nya adalah sesuatu yang istimewa dan perlu orang lain ketahui. Sayang sekali, begitu mulai menulis dan merangkai kata yang ada agar bisa segera menjadi kalimat yang enak dan menarik, tiba-tiba tangan kita kaku tak bisa digerakan. Seolah huruf-huruf yang kita coretkan seolah berat menemukan sambungan kata berikutnya.

Para amil, tentu punya pengalaman banyak soal zakat dan dunianya. Makanya stock cerita ini sudah saatnya dituangkan jadi cerita yang enak dibaca dan mengalir renyah. Kalau kita sudah bersepakat ingin menjadi bagian dakwah zakat, maka kita selain bisa berbicara dan mengedukasi dengan baik mustahik dan muzaki kita, sudah pula saatnya kita memperbaiki soal literasi kita. Terutama soal keterampilan menulis ini. Seorang amil harus pula terampil dan terbiasa menulis. Amil harus benar-benar menulis sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dan kemanusiaan. Agar makin terasah dalam menulis, seorang amil harus berlatih menulis setiap hari. Ia juga harus pula mampu melatih dirinya agar bisa lebih produktif dan mampu konsisten menulis. Berlatih menulis ini memang tak mudah.

Wahai Amil, Mulailah Menulis
Dunia amil sering kali diidentikkan dengan dunia yang senyap tanpa hiruk pikuk. Para amil zakat sering kali tak dikenali, selain sekadar nama organisasi tempatnya bernaung. Para amil kalah populer dibandingkan lembaga tempatnya sehari-hari mengabdikan diri. Walaupun demikian, untuk urusan kampanye lembaga masing-masing, sejumlah cara kreatif ditempuh agar aktivitas para amil bisa terpublikasi dan pesannya bisa sampai pada para muzaki. Sisanya tentu saja publikasi ini bertujuan untuk menaikkan brand yang dimiliki sekaligus bentuk akuntabilitas organisasi. Alhasil, masyarakat pun mudah mengakses informasi sejumlah organisasi pengelola zakat beserta aktivitasnya. Liputan sejumlah media cetak maupun online yang menceritakan aktivitas lembaga-lembaga pengelola zakat tak begitu sulit dicari. Arsip dari tahun-tahun sebelumnya pun terekam dengan baik dan runtut secara waktu dan jenis kegiatan.

Sayangnya, di balik melimpahnya informasi mengenai kiprah lembaga pengelola zakat yang ada, ternyata tak banyak cerita yang berisi tentang kehidupan para amilnya sendiri. Sesuatu yang secara berimbang mestinya juga didapatkan masyarakat agar mereka bisa utuh memahami bagaimana sesungguhnya kehidupan para amil zakat sehingga bisa secara proporsional memahami dan mengerti dengan siapa mereka berhadapan. Diperlukan informasi yang memadai yang mengungkapkan kedalaman situasi yang dihadapi para amil zakat; bagaimana perasaan dan suara hati mereka saat mendapati kendala dan hambatan saat bekerja, serta bagaimana kegembiraan mereka sebagai seorang amil zakat.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa justru tak banyak produksi tulisan yang dibuat sendiri oleh para amil zakat? Jawabannya bisa kita tilik ke belakang. Pertama, para amil rata-rata lebih menyukai pekerjaan di dunia kesunyian. Kedua, memang tak banyak para amil yang bisa berbagi waktu untuk menuliskan banyak hal tentang dunia yang digelutinya. Sedikit jumlahnya para amil yang mampu memaksakan diri untuk bercerita lewat tulisan-tulisannya mengenai dunia amil dengan seluruh perasaan, pengetahuan dan pengalaman yang ia miliki. Saya percaya, banyak para amil yang sesungguhnya bisa menulis dengan baik tapi mereka beralasan terbatasnya waktu dan kesempatan yang ada sehingga mereka tak bisa melakukannya. Sebagian amil tidak menulis karena takut jatuh ke perbuatan riya’ atau pamer amal. Mereka yang beralasan riya’, untungnya, berjumlah tak banyak. Dalam amatan langsung saya, alasan paling banyak amil tidak menulis adalah karena mereka tak punya bekal keterampilan menulis yang memadai.

Untuk memiliki cerita amil zakat yang menarik dan heroik, para amil tak selalu harus pergi jauh ke luar negeri. Atau ke tempat-tempat bencana yang mengharu-biru perasaan manusia yang akan membacanya. Para amil di dalam negeri yang tak kemana-mana pun bisa berkesempatan menulis dengan baik dan disukai. Para amil dimanapun, sesungguhnya berpeluang memiliki banyak cerita yang bisa dibagikan. Demikian pula mobilitas para amil yang menjangkau tempat-tempat ke seluruh dunia, terutama tempat-tempat yang memerlukan bantuan atas nama sosial dan kemanusiaan. Tak hanya satu atau dua negara, para amil zakat kini telah demikian masif membantu negara-negara lain yang terkena musibah, baik dalam musibah karena alam (gempa bumi, tsunami, banjir bandang, longsor, atau lainnya) maupun musibah akibat perang dan konflik antar-negara.

Para amil yang datang ke mana pun, dengan perjalanannya yang panjang dan penuh risiko, harus sudah mulai terbiasa menyiapkan catatan demi catatan yang memadai untuk menjadi bahan pembelajaran dan perbaikan kegiatan bagi generasi amil yang akan melanjutkan estafet gerakan zakat. Tulisan-tulisan para amil, sesederhana apa pun, akan menjadi penting nilainya apalagi ketika dituliskan dalam kondisi di lapangan dengan emosi yang terlibat penuh serta dilengkapi data-data lapangan. Tulisan-tulisan ini insya Allah akan menjadi warisan kebaikan.

Mudah-mudahan bagi para amil yang telah mewariskannya, Allah berkenan menjadikan hal ini sebagai tabungan kebaikan yang terus menerus mengalir pahalanya hingga Hari Akhir. Ada baiknya kita renungkan kata-kata Imam al-Ghazali ini: “Kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.”

Jadi, kapan mulai menulis?