“Tentang rasa, tak semua harus diterka. Perihal hidup, tentu nyala-nya tak boleh redup” (Escapist E)
Ada beragam rasa kala seseorang menjalani hidup sebagai amil. Rasa bangga, bahagia, sekaligus sedih dan duka. Ibarat permen, mungkin layaknya permen Nano-Nano. Gula-gula kesukaan anak-anak dengan beragam rasa dalam satu bungkus yang sama.
Disebut mudah, sebenarnya tak mudah. Disebut susah, juga tidak. Menjadi amil sejatinya bukan pilihan sederhana. Ada rasa yang rapat tersimpan di benak para amil. Ada ambisi yang tertunda, ada cita-cita yang kandas, menguap entah kemana. Ada juga rasa bahagia yang ditumbuhkan perlahan walau ada luka yang diam-diam terbuka.
Dibawah ini ada catur rasa (empat rasa) yang berbeda-beda sesuai posisi dan kedudukan seorang amil. Rasa ini kemudian tumbuh dan menempati relung kalbu masing-masing sesuai dengan pergerakan posisi dan kedudukan dalam sebuah organisasi pengelola zakat. Rasa ini ternyata, bisa mekar, layu dan Kembali mekar lagi, bahkan tiba-tiba muncul dan berkelindan dalam sebuah dimensi yang ada, tak terpisah, tak ada jeda. Tapi ia nyata.
Amil Satu – Budi (Karyawan baru)
Sebut saja namanya Budi. Amil baru yang belum lama bergabung di sebuah organisasi pengelola zakat. Ia belum lama lulus. Masih idealis dan belum sepenuhnya tahu dunia zakat sebenarnya. Ia juga punya banyak mimpi akan masa depan. Di Lembaga zakat, tak sepenuhnya ia gadaikan harapannya. Sambil terus nyari peluang kerjaan yang lebih baik. Ia dan teman-teman barunya terus menimbang-nimbang Langkah selanjutnya. Mereka tahu Lembaga zakat itu baik. Membantu sesama dan menguatkan masyarakat dhuafa. Namun tetap saja, mereka punya cita-cita dan mimpi yang telah diguratkannya dalam hati mereka. Definisi sukses pun telah ditorehkan. Apapun yang terjadi, ia ingin jadi dirinya sendiri.
Budi bisa jadi karyawan biasa di sebuah Lembaga yang konsens membantu sesama. Di posisi ini, ia adalah pengisi dasar sebuah lembaga. Dalam menjalani hari-harinya, Budi butuh terus belajar, juga rela mengeja berbagai situasi dengan penuh kesabaran. Ia juga harus senantiasa bersiapsiaga, karena posisinya rentan tergantikan, apalagi belum ada keahlian khusus yang dimiliki. Terlebih pendatang baru, ia harus lebih rajin bekerja, juga menjalin pertemanan dengan yang lebih tua, juga mereka yang telah lama bekerja.
Menjadi Budi, dengan posisinya saat ini, jelas tak mudah untuk dijalani. Faktanya, Budi dan representasi teman-teman seangkatannya harus belajar tahan banting dan bergerak cepat memahami industri zakat dan dinamikanya. Saat yang sama, ia juga harus hati-hati bersikap, karena dampak kesalahan sedikit saja bisa panjang urusannya. Juga karier-nya. Sebagai orang baru, tentu saja idealnya harus terlihat lebih tahu diri. Termasuk tentu saja soal porsi untuk berpendapat. Lihat-lihat situasi amat penting, perhatikan juga dengan siapa ia menmbangun komunikasi. Untuk inovasi memang berbeda-beda antar organisasi pengelola zakat, namun umumnya lembaga yang besar dan mapan, jauh punya porsi lebih untuk inovasi dan pengembangan diri karyawan baru, juga lembaganya.
Amil baru butuh tenaga lebih bila ingin maju. Walau pada awalnya membutuhkan fisik yang prima dan tahan banting agar mulus Ketika melewati tahapan adaptasi, namun secara perlahan, ia wajib pintar. Ini diperlukan agar ia tak melulu bekerja hanya dengan mengandalkan tenaga fisik semata. Amil baru harus sadar diri, kadang banyak perintah kerja masuk untuknya, bahkan sering tiba-tiba. Karena daya tawarnya masih belum kuat, apapun perintah dan keputusan lembaga adalah titah untuk jadi panduan dalam ia bergerak melakukan sesuatu.
