Forum Zakat Gelar Konferensi Zakat Nasional 2016

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Forum Zakat—Pada awal tahun 2016 Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan per September 2014 sebesar 27,73 juta jiwa, sedangkan di bulan September 2015 meningkat menjadi 28,51 juta jiwa. Itu artinya kemiskinan di Indonesia pada September 2015 bertambah 780.000 jiwa bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Jumlah penduduk miskin paling banyak ada di Pulau Jawa, sebesar 15,31 juta jiwa. Sementara sisanya tersebar di Sumatera 6,31 juta jiwa, Bali dan Nusa Tenggara 2,18 juta jiwa, Pulau Sulawesi 2,19 juta jiwa, Maluku 1,53 juta jiwa, dan Kalimantan sebesar 0,99 juta jiwa. Sementara itu, alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2015 untuk pengentasan kemiskinan yang berada di Kementerian Sosial sebesar Rp 14 triliun.

Berdasarkan hasil riset BAZNAS dan IPB, potensi zakat secara nasional ditaksir mencapai Rp 217 triliun setiap tahun. Angka itu dilihat berdasarkan produk domestik bruto (PDB). Ketika PDB naik, maka potensi zakat juga bergerak. Jadi, itu didasarkan pada PDB tahun 2010. Padahal setiap tahun PDB bergerak naik. Kalau memperhitungkan pertumbuhan PDB tahun-tahun sesudahnya, maka tahun ini potensi zakat berubah menjadi sekitar Rp 274 triliun. Potensinya besar sekali.

Dengan angka tersebut, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim, bisa mempunyai dampak yang luar biasa dalam mengentaskan kemiskinan. Namun edukasi yang minim mengenai zakat, infak maupun sedekah menjadi hambatan dalam pengumpulan ziswaf itu sendiri. Hal itu pula membuat masyarakat kebingungan untuk mendistribusikan zakat sehingga masih banyak masyarakat yang memilih untuk mendistribusikannya secara pribadi daripada menyalurkannya terlebih dahulu ke suatu lembaga.

Meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Alvin Toffler dalam bukunya, The ThirdWave, saat ini zakat setidaknya sudah melewati dua gelombang peradabannya dan sedang bersiap menjejakkan langkahnya di fase ketiga. Fase pertama adalah paradigma lama zakat, dimana ketika zakat didistribusikan untuk santunan dan kebutuhan karitatatif yang biasanya dihabiskan untuk kebutuhan konsumtif.

Namun tidak seimbangnya sisi penerimaan zakat, dan jumlah orang yang miskin membuat masalah kemiskinan tidak dapat diselesaikan dengan cara tersebut, maka masuklah zakat ke fase kedua yaitu saat zakat didayagunakan untuk mengatasi problem kemandirian di kalangan masyarakat miskin. Karena selama ini sektor usaha informal yang mereka lakukan, menjadikan mereka tak berdaya untuk meningkatkan kapasitas usahanya.

Selain itu program inovatif lainnya adalah penyediaan layanan barang publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Di sini kita perlu acungkan jempol saat beberapa Lembaga Amil Zakat(LAZ) dengan gagah berani membuka program layanan kesehatan secara gratis, sekolah unggulan untuk dhuafa bebas biaya, dan program-program sejenis lainnya.

Pemerintah juga mengakui faktor kepercayaan kepada lembaga zakat menjadi kendala masih banyak para muzaki yang lebih memilih untuk menyalurkan zakatnya secara mandiri. Karena itu Direktur Pemberdayaan Zakat Kementerian Agama RI Jaja Jaelani terus mendorong agar masyarakat7 menyalurkan zakatnya melalui lembaga zakat resmi, “Masyarakat kurang mendapatkan informasi tentang cara menyalurkan zakat,” kata Jaja.

Namun dari sekian program-program inovatif yang dibuat LAZ memang dampaknya masih belum dirasakan secara makroekonomi bahkan cenderung rentan terhadap perubahan kondisi akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang bisa dengan sangat cepat meruntuhkan tembok kemandirian yang telah susah payah dirintis tersebut.

Di sini zakat sudah harus memasuki gelombang ketiga, dimana LAZ mengambil peran sebagai mitra pemerintah dalam memandirikan umat melalui advokasi kebijakan untuk menciptakan keadilan sosial. Dalam pengertian yang lebih luas LAZ ikut serta mewarnai kebijakan pemerintah yang lebih pro-poor, mengawasi peran pemerintah dalam pembuatan dan implementasi kebijakan, serta membela hak-hak masyarakat yang bersinggungan dengan kebijakan negara.

Sistem pengelolaan dan pendistribusian zakat bisa dijadikan alat pendukung kebijakan fiskal untuk mengurangi jumlah angka kemiskinan dan menekan kesenjangan sosial. Meski demikian, