Penulis: Nana Sudiana (Sekjend Forum Zakat & Direktur Pendayagunaan IZI)
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R. Ahmad).
Langit Konstaninopel yang cerah, hari itu tepat tanggal 20 Jumadil Awal 857 H atau bersamaan dengan 29 Mei 1453 M bertambah cerah. Bumi yang dipijak kala itu dengan hembusan anginnya menjadi saksi ketika Sultan al-Ghazi Muhammad dan seluruh pasukannya berhasil memasuki Kota Konstantinopel. Sejak saat itu pulalah Sultan Al-Ghazi yang dikenal juga dengan nama Sultan Muhammad Al-Fatih, penakluk Konstantinopel.
Peristiwa ini tak berdiri sendiri. Ia adalah puncak dari rangkaian panjang hampir 8 abad lamanya sejak Umat Islam diberikan informasi oleh Rosulullah Muhammad SAW bahwa kelak mereka akan menaklukan Romawi dan memasukinya dengan kemenangan gemilang. Nubuwah, yang kemudian menjadi impian setiap kekhalifahan Islam untuk menaklukan Konstantinopel terus terpelihara, sambung menyambung dilekatkan pada para pemimpin di setiap generasi. Ini soal mimpi, soal harapan besar umat dan amanah besar urusan penegakan izzah atas nama da’wah dan risalah kenabian. Ini bukan soal gengsi, nafsu kekuasaan apalagi berkaitan dengan harta rampasan yang mungkin melimpah tak terbayangkan.
Apakah mudah, menaklukan Romawi yang ketika itu masih menjadi negeri adidaya dunia. Superpower yang kekuatan tentara dan daya dukung negaranya seolah tak terdapat celah sedikitpun untuk dicari titik lemahnya. Kekuatan pasukan Romawi berpadu sangat kuat dengan letak kota Konstantinopel yang bahkan berjuluk “Ibukota Dunia” yang dikelilingi benteng-benteng tinggi nan kokoh dengan kekuatan besar tentara yang melindunginya di setiap sudut benteng.
Wajar bila Rosulullah mengatakan : “Yang akan menaklukan Romawi adalah sebaik-baik pasukan dan pemimpinnya adalah sebaik-baik pemimpin”. Bertahun, bahkan berabad sebelum peristiwa penaklukan, setiap khalifah menjadikan sabda nabi ini motivasi tertinggi kepemimpinan mereka. Maka wajar saja, ekspedisi penaklukan konstantinopel terus bergelombang dilakukan. Tiada kenal kata kalah, apalagi menyerah.
Sultan al Ghazi Muhammad atau berjuluk juga Sultan Muhammad II pun memiliki mimpi besar yang sama, menaklukan Konstantinopel dan memasukinya dalam kemenangan yang besar. Kemenangan umat dan risalah diatas keangkuhan manusia yang disandarkan diatas logika dan akal manusia. Sultan Muhammad II secara bertahap terus menyiapkan seluruh langkah penaklukan. Sejak sangat dini, bahkan ayahnya beliau sudah menggemblengnya dengan seluruh syarat dan ketentuan sebuah kemenangan bisa dihadirkan. Wajar bila akhirnya, sebelum penaklukan akhirnya beliau bisa menyiapkan lebih dari 4 juta prajurit. Mereka berangkat dengan tujuan mengepung Konstantinopel dari darat. Pada saat mengepung benteng Bizantium ini, tak sedikit pasukan Sultan Muhammad Al Ghazi yang gugur karena kuatnya pertahanan benteng tersebut. Pengepungan yang dilakukan tanpa putus selama tidak kurang dari 50 hari itu, benar-benar menguji kesabaran pasukan Sultan Al Ghazi, menguras tenaga, pikiran, dan perbekalan mereka.
Hari-hari yang melelahkan terus dijalani seluruh pasukan tanpa kata menyerah, apalagi putus asa. Pertahanan yang tangguh dari kerajaan besar Romawi ini terlihat sejak mula. Sebelum musuh mencapai benteng mereka, Bizantium telah memagari laut mereka dengan rantai yang membentang di semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh benteng Bizantium kecuali dengan melintasi rantai tersebut.
Namun tak ada yang tidak mungkin bagi hamba Allah yang terus mendekatkan dirinya dengan penuh kesungguhan. Tak kurang akal, atas kecerdasan yang diliputi kesungguhan untuk berjuang bagi masa depan umat, akhirnya Sultan Muhammad Al Ghazi menemukan ide yang ia anggap merupakan satu-satunya cara agar bisa melewati pagar tersebut. Sultan Muhammad Al Ghazi menaikan 70 kapalnya ke darat melintasi Galata ke muara setelah meminyaki batang-batang kayu. Hal itu dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tidak sampai satu malam. Di pagi hari, Bizantium kaget bukan kepalang, mereka sama sekali tidak mengira Sultan Muhammad Al Ghazi dan pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat. 70 kapal laut diseberangkan lewat jalur darat yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar, menebangi pohon-pohonnya dan menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang terjadi.
