@Nana Sudiana – Pemerhati Gerakan Zakat
“Friendship is always a sweet responsibility, never an opportunity” – Khalil Gibran
Sahabat Amil yang dirahmati Allah…
Pagi ini seusai beres-beres berbagai urusan kecil di rumah saya buka Hape, tepatnya buka beberapa group whatsapp. Ternyata ada sejumlah kiriman dari beberapa sahabat amil yang kebetulan sedang di Solo untuk ikut event Rakornas sebuah organisasi pengelola zakat yang juga regulator zakat.
Anehnya, begitu mendengar Solo, ingatan saya langsung membayangkan Timlo. Bukan apa-apa, soalnya ada teman yang sering share gambar Timlo yang eksotik, namun belum pernah sekalipun membawa fisiknya. Apalagi mencoba mencicipinya. Timlo sangat populer di sana, bahkan saking lekatnya nama makanan ini, jadilah orang mengenalnya sebagai Timlo Solo.
Sekilas Timlo Solo mirip Tekwan dari Palembang. Ada juga yang mengatakan bahwa Timlo ini campuran menu sop dan soto. Entahlah, karena belum nyoba sendiri, entah mana yang benar. Dari gambar yang dikirim dan cerita yang disampaikan teman dari Solo, katanya Timlo memang lebih dekat ke semacam sup. Di dalam Timlo ini ada irisan ati ampela ayam, irisan dadar gulung, irisan sosis solo, mihun, telur pindang, dan suwiran ayam goreng. Wah, semakin menarik untuk dicoba. Timlo ini juga katanya kuahnya bening, encer, dan segar, berbeda dengan soto yang kadang agak kental dan penuh bumbu rempah.
Ternyata, ada lagi catatan teman dari Solo tadi, untuk menikmati Timlo, memakannya bisa pake nasi yang dicampur atau dipisahkan. Dan yang lebih penting katanya, yang paling khas menikmati Timlo ini adalah pastikan tempatnya di Solo, bukan di tempat lain. Menjadi semakin asyik, katanya bila makannya rame-rame dengan keluarga, kerabat, sahabat, atau tim kerja yang hebat.
Sahabat Amil yang baik…
Maaf ya, jadi keterusan membicarakan soal Timlo Solo, padahal judul tulisan ini tentang amil zakat dan timlo Solo. Dasar tukang makan, sering lupa kalau lihat tampilan makanan atau kuliner-kuliner yang asyik dan eksotik. Kembali ke soal amil zakat dan timlo Solo, saya agak kaget, ketika teman-teman sahabat amil yang ada di Solo membicarakan kekagetan mereka saat penbukaan acara di sana. Kok bisa ya, Wapres kita, membuka acara terkait zakat, malah katanya bukan memberi pujian, namun malah mengeluarkan sentilan bagi pengelolaan zakat.
Sahabat amil zakat yang baik…
Sebagaimana kita tahu, setelah UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat muncul, kemudian sebagai salah satu konsekuensinya, Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama RI mengukuhkan 11 (Sebelas) anggota Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) periode 2015-2020. Setelah pengukuhan, dalam sejumlah catatan media, ternyata Baznas baru melakukan Rakornas tahun pada 2017.
Rakornas digelar di Hotel Mercure Ancol, Jakarta pada 4-6 Oktober 2017. Rakornas dibuka Wakil Presiden, Bapak Jusuf Kalla. Rakornas saat itu dihadiri oleh 559 peserta dari Baznas, baik provinsi, kabupaten/kota, Kementerian Agama provinsi dan kabupaten/kota zerta perwakilan pemerintah daerah serta Lembaga Amil Zakat (LAZ). Tema Rakornas saat itu adalah “Pengarus-utamaan Zakat Infak Sedekah dalam arsitektur keuangan syariah Indonesia, dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs)”.
Dalam Rakornas saat itu, disampaikan Ketua Baznas pada tahun 2016 sebelumnya Baznas mencatat Pengumpulan Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) Rp 5,12 triliun. Rakornas tahun 2017 menghasilkan keputusan adanya 30 resolusi. Butir kedua resolusi ini disebutkan : “Meningkatkan pengumpulan zakat nasional dengan pertumbuhan minimal 25% setiap tahun dan target pengumpulan zakat nasional pada 2018 sebesar Rp. 8,77 trilyun.