Dalam konteks arsitektur organisasi, amil baru adalah bagian pondasi. Namanya pondasi tentu tak terlihat di permukaan, apalagi tampil di panggung. Namun kokohnya lembaga justru ada di tangan mereka yang ada di bawah. Walau rasa yang tersimpan kadang tak mudah, namun menyatukan semua elemen pondasi agar campurannya kohesif tentu saja tantangan tersendiri. Menjadi bagian pondasi adalah mencampur secara sempurna antara simpanan rasa sabar dalam balutan harapan masa depan. Siapa sabar, dia akan punya tiket menuju garis vertikal. Bagi yang tak menyimpan kesabaran yang panjang dan dada yang lapang, pergi dari sekarang adalah pilihan terbaik agar tak menjadi beban. Apalagi bila berlama-lama tersumbat, bisa menjadi bisul atau setidaknya jerawat batu yang akut.
Walau lembaga tempatnya bernaung tugas besarnya membantu sesama, nasib Budi tak otomatis berubah tanpa masalah. Kadang ada saja persoalan yang muncul dalam kehidupan, yang kadang ujungnya bermuara pada keterbatasan anggaran. Usia generasi Budi ini umumnya walau masih muda namun rata-rata sudah mulai berkeluarga. Kadang sebagai amil, hidup Budi dan kawan-kawan-nya ini tak bisa dibilang aman. Dengan kemampuan lembaga yang terbatas dalam memberikan gaji untuk mereka, jelas saja harus banyak-banyak bersabar, juga berhemat. Inilah dilema amil bagi mereka. Bisa menjadi bagian untuk terus membantu sesama, walau kadang ada selimut duka karena berbagai keterbatasan dana yang mereka kelola di rumah tangga.
Amil Dua – Iwan (Supervisor)
Iwan mewakili sosok di elemen tengah organisasi. Dengan pengalaman, yang juga didukung latar belakang Pendidikan yang menunjang, ia semakin punya akar dalam bekerja, juga dalam posisinya di kantor. Walau ia tak lagi ada di level terbawah sebuah hierarkies, namun tetap saja tak mudah menjalaninya. Dalam posisi dirinya, Iwan punya beban dari atas, padahal saat yang sama, ada pula aspirasi, bahkan tuntutan dari bawah.
Posisi Iwan layaknya hulubalang barisan keprajuritan. Ia harus lincah, maju mundur dan bergerak luwes ke kanan dan kiri pasukan. Ia juga harus pandai menjelaskan sesuatu, dan tetap mampu menjaga keseimbangan perasaan. Tegas tapi ramah, ramah tapi tapi tak terkesan main-main. Susah sekali bukan?. Menjadi Iwan, juga harus mampu berdiri ditengah. Kadang berperan sebagai motivator, membagikan semangat dan optimisme pada tim dan lingkungaan disekitarnya. Kadang pula harus tegas bila ada potensi tak sesuai aturan. Mengendalikan dua situasi dalam sosok Iwan tentu saja butuh kemampuan dasar kepemimpinan.
Sebagai pengengah, Iwan harus belajar mengendalikan situasi. Termasuk mengurangi potensi penolakan, apalagi pembangkangan. Para penengah ini kuncinya sekali lagi harus lincah. Tak mager, hanya menikmati posisi dan terbuai prestasi pasukan di lapangan. Ia juga harus terlihat prima dimata tim dan lingkungan, juga punya motivasi yang tinggi, yang setiap saat harus bersedia berbagi. Agar makin kokoh posisinya, Iwan harus mampu merealisasikan setiap arahannya, bukan sekedar janji dan pemanis kata. Saat yang sama, Iwan juga mulai harus menjaga keseimbangan posisi dengan terus memperbaiki relasi horisontalnya , juga mengamankan diri dalam jalur vertical organisasi.