*
Memutus Ketidakmungkinan
Lalu apa hubungannya cerita penaklukan Konstantinopel tadi dengan amil zakat saat ini. Intinya adalah dibalik beragamnya para amil, dan tak mudahnya menyatukan para amil dalam satu barisan kebaikan bersama, sesungguhnya harapan ini masih terbuka luas. Mungkin hari-hari ini tampak ada perbedaan teknis dan cara pandang dalam mengimplementasikan rencana dan ide masing-masing lembaga, namun semua memiliki logika kemungkinan-nya sendiri. Yang penting semua pihak memiliki visi besar untuk menjadikan gerakan zakat sebagai wadah berhimpun untuk kemaslahatan umat dan bangsa.
Ini mungkin terkesan memaksa, menautkan cerita Al Fatih dengan kondisi terkini gerakan zakat Indonesia. Namun percayalah bila semua amil zakat bisa memenuhi layaknya hadits tentang penaklukan konstantinopel. Kemudian mengambil ibroh-nya hadits ini ke dalam gerakan zakat sehingga substansi maknanya kemudian kita dekatkan untuk konteks gerakan zakat Indonesia sehingga menjadi : “Seluruh amil akan bersatu. Bila pemimpin yang mengkoordinirnya adalah sebaik-baik amil dan amil yang dipimpinnya adalah sebaik-baik amil”.
Hari ini, dihadapan para amil, terbentang masalah umat yang makin tak mudah. Mulai dari persoalan kemiskinan, pengangguran, kesehatan dan pendidikan. Sebagaimana kita tahu, data BPS mencatat, sampai akhir tahun 2017 tercatat kemiskinan di Indonesia sebesar 10,12 persen atau setara dengan 26,58 juta orang penduduk miskin di Indonesia. Salah satu penyebab kemiskinan ini sendiri adalah tingginya angka tenaga produktif yang tak mampu memenuhi kemampuan diri dan keluarga masing-masing untuk bisa hidup layak. Dalam bahasa lain, kemiskinan ini diakibatkan karena tingginya angkanya pengangguran. Orang-orang dengan usia produktif namun karena berbagai sebab tidak mampu menopang kebutuhannya, apalagi keluarga mereka secara memadai. Dalam catatan BPS sampai dengan Februari 2018, tingkat pengangguran terbuka (TPT) berjumlah 6,87 juta orang atau 5,13 persen.
Selain masalah kemiskinan dan tingginya tingkat pengangguran di negeri ini, ada pula masalah krusial lain yang ada. Salah satu masalah yang terjadi adalah masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Di negara kita ini, proses kehamilan dan persalinan masih merupakan sesuatu yang berisiko dan dapat mengancam nyawa bagi perempuan dan bayi di Indonesia. Hasil Survei Penduduk di tahun 2015 saja (Antar Sensus 2015) menyebutkan bahwa Angka Kematian Bayi (AKI) di Indonesia adalah 305 per 100 ribu kelahiran hidup. Artinya dalam 1 jam, Indonesia kehilangan 2 ibu dan 8 bayi baru lahir akibat kematian yang sebagian besar sebenarnya dapat dicegah. Angka ini setidaknya menunjukan betapa masih besarnya pekerjaan rumah untuk memperbaiki urusan kesehatan ini.
Masalah kesehatan lainnya yang muncul adalah masih mahalnya biaya kesehatan untuk mereka yang sakit dan harus dirawat diberbagai fasilitas kesehatan yang ada. Kini memang ada BPJS yang secara signifikan membantu orang-orang yang ada dalam kategori miskin. Namun karena belum menyeluruhnya warga miskin yang masuk dan menjadi bagian penerima bantuan kesehatan, maka bagi yang berada di kategori tidak terlalu miskin, walau belum kaya, pastilah ia akan merasakan beratnya biaya berobat bila ia dan keluarganya sakit. Apalagi setiap tahun terjadi peningkatan biaya pada tarif dokter umum, tarif rumah sakit, biaya laboratorium dan biaya check-up. Dari tingginya biaya kesehatan yang harus ditanggung orang-orang miskin ini, dampaknya adalah pada kemampuan pemenuhan gizi anak-anak mereka. Data Kemenkes akhir tahun 2017 mencatat bahwa satu dari sepuluh anak Indonesia mengalami kekurangan gizi dan satu dari tiga anak Indonesia mengalamai stunting. Indikator-indikator kesehatan anak setidaknya menjelaskan bahwa ada hal yang harus terus diperbaiki dan ditingkatkan untuk menjaga agar generasi masa depan Indonesia ini bisa sehat dan gizinya terpenuhi dengan baik. Bila anak-anak ini sehat dan tumbuh dengan baik, semoga nantinya akan lahir generasi baru yang lebih baik dan mampu berkiprah maksimal, bukan hanya di negeri sendiri, namun juga bagi masa depan manusia dunia.
