COVID-19 dan Disrupsi Sosial

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Kebijakan penanganan dan penanggulangan penyebaran virus yang meliputi pembatasan interaksi sosial di ruang publik, pelarangan mobilitas penduduk lintas provinsi, memperkuat aspek kuratif, sembari mengeluarkan kebijakan untuk menekan perilaku stigma, diskriminasi, dan eksklusi sosial  adalah langkah yang harus diambil.

 

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta sebagai upaya menekan laju eskalasi persebaran COVID-19 berlaku efektif Jumat (10/4/2020). Mungkin menyusul daerah lainnya. Mandat selanjutnya adalah melindungi jiwa (al-nafs) atas disrupsi sosial yang muncul akibat pandemik.

Semenjak pasien positif COVID-19 pertama diumumkan sekira satu bulan lalu, kotak pandora pun terbuka. Angka Pasien dalam Pemantauan (PDP) meningkat secara eksponensial per harinya. Proyeksi IDEAS (2020) per 1 Mei 2020 angka kasus infeksi COVID-19 bisa menembus 50.237 kasus. Sektor kesehatan kita akan letah-letai ditengah tidak berimbangnya infrastruktur dan sumber daya dengan jumlah pasien yang harus ditangani.

 

Menahan Mudik

Dalam kondisi pelik pandemik disrupsi di masyarakat takkan terhindarkan. Beragam reaksi sosial akan bermunculan. Respon awal adalah munculnya rasa khawatir dan cemas berlebih. Ketakutan dan kekhawatiran ini jika tidak ditangani akan merembet pada persoalan stigmatisasi dan diskriminasi yang justru akan memperparah upaya penanganan pandemik. PDP, tenaga kesehatan, hingga masyarakat dari wilayah episentrum pandemik menjadi salah satu kelompok rentan mengalami eksklusi sosial.

Dalam laporan yang ditulis oleh Jun Shigemura, et al. (2020) mengenai dampak pandemi COVID-19 di Jepang pasca ditemukannya kasus penularan COVID-19 antar manusia di Distrik Nara pada 28 Januari adalah terjadi peningkatan perilaku kecemasan di publik yang diikuti kelangkaan masker wajah serta obat antiseptik. Bertumpuknya berita – yang cenderung sensasional – ditambah minimnya informasi yang terpercaya (reliable), valid, dan akuntabel terkait COVID-19 membuat masyarakat menjatuhkan konklusinya atas desas-desus atau rumor. Patut dicatat, masyarakat Jepang telah beberapa kali menghadapi ancaman bencana kategori CBRNE (Chemical, Biological, Radiological, Nuclear, and high-yield Explosives) yang tak kasat mata. COVID-19 adalah bagian dari kategori ini. Namun disrupsi sosial sebagai akibat ketakutan atas virus dan minimnya informasi tetap terjadi jua.

Dari hari ke hari, peningkatan angka positif COVID-19 dan jumlah korban meninggal terus meningkat. Banyak ahli memprediksi Indonesia akan mencapai titik kulminasi persebaran di bulan Mei. Pandemik COVID-19 yang eskalasi persebarannya jauh melebih HIV/AIDS hanya membutuhkan waktu tidak lama hingga disrupsi sosial itu terjadi. Di awal COVID-19 meningkat kurva penyebarannya, kepanikan massal sempat melanda beberapa titik pusat perbelanjaan, di mana masyarakat memburu masker mulut, pembersih tangan (hand sanitizer), hingga bahan-bahan pokok.

Imbauan segregasi populasi terdampak dengan pola karantina mandiri senampaknya tidak membuahkan hasil maksimal. Tentu kita berharap penuh kebijakan PSBB dapat menekan laju persebaran, namun apabila tidak diperkuat dengan pelarangan mobilitas penduduk melintasi batas provinsi,kebijakan PSBB di kota besar tidak akan mampu menekan eskalasi persebaran. Pola penularan bahkan bisa masuk ke pedesaan andaikata tidak ada larangan mudik. Konsekuensi sosialnya akan jauh lebih sulit ditangani, terutama di wilayah dengan infrastrukur kesehatan yang minim.

 

Menangkal Stigma

Terdapat 4 tahapan evolusi pandemik pada kasus penyebaran HIV/AIDS seperti diutarakan Thomas C. Quinn (1996) yaitu Kemunculan, Penyebaran, Eskalasi, dan Stabilisasi. Pada periode Kemunculan, virus menjangkit masyarakat tak terdeteksi dan menyebar dengan sangat cepat tanpa diketahui secara luas. Dalam fase Penyebaran dan Eskalasi, banyak pihak mulai menyadari keberadaan virus tersebut, namun biasanya sudah terlambat. Penyebaran virus sudah luas dan upaya untuk membendung penyebarannya laiknya menggarami air laut.

Dalam fase kedua dan ketiga ini, Quinn menegaskan ledakan virus ini mulai mempengaruhi aspek ekonomi, perilaku sosial, hingga nilai-nilai dasar masyarakat yang berubah: “menyesuaikan” dengan kondisi lingkungan. Dalam konteks COVID-19 pembatasan interaksi sosial di ruang publik adalah bentuk adaptasi perilaku ditengah eskalasi persebaran virus. Pada fase ini juga, disampaikan oleh Nitta Mawar (2006) reaksi sosial atas luasnya penyebaran HIV/AIDS di India direpresentasikan oleh munculnya stigmatisasi dan diskriminasi luas terhadap pengidap dan orang-orang sekitarnya.

Stigma, prasangka negatif dan diskriminasi itu muncul sebagai akibat berkelindannya ketakutan publik serta misinformasi terkait COVID-19. Dalam perspektif penanggulangan pandemik, persoalan sosial ini bisa jadi jauh lebih berbahaya ketimbang permasalahan virus itu sendiri. Masyarakat yang berasal dari wilayah episentrum penyebaran COVID-19, termasuk diantaranya adalah tenaga kesehatan yang menangani pasien, sangat rentan mengalami stigma dan diskriminasi perlakuan. Masyarakat Wuhan, misalnya, di awal-awal persebarannya menjadi target sasaran kambing hitam atas sebab-musabab wabah COVID-19 (Shi-Yan Ren, 2020).

Stigma dan diskriminasi yang dialamatkan kepada sekelompok masyarakat justru akan memperlambat penanganan persebaran virus. Penutupan akses masuk ke desa dari kaum pendatang, hingga ditolaknya proses pemulasaraan jenazah terduga COVID-19 adalah disrupsi sosial yang harus segera ditangani. Berkaca dari Wuhan, WHO menyatakan bahwa untuk mengontrol persebaran virus, langkah taktis yang dapat diambil diantaranya adalah isolasi dan karantina PDP, penutupan (lockdown) kota, dan menutup akses transportasi komersiil. Maka, relevansi pelarangan mudik dapat dilihat tidak hanya dari sisi menekan eskalasi penyebaran, namun melindungi kelompok rentan mendapatkan eksklusi sosial.

Pertarungan melawan pandemik COVID-19 adalah tanding stamina dalam jarak imajiner tak menentu. Tak cukup sekedar langkah taktis dalam satu-dua langkah bidak. Kebijakan penanganan dan penanggulangan penyebaran virus yang meliputi pembatasan interaksi sosial di ruang publik, pelarangan mobilitas penduduk lintas provinsi, memperkuat aspek kuratif, sembari mengeluarkan kebijakan untuk menekan perilaku stigma, diskriminasi, dan eksklusi sosial  adalah langkah yang harus diambil. Segera. (*)

Ditulis oleh Arif R. Haryono – Ketua Bidang II Advokasi Forum Zakat – Pegiat Kemanusiaan Dompet Dhuafa