Filantropi 4.0 : Konsep Nyata atau Euforia Belaka ?

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas yang tinggi, maka di era 4.0 ini setiap lembaga hendaknya mulai merubah konsep operasionalnya dari yang semula owning economy menjadi sharing economy

Hadirnya banyak perubahan di era revolusi industri 4.0 ini membuat banyak sektor dan lembaga berlomba-lomba untuk melakukan improvement dengan menyertakan 4.0. Sebut saja seperti sektor pemerintahan, pendidikan dan sektor lainnya yang hari ini menambahkan tagline seperti government 4.0 , education 4.0. Tidak hanya yang disebutkan tadi, hal ini juga kini mulai merambah kepada dunia filantropi 4.0 (zakat 4.0).

Dengan masuknya era 4.0 maka banyak lembaga dituntut untuk menyesuaikan zaman yang salah satunya adalah dengan menghadirkan konsekuensi digitalisasi. Seperti merubah proses dan kegiatan operasionalnya yang semula dari layanan konvensional menjadi layanan digital.

Tapi perlu kita ingat, bahwa tidak semua 4.0 haruslah identik dengan digital? Kenapa? Karena makna dan nilai yang diusung oleh konsep 4.0 sebetulnya bukan hanya ‘sekedar digital’ karena jika hanya sebatas digital maka banyak di era sebelumnya telah terbukti ‘gagal’.

Makna 4.0 adalah soal menciptakan efisiensi dan efektifitas sebesar besarnya. Seperti contoh, pada layanan transportasi, dimana terciptanya efisiensi waktu dan biaya karena hadirnya kemudahan mendapatkan customer melalui platform digital sehingga menimbulkan banyaknya dan besarnya transaksi. Dalam platform 4.0 kita yang mempunyai surplus aset (biaya) akan dihubungkan dengan mereka yang memiliki surplus tenaga. Atau mereka yang sama-sama memiliki kebutuhan akan dihubungkan hanya dengan platform untuk saling menemukan. Seperti penumpang yang mencari tukang ojek begitupun dengan tukang ojek yang mencari penumpang.

Selain pada sektor transportasi, lain hal dengan sektor makanan, dengan adanya sharing economy, para pihak dapat diuntungkan oleh beberapa hal. Revolusi industri 4.0 yang dibarengi dengan digitalisasi operasional membuat pengusaha makanan tak lagi harus memiliki restoran, ataupun pengusaha baju dan lainnya yang kini tak harus memiliki toko lagi. Mereka sekarang cukup bergabung dengan platform dan mendapatkan order serta customernya. Begitupun dengan penyedia layanan platfom yang mendapatkan keutungan hanya dengan mengambil dari persentase budget pengusaha. Hal inilah yang seharusnya ditiru oleh sektor lain seperti sektor pemerintahan, pendidikan bahkan di dunia filantropi. Tentunya  yang ditiru bukan hanya pada transformasi digital. Karena ada yang tak kalah penting yaitu soal efisiensi dan efektifitas anggaran.

 

Baca juga:

Disrupsi Pada Filantropi, Amil Harus Apa ?

 

Untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas yang tinggi, maka di era 4.0 ini setiap lembaga hendaknya mulai merubah konsep operasionalnya dari yang semula owning economy menjadi sharing economy. Yaitu sebuah konsep ekonomi berbagi yang menghendaki para pelakunya berbagi sumber dayanya masing-masing untuk mencapai tujuan yang dikehendaki tanpa harus memiliki seperti konsep sebelumnya yakni owning economy.

Sharing economy atau yang biasa dikenal juga dengan istilah gig economy ini perlahan mulai ditiru oleh berbagai perusahaan senior. Konsep “baru” yang dihadirkan oleh banyak start up ini memiliki banyak keunggulan. Dengan penerapan “sharing” mereka yang seharusnya mengeluarkan biaya besar, membeli ribuan asset, dan menggaji banyak karyawan kini hanya sekedar melakukan “share” satu sama lain.