Apapun yang terjadi. Iwan telah terbiasa menjalani hidup sebagai amil lumayan lama. Selain selalu berhemat, ia juga terus berusaha mengelola rasa syukurnya. Bersyukur dapat pekerjaan dan masih terus dipercaya. Juga saat yang sama bisa bantu-bantu sesama yang membutuhkan lewat lembaga yang ia ada didalamnya. Iwan juga telah terbiasa mengkondisikan keluarganya untuk tak macam-macam dalam hidup, sehingga berapapun dana yang Iwan terima sebagai gaji atau upahnya ia serahkan pada istrinya untuk dikelola. Iwan sadar, dengan usia yang tak lagi muda, juga adanya keterbatasan kesempatan bekerja, ia harus realistis. Ditambah, saat jadi amil, Iwan punya kesempatan berbagi dengan sesama. Ia berharap semoga pengorbanan yang ia berikan, berujung pahala yang akan ia dapatkan nanti di hari pembalasan.
Amil Tiga – Agus (Manajer)
Untuk sampai ke level ini butuh jalan Panjang. Juga pembuktian kemampuan serta loyalitas terhadap organisasi. Lamanya bekerja, kadang tak menjamin kenaikan jenjang hingga posisi ini. Agus dan amil-amil di posisi yang selevel dengannya harus sadar bahwa posisi yang ia duduki ibarat kursi panas. Amat tergantung dari bagaimana ia duduk dan berperan di posisinya. Tak ada batas aman, juga jaminan pasti lebih nyaman. Agus juga harus paham, bahwa di posisi yang ia pegang, ada kunci-kunci yang ia lewati dan berhasil ia buka pada setiap etape-nya.
Menjadi baik, lalu bekerja dengan keras bukanlah cara terbaik di posisi Agus. Yang justru ia harus lakukan adalah, ia menjadi sel kuat yang akan menopang keberhasilan organisasi. Agus harus bersiap menjadi tulang punggung yang menguatkan cita-cita organisasi, walau sesulit apapun. Dalam dimensi keprajuritan, posisi Agus ini mendekati pimpinan pasukan, bahkan lebih tinggi dari itu, bisa sekelas hulu balang bahkan jenderal lapangan.
Amil di level ketiga, beban-nya semakin banyak dan bisa jadi semakin membuat tak nyaman. Di level ini, kesalahan tim akan bergeser menjadi kesalahan pimpinan. Tak ada prajurit yang salah, yang salah adalah pimpinannya. Dengan risiko yang semakin besar, wajar amil pada level ini diberi remunerasi yang lebih dari yang lainnya. Ia harus diberikan apresiasi dan penghargaan atas kiprahnya walau mungkin hanya dilebihkan kafalahnya sedikit lebih banyak dari yang lain. Hal ini tak lain agar terlihat bagaimana organisasi memberikan penghargaan yang proporsional.
Dalam perjalanan karier-nya sebagai amil, Agus merasakan bahwa posisi yang ia duduki saat ini sebenarnya gabungan dari banyak faktor. Selain soal keseriusan dan kesungguhan dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan, dimungkinkan juga karena Agus penuh loyalitas, sabar dan mau tahu dan terlibat dalam banyak urusan di dalam lembaganya. Amil ini kan belum menjadi sebuah industri yang mapan, yang semuanya tertata dan sistem pengelolaannya layaknya perusahaan. Ada banyak hal di dunia zakat ini yang masih terus disempurnakan agar bisa lebih optimal.
Orang seperti Agus, dengan dedikasi yang tinggi dan keingintahuan yang besar untuk maju, jelas diperlukan lembaga. Walau proses lembaga saat ini masuk ke era digital, tetap saja nilai-nilai utama lembaga seperti loyalitas, kesungguhan serta kegigihan untuk terus memajukan lembaga tetap layaknya mutiara. Apalagi bila ditambah dengan value kejujuran, keyakinan akan adanya pengawasan dari Allah dan kesadaran untuk terus berjama’ah ditengah beragam kesulitan dan tantangan lembaga yang terjadi. Ini soal rasa kepemilikan. Agus merasa terpanggil untuk hidup sebagai garda depan lembaga dalam membantu sesama. Ia terus berlatih menekan ego dan kepentingan diri dan keluarganya hanya untuk mengejar pahala dan kebaikan yang akan berbuah surga. Sulit bagi orang seperti Agus tergelincir ke dalam jurang kekecewaan lalu tiba-tiba memutuskan keluar dan malah berpindah ke tempat lain.