Selain adanya pekerjaan rumah di sektor kesehatan, ternyata saat yang sama ada juga problem di sisi pendidikan. Di negeri yang kita cintai ini, rupanya angka putus sekolah masih juga cukup tinggi di seluruh Indonesia. Salah satu penyebabnya antara lain karena tingginya biaya pendidikan. Mereka yang masih belia ini karena desakan ekonomi keluarga, sebagiannya terpaksa harus ikut bekerja untuk mencari nafkah. Data BPS mencatat, sampai akhir tahun 2017, setidaknya ada 1,6 juta pekerja anak di Indonesia. Kondisi ini berbanding lurus dengan tingkat putus sekolah yang juga cukup besar di berbagai daerah di Indonesia. Di level SD pada tahun ajaran 2017/2018 tercatat 32 ribu anak yang putus sekolah. Di level SMP, jumlah siswa yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya mencapai 51 ribu anak. Sedangkan untuk SMA dan SMK tercatat masing-masing 31 ribu dan 73 ribu anak.
Amil zakat dimanapun sesungguhnya adalah aset bangsa dan umat yang luar biasa. Menjadi naif bila ternyata atas adanya sejumlah kepentingan jangka pendek kondisi kelembagaan amil tak terkonsolidasi dengan baik. Amil harus bersatu, saling bantu dan berusaha sekuat tenaga menjauhi konflik antar lembaga dan fokus pada perbaikan umat dan bangsa. Amil dan gerakan zakat Indonesia juga sudah harus mulai menyusun langkah-langkah strategis untuk semakin membuktikan bahwa zakat bisa menjadi solusi permasalahan umat.
Harus disadari oleh semua, bahwa berhimpun-nya amil dalam gerakan zakat Indonesia, tak menawarkan banyak janji, apalagi harapan-harapan yang dikemas dalam sejumlah narasi. Justru dalam moment bersatunya amil zakat dalam gerakan zakat Indonesia membutuhkan sumberdaya dan semua energi dari masing-masing lembaga untuk memulai merealisasikan visi besar gerakan zakat Indonesia. Para amil harus berdiri tegak dan menjadi inisiator bagi karya-karya yang manfaatnya nyata dan bisa dirasakan umat dan bangsa. Narasi memang penting, namun tanpa karya nyata ia akan mudah terjebak menjadi janji manis layaknya yang dilakukan para politisi. Narasi harus diiringi solusi konkret atas masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa ini, baik solusi atas persoalan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan urusan umat lainnya.
Bila publik dan media belum dirasakan mengetahui kiprah dan peran para amil zakat di negeri ini, tetaplah fokus pada amal nyata dan solusi bagi umat. Boleh jadi, jejak kaki para amil zakat Indonesia yang telah mengukir sejumlah amal nyata diberbagai tempat dan moment, termasuk dalam peristiwa bencana dan kejadian kemanusiaan tersaput ombak di pasir kehidupan umat, namun di ketinggian langit, seluruh amalnya tak sedikitpun dilupakan. Ada pencatat yang tak pernah tidur dan lelah, yang atas perintah-Nya menjadi pemutus seberapa sungguh-sungguh dan ikhlas atas amal yang dilakukan para amil dalam ikatan kebersamaan sebagai bagian gerakan zakat Indonesia.
Siapapun amil zakat yang ada saat ini, sudah saatnya berdiri bergandengan tangan mewujudkan mimpi besar gerakan zakat Indonesia, yakni mensejahterakan umat dan memudahkan semua urusannya. Amil yang telah berjanji setia dan rela bekerja bersama dalam balutan ukhuwah sejati sebagai hamba Allah yang setia pada janji-janji-Nya, maka mari memastikan diri layaknya tentara Al Fatih yang menjadi pasukan terbaik dengan pimpinan terbaik yang Allah hadirkan.
*
Ingatlah bagian kisah Al Fatih ketika usai ia menaklukan Konstantinopel dan hendak melaksanakan shalat Jum’at pertama ketika itu. Demi mencari orang terbaik yang akan memimpin shalat jum’at dengan jama’ah yang merupakan pasukan terbaik, Al Fatih bertanya : “Siapakah yang layak menjadi imam shalat jum’at?” tak ada jawaban. Tak ada yang berani menawarkan diri. Lalu Muhammad Al-Fatih tegak berdiri. Ia meminta kepada seluruh rakyatnya untuk bangun berdiri. Kemudian bertanya, “Siapakah di antara kalian yang sejak remaja, sejak akil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk!”.