Rakornas berikutnya diadakan di Hotel Grand Inna Bali Beach, Bali pada bulan Agustus 2018. Dalam catatan media, Rakornas ini dihadiri 700 peserta dari Baznas, LAZ dan sejumlah undangan. Rakornas dibuka oleh Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin. Salah satu alasan pemilihan lokasi di Bali, menurut Ketua Baznas adalah : “Untuk mendorong BAZNAS dan LAZ di daerah di mana Muslim adalah minoritas tetap bisa menjalankan fungsinya dengan baik dalam suasana saling menghormati antara sesama umat yang berbeda agama”.
Dalam Rakornas ini, disinggung bahwa pengumpulan zakat nasional tahun 2017 diperkirakan mencapai Rp 6 triliun. Meningkat dari tahun sebelumnya yang tercatat di angka 5,12 triliun. Rakornas di Bali menghasilkan 27 Resolusi yang dibacakan pada akhir acara. Dalam resolusi nomor empat, disebutkan bahwa : “Baznas, Baznas Provinsi, Baznas kabupaten/kota, dan LAZ meningkatkan kinerja pengumpulan zakat nasional untuk mencapai target nasional tahun 2018 sebesar Rp 8 triliun”.
Demam Kaget
Sejak kemarin kita menyaksikan jalannya Rakernas berikutnya yang dianggap akan mendorong zakat untuk bisa tumbuh dan berkembang di Indonesia, bahkan dunia. Rakornas yang direncanakan berlangsung selama tiga hari, 4-6 Maret 2019, dengan diikuti sekitar 650 peserta dari seluruh Indonesia yang terdiri BAZNAS pusat, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota, serta LAZ nasional dan daerah. Tema Rakornas kali ini adalah
“Optimalisasi Pengelolaan Zakat untuk Mengentaskan Kemiskinan dan Meningkatkan Kesejahteraan Menuju Indonesia Pusat Ekonomi Islam Dunia”.
Kita do’akan semoga Rakornas berlangsung dengan baik dan menghasilkan kebaikan bagi dunia zakat Indonesia. Semoga pula terjadi sinergi berbagai aktor dan pelaku pengelola zakat yang ada di negeri ini.
Saya tidak hadir di Solo, jadi tidak tahu persis kalimat demi kalimat apa yang sebenarnya beliau sampaikan, sehingga membuat sahabat-sahabat amil yang hadir di sana jadi kaget. Maklum jaman ini jaman serba kaget, kalau tidak kaget katanya tak ikut trend. Karena penasaran, saya coba gogling sambil nunggu pesawat saya berangkat dari Semarang menuju Jakarta. Dan ternyata dari sejumlah media yang ada, isinya hampir senada.
Berikut ini salah satunya : “Wakil Presiden Jusuf Kalla menolak usulan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) untuk memperlakukan zakat seperti pajak. Ia menilai zakat tidak bisa diperlakukan seperti pajak karena berbagai sebab. Sebenarnya antara pajak dan zakat tidak bisa dibandingkan apalagi disamakan. Itu agak berlebihan,” kata dia saat memberi sambutan di acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) di Pendapi Gede Balaikota Solo, Senin (4/3)”.
Saya terus terang jadi penasaran, ini lebih serius infonya daripada soal saya belum makan timlo yang dijanjikan. Soal zakat ini saya jadi ingin tahu, kenapa pa JK menyampaikan hal ini. Dan ternyata di bagian akhir tulisan media yang saya baca, ada kelanjutannya.
“Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Baznas menginginkan agar zakat diwajibkan seperti pajak. Kebijakan tersebut kembali diwacanakan sebagai bagian dari penataan desain perzakatan nasional. Dengan diwajibkannya zakat, diperkiakan potensi zakat akan meningkat dari 1,57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 3,4 persen. Itu berarti untuk tahun 2018, potensi zakatnya meningkat dari Rp 230 Triliun menjadi Rp 499 Triliun,” kata Ketua Baznas, Bambang Sudibyo”.
Oh, ternyata memang ada yang mendorong agar zakat dikelola layaknya pajak, namun Wapres kita entah kenapa menolak wacana ini. Yang lebih bikin kagetnya ternyata penolakan wacana oleh Pa JK disampaikan justru di moment pembukaan acara. Sebagai orang yang suka bikin acara kumpul-kumpul teman-teman pengelola zakat, tentu saja ini pengalaman kami selama ini, sebelum mengundang orang-orang penting yang menjadi kunci kebijakan sekaligus para pimpinan dan pejabat serta tokoh yang akan diundang hadir, apalagi sebagai pembuka acara, setidaknya kami usahakan dulu bisa bertemu dan berkomunikasi, terutama untuk memastikan persepsi dan kesamaan cara pandang. Setidaknya, bila tidak bisa bertemu langsung, minimal kami yakin perspektifnya sama dengan keseluruhan ruh yang akan dibangun dan dihadirkan ditengah spirit peserta yang hadir. Entahlah, untuk acara kemarin, saya tak punya kompetensi untuk memberikan opini apalagi memberikan penilaian.