Amil Empat – Tris (Direksi)
Tris mewakili sedikit orang di dunia zakat. Ia kini berposisi sebagai salah satu direksi atau Board of Director (BOD). Posisi ini walau namanya sama, tentu saja berbeda kondisinya bila dibandingkan dengan sebuah perusahaan. Ada proses panjang yang harus dilewati Tris untuk bisa duduk sebagai bagian penting organisasi. Sebagaimana kita tahu, bahwa seorang direksi merupakan organ penting yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengelolaan semua urusan organisasi.
Selain harus bekerja lebih keras dan sungguh-sungguh, serta harus kreatif dan inovatif, seorang direksi wajib tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan atau regulasi yang berlaku. Semua aturan dan tata kelola perzakatan harus dirujuk dan dijadikan bagian dari aktivitas lembaga. Tris juga sebagai direksi harus berusaha meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga.
Urusan kian pelik, manakala direksi tak hanya sekedar bertugas memajukan lembaga, ternyata ia juga diberikan amanah untuk memelihara dan mengurus kekayaan organisasi secara serius dan transparan. Sebagai bagian dari BOD, seorang Direksi seperti Tris juga harus memastikan ia terlibat untuk melakukan pengendalian internal dan sistem manajemen resiko secara terstruktur dan komprehensif.
Bila melihat tugas dan tanggung jawab seperti tadi, sungguh menjadi direksi seperti Tris ini tak gampang dilakukan. Dengan tanggungjawab yang besar, ia harus serius bekerja, karena setiap kerugian yang berdampak pada organisasi, maka direksi dapat diminta pertanggungjawabannya secara langsung.
Oleh sebab itu, seorang direksi dalam organisasi pengelola zakat haruslah menjalankan jabatannya secara hati-hati dan dengan iktikad baik dan penuh kesungguhan. Jangan sampai ia tergoda untuk memajukan dan mengembangkan lembaga namun justru malah bisa merusak dan merugikan organisasi.
Walau tim yang dikelola sebagian besarnya sudah dikenal seorang direksi, bahkan mungkin ada diantaranya malah teman akrab, tetap saja ia harus berperilaku profesional. Ia harus bekerja optimal dan mengabaikan soal-soal pertemanan atau urusan lainnya yang tak relevan. Seorang Tris juga harus independen dalam memutuskan dan mengambil kebijakan organisasi. Ia tak boleh dipengaruhi hal-hal yang justru tak berkorelasi dan malah dapat merugikan lembaga. Tris juga harus menjadi pengayom yang baik plus jadi suri tauladan dalam bergam urusan yang ada. Bahkan urusan-urusan personal dan keluarga yang sebenarnya tak berkorelasi dengan dirinya sebagai seorang direksi.
Tris juga harus sadar, bahwa sebagai direksi ia berbeda dengan seorang karyawan. Ada tanggungjawab besar dipundaknya. Apapun rasa dalam jiwa seorang Tris, ia tetap harus menampilkan wajah ceria, tanpa beban dan berhias senyum yang tulus. Tris mewakili posisi direksi di sejumlah lembaga zakat, adalah elit yang tak boleh “sakit”. Ia harus berperilaku normal dan sehat. Sehat dalam seluruh dimensinya, baik lahir maupun batin.
Rasa apapun seorang Tris yang dirasakan, ia harus tetap tawar. Menyimpan luka, apalagi duka. Ia mewakili entitas besar amil, juga nasib dan masa depannya. Ia harus menampilkan keberanian, juga keyakinan bahwa gerakan zakat dan amilnya memiliki masa depan yang menjanjikan. Jangan takut bergerak, berbuat untuk umat dan melayani dan memperbaiki sesama.
Seorang Tris, ia mewakii sebuah dunia dimana hanya ada satu pilihan dalam hidupnya. Maju, maju dan hanya maju ke depan. Ia hanya menyimpan satu keyakinan bahwa Ia tak sendiri ketika bekerja, juga ketika kesulitan datang melanda. Ia yakin bahwa ada Allah yang akan menolongnya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad (47) : 7)
Semoga.
Ditulis oleh Nana Sudiana (Sekjend FOZ & Direksi IZI)