Subhanallah……!!! Maha suci Allah! tak seorangpun pasukan Islam yang duduk. Semua tegak berdiri. Apa artinya? Itu berarti, tentara Islam pimpinan Muhammad Al-Fatih sejak masa remaja mereka hingga hari itu, tak seorangpun yang pernah meninggalkan shalat fardhu. Tak sekalipun mereka melalaikan shalat fardhu.
Lalu Muhammad Al-Fatih kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang sejak baligh dahulu hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan shalat sunah sekali saja silakan duduk!!”.
Kali ini, sebagian pasukannya duduk. Artinya, pasukan Islam sejak remaja mereka ada yang teguh hati, tidak pernah meninggalkan shalat sunah setelah maghrib, dua roka’at sebelum shubuh dan shalat rawatib lainnya. Namun memang ada beberapa yang pernah meninggalkanya. Betapa kualitas karakter dan keimanan mereka sebagai muslim sungguh bernilai tinggi dan jujur.
Dengan mengedarkan matanya ke seluruh pasukannya, Muhammad Al-Fatih kembali berseru lalu bertanya, “Siapa di antara kalian yang sejak masa akil baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud di kesunyian malam? Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk!!”
Apa yang terjadi? Terlukislah pemandangan yang menakjubkan sejarawan barat dan timur. Semua yang hadir dengan cepat duduk!!” Hanya ada seorang saja yang tetap tegak berdiri. Siapakah dia??? dialah, Sultan Muhammad Al-Fatih, sang penakluk benteng Byzantium Konstantinopel. Beliaulah yang pantas menjadi imam shalat Jumat hari itu. Karena hanya Al-Fatih seorang yang sejak remaja selalu mengisi butir-butir malam sunyinya dengan bersujud kepada Allah, tidak pernah absen semalampun.
*
Sahabat amil sekalian…
Sampai akhir tahun 2017, tercatat di data Forum Zakat bahwa terdapat 481 Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari 1 Baznas dan 18 LAZ tingkat nasional, 34 Baznas tingkat provinsi dan 429 Baznas tingkat kabupaten/kota. Jumlah ini belum termasuk jumlah LAZ dan Baznas tingkat kecamatan, Unit Pengumpul Zakat hingga pengelola-pengelola zakat tradisional-individual berbasis masjid dan pesantren.
Terus tumbuh dan berkembangnya amil zakat dalam gerakan zakat di Indonesia akan signifikan bagi perluasan gerakan kebaikan di negeri ini. Amil zakat juga ibarat pelita di kegelapan hati umat. Dimanapun ia bertumbuh dan mengabdi bagi negeri ini, ia akan menerangi dan memberi cahaya. Ia dengan segenap kemampuan dan kuatnya rasa persatuan akan mengalahkan keputusasaan umat dan ketakutan akan suramnya masa depan para muatahik. Amil zakat juga, dengan ketulusannya tentu bisa memberikan kesejukan dan kedamaian bagi kegersangan umat di bagian-bagian negeri ini hingga negeri-negeri yang menderita dan di dera berbagai masalah dan bencana yang berada jauh di seberang lautan.
Hari ini, ketika sebagai amil zakat kita sendiri belum yakin benar menjadi amil yang terbaik. Kita juga merasa belum pasti bahwa amal-amal kita sebagai amil zakat adalah amal penuh kesungguhan dan keikhlasan, maka mulai hari ini mari kita terus bersungguh-sungguh untuk berbuat lebih banyak untuk memuliakan mustahik dan menolong menyalurkan zakat, infak dan sedekahnya muzaki.
Mari kita sama-sama berazzam dalam hati bahwa bila ingin mulia dan memiliki kehormatan sebagai amil sejati, kita harus rela terus menerus dan istiqomah untuk memudahkan dan memuliakan banyak orang, terutama bagi mereka para dhuafa yang hidupnya kadang tak lagi punya pilihan, apalagi harapan akan indahnya masa depan.
Bila kita memang yakin, bahwa keberkahan akan turun dalam kuatnya bingkai ukhuwah. Maka, mari perkuat ikatan kebersamaan dalam kesatuan barisan gerakan zakat Indonesia. Dalam rumah besar kita bersama untuk memperbaiki nasib umat Islam Indonesia dan dunia. Dalam kebersamaan ini, dalam naungan gerakan zakat Indonesia, maka ijinkan amal-amal terbaik kita menjadi wasilah dihadapan Allah untuk menyatukan kita kembali. Menyatukan kita dalam cita-cita dan kebersamaan merajut kemuliaan dan kejayaan Islam. Mari kita juga berdo’a agar setiap kita menjadi bagian dari kebaikan dan keberkahan gerakan ini.
“Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” – (Al Quran surah At-Taubah : 105)