Menuju Sertifikasi Amil Profesional – Bagian Kedua

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Nur Efendi

Oleh: Nur Efendi (CEO Rumah Zakat, Ketua Umum Forum Zakat Nasional)

Di dalam sejumlah ayat Alquran tentang zakat, kata amil selalu disebut bersama dengan mustahik lain yang berhak mendapatkan zakat. Ini karena amil memiliki peran strategis dalam pelaksanaan rukun Islam ketiga.

Untuk disebut profesional, tentunya mereka tak hanya cukup berbekal Surat Keputusan, perintah atasan, atau karena keinginan masyarakat saja. Terlebih tugas utamanya adalah pengurusan harta (maal).

Telah tiba saatnya amil dibekali dengan sertifikasi sebagai bukti formal yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan mampu melaksanakan tugas secara profesional. Dengan demikian secara bertahap nantinya bisa disejajarkan dengan dengan pekerjaan-pekerjaan profesional lainnya seperti advokat, akuntan, dokter, dosen, dan guru. (Baca: Menuju Sertifikasi Amil Profesional – Tulisan Pertama)

Gagasan sertfikasi amil harus didukung. Namun demikian, untuk menuju ke sana tentu ada tahapan yang harus dilalui. Misalnya saja ada jenjang pendidikan baik berupa diklat, training, penataran atau sejenisnya. Sertifikasi sebagai indikator profesionalisme harus memiliki parameter tertentu.

Sebuah profesi tidak bisa serta merta dikatakan profesional sebelum ada rumusan yang jelas. Misalnya, harus berpendidikan sarjana, mengikuti pendidikan dalam jangka waktu tertentu, ada masa magang.

Usaha ke arah sertifikasi amil memang sangat positif namun syarat rukun sebagai penopang tak bisa diabaikan begitu saja. Kalau ada orang mengaku amil tapi tak mengerti tentang seluk beluk zakat akan terkesan aneh.

Terlebih di zaman seperti sekarang yang serba canggih amil tidak bisa cuma duduk di belakang meja (pasif), sebaliknya dia harus aktif menjemput bola dan memaksimalkan potensi yang ada.

Upaya sertifikasi sangat perlu dilakukan. Apalagi Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Negara ini memiliki potensi zakat yang sangat besar. Ini jelas menjadi tantangan untuk membenahi keamilan ini.

Amil zakat dalam melakukan tugasnya harus penuh kewibawaan, penuh kekuatan hukum sama seperti petugas pajak. Untuk itu, sertifikasi amil adalah sesuatu yang harus dilakukan dan harus dimulai dari sekarang.

Pertanyaannya kemudian siapa yang berkompeten mengeluarkan sertifikasi? Tentunya, yang menjalankan adalah lembaga independen dan bukan pengelola zakat. Ini diperlukan supaya tak terjadi konflik kepentingan dari lembaga sertifikasi dengan aktivitas lembaga induk.

Forum Zakat (FOZ) telah berkomunikasi dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) terkait peta jalan menuju sertifikasi profesi amil. Selain itu, bersama elemen-elemen asosiasi keuangan syarah seperti MES, Asbisindo, dan lainnya, sedang berusaha menginisiasi Lembaga Sertifikasi Profesi Jasa Keuangan Syariah. Proses legal sedang dilakukan, dan menambah personel assessor juga diupayakan dalam waktu dekat.

Tetapi memang untuk mewujudkan hal di atas harus pula ditunjang oleh regulasi yang tegas. Kalau tidak, rasanya takkan menjadi kekuatan apa-apa karena jika hanya bersifat suka rela tidak berkekuatan memaksa. Bila mengandalkan sosialisasi biasanya prosesnya akan sangat lambat.

Tak kalah penting adalah konsistensi dan ketegasan menegakkan aturan yang ada (law inforcement). Jika sudah terpenuhi, maka bagi yang melanggar kode etik amil, sertifikatnya bisa ditinjau ulang.

Kode etik amil harus dijadikan sebagai landasan untuk melakukan penilaian terhadap kinerja amil. Sanksi yang paling ringan adalah, dia bisa tetap bekerja di lembaga zakat tapi posisinya tidak sebagai amil tapi sebagai tenaga pendukung amil.

Tidak berarti mereka telah melakukan pelanggaran, tetapi bisa juga karena ketidakmampuannya dalam menjalankan tugas secara optimal atau bagi yang kurang memadai dan kurang memuaskan dalam melayani muzaki juga bisa diberi sanksi seperti itu.

Karenanya, lembaga yang mengeluarkan sertifikasi harus memiliki komite etik atau semacam badan kehormatan yang melekat di dalam lembaga agar bisa memantau amil setiap saat.

Lantas bagaimana pula dengan amil musiman yang ada di kampung-kampung yang acapkali bertebaran saat datang bulan Ramadhan? Keberadaan mereka tak serta harus dinafikan. Mereka itu merupakan bagian dari potensi kultural yang selama ini menjadi kekuatan di tengah masyarakat.

Lebih terpenting, aktivitas mereka terkoneksi dengan lembaga amil zakat berizin atau dengan badan amil zakat setempat. Ini sesuai dengan regulasi yang ada.

Sebaiknya amil masjid, mushola, pesantren itu dididik agar lebih baik kegiatan pengelolaan zakat yang dijalankan kontinyu. Kalaupun tidak diberi sertifikasi, mereka diberi bekal training. Hanya jika mereka ingin duduk di LAZ atau BAZ mereka harus mendapat sertifikasi.

Kalau para amil, termasuk yang ada di daerah diberi keterampilan yang memadai, maka akan ada perkembangan yang sangat signifikan dalam penghimpunan zakat. Harapannya ini bisa dijadikan sebagai instrumen yang ampuh dalam menaklukkan kemiskinan.

Sebab salah satu tujuan ekenomi Islam bertujuan mencapai distributif justice yang salah satu pilarnya adalah dengan tegaknya syariat zakat. Namun manakala pengelolaan zakat dilakukan secara serampangan maka tujuannya tidak akan tergapai.