Jauh sebelum gojek, grab, uber, airbnb ataupun start up lainnya menerapkan konsep tentang sharing economy, Islam sebetulnya sudah jauh jauh hari untuk mengajarkan konsep ini melalui nilai musyarakah yang dibalut dengan ukhuwah. Dari kedua nilai ini sebetulnya kita sudah dianjurkan untuk saling berkolaborasi (syirkah)  serta memiliki jiwa kebersamaan ukhuwah. Sehingga dari dua hal tersebut kemudian menjadi salah satu jalan untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas dalam aktifitas.

Dalam perusahaan komersil, sharing economy lebih banyak dilakukan kepada hal yang sifatnya capital (modal) yang bebertuk wujud (material) maupun tenaga (sumberdaya). Seperti kendaraan, bangunan, jasa dan lainnya. Meskipun ada juga beberapa perusahaan yang juga menerapkan konsep sharing economy ini kepada non material yang diantaranya adalah modal sosial seperti trust, goodwill seseorang untuk meraup pasar. Sama halnya dengan perusahaan komersil, pada institusi filantropi pun demikian halnya, mereka bisa menerapakan konsep serupa, dengan melakukan sharing operasional seperti open donation untuk kendaraan operasional ataupun bangunan hingga menggunakan nama besar tokoh untuk menjaring donatur atau muzzaki zakat.

Dengan penerapan konsep sharing economy ini, core business filantropi yaitu seputar menghimpun dan menyalurkan dana bisa menjadi lebih singkat dan tepat. Serta biaya operasional yang awalnya membengkak kini menjadi bisa ditekan menjadi lebih hemat, efisien dan efektif. Namun untuk menerapkan konsep sharing economy ini tentu akan ada trade off yang harus dilakukan oleh sebuah lembaga. Salah satunya adalah mengeluarkan biaya investasi digital. Hal ini yang kemudian seringkali dipersoalkan oleh para senior. Bisa jadi karena ketidakpahaman, ataupun karena sudah terlanjur nyaman dengan yang kini dilakukan. Namun perlu kita semua ingat, bahwa hari semakin berganti begitupun dengan roda kelembagaan di filantropi. Yang muda akan mengganti yang tua. Junior akan mengganti senior, staff akan menjadi direksi, dan anda akan menggantikam mereka.

Maka kembali lagi kepada tagline 4.0 yang dicanangkan oleh beberapa sektor lembaga salah satunya adalah filantropi. Kadang diantara kita mungkin ada yang menyalahartikan dan menyalahtujuankan konsep 4.0. Kehadiran gagasan 4.0 pada beberapa sektor ini seharusnya adalah untuk mempercepat proses. Kehadiran 4.0 adalah untuk mengurangi banyak biaya dan kegiatan yang tidak relevan bukan malah sebaliknya. Tapi kini malah banyak lembaga membuat anggaran besar hanya untuk biaya digital tanpa mengurangi biaya konvensionalnya. Bahkan jangan sampai tagline 4.0 hanya dijadikan sekedar gengsi dan adu pamor semata. Implementasi simpelnya adalah seperti ketika adanya biaya digital tentu biaya pembelian kertas dan semacamnya harusnya berkurang. Proses kegiatan di pemerintahan yang awalnya rumit dan lambat harusnya menjadi lebih cepat dan tepat. Seperti pada tatanan Service Level Agreement (SLA) lembaga.

Maka ditengah ramainya isu 4.0 jangan sampai kita melupakan hal yang paling penting, yaitu soal efisiensi dan efektifitas. Di era perubahan zaman yang semakin modern ini harusnya bukan digitalisasi yang menjadi tujuan, karena digitalisasi hanyalah jalan untuk menciptakan efektifitas dan efisiensi kegiatan. Oleh karena itu, penting bagi para penggiat pemerintahan, pendidikan dan yang lainnya serta juga di filantropi untuk tidak termakan dan hanya larut pada euforia 4.0, melainkan menciptakan konsep nyata 4.0 (*)

 

Ditulis oleh Muhammad Taufiq BNP
Staf Perdistribusian dan Pendayagunaan Mandiri Amal Insani (MAI)
ASEAN Millenial Amil Community – Penulis Buku Filantropi 4.0