Sinergi Laksana Timlo
Timlo yang enak adalah timlo yang semua bahannya matang, bumbunya pas dan disajikan di saat yang tepat. Saat lapar mulai menggoda. Begitu pula semestinya mengelola zakat di negeri ini. Siapapun pengelola dan pengambil kebijakan utama dalam urusan zakat, mestinya memahami filosofi Timlo. Bahan-nya boleh beragam, namun karena matangnya bersamaan dan dengan paduan bumbu dan ukuran kuah yang tepat, apalagi disajikan dalam suasana yang pas, maka timlo Solo pastilah akan jadi solusi atas persoalan lapar, apalagi yang sudah masuk tingkat lapar akut yang dekat dengan suasana semaput.
Mengelola zakat tak boleh baper, pilih-pilih teman dan mitra dalam bekerja sama. Tokh kita semua tahu, zakat ini bukan melulu angka-angka dan soal regulasi semata. Ada sisi sosiologi, budaya, dan kebiasaan serta emosi yang hadir dalam urusan pengolaan zakat ini. Semua harus diaduk ditempat yang sama, diberi bumbu yang pas dan dihidangkan juga dalam situasi yang tepat.
Sahabat Amil yang dirahmati Allah…
Beberapa kali Rakornas Baznas, beberapa kali pula kami di Forum Zakat ditanya para anggota : “Apakah FOZ tidak diundang di Rakornas Baznas?”. Ingat lho ya, Forum Zakat ini, sudah berusia lumayan tua, kini sudah tercatat 22 tahun usianya sejak dilahirkan pada Jumat,19 September 1997. Dengan usia dan rentang sejarah sepanjang ini, FOZ sudah punya perjalanan panjang dalam menjadi bagian gerakan zakat Indonesia. FOZ juga kini secara resmi telah memperbaharui sistem keanggotaannya dan saat ini tercatat ada 121 anggota aktif yang dengan kesadaran penuh bergabung dan menjadi barisan yang sama untuk memperkuat dan terus berjuang dalam memperbaiki pengolaan zakat di negeri ini.
Faktanya memang lucu, bicara zakat dan bicara memajukan urusan pengelolaannya namun meninggalkan mitra yang sama-sama mengelola urusan yang sama ini benar terjadi. Saya terus ingat isi buku Good Strategy/Bad Strategy karyanya Richard P Rumelt. Di buku itu, di bab ketujuhnya ada cerita tenrang Sasaran Terdekat. Sasaran terdekat bila kita adopsi di gerakan zakat tentu saja lembaga pengelola zakat dan amilnya. Dan mereka-mereka ini kan punya kultur dan kebiasaan yang selama ini telah mereka miliki.
Memastikan mereka bisa mengelola zakat dengan baik tentu saja bagus. Namun akan lebih manusiawi, bila sesekali duduk bersama dan menyelami problem mendasar mereka. Mengapa begini, mengapa begitu dan kenapa hanya seperti ini dan kenapa seperti itu. Mengejar pertumbuhan, melukiskan pencapaian dengan angka-angka positif-positif saja. Namun sudahkan memahami jiwa para penggeraknya? Memahami problem ruh gerakan yang sepenuhnya belum merasa dipahami dan diberikan ruang dialog memadai.
Sebuah gerakan adalah hakikatnya ada cinta di dalamnya. Ada emosi yang muncul dan menjadi perekat diantara para aktivisnya. Dan urusan zakat ini, secara sosiologis telah pula bertumbuh dan berkemang laksana timlo solo. Telah menyatu unsur-unsurnya dalam ikatan yang bernama gerakan zakat Indonesia. Sepanjang pemahaman zakat itu adalah deret angka, maka sepanjang itulah kita akan gagal memahami bahwa gerakan zakat adalah timlo solo yang enak tadi. Timlo yang enak, adalah timlo yang bahannya bersinergi dalam wadah yang sama dan menuju kematangan sempurna bagi solusi kelaparan yang nyata.
Hidup Timlo….
*
Ditulis sepanjang perjalanan dari Terminal Tunggu Bandara Ahmad Yani Semarang – Terminal kedatangan Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Selasa, 5 Maret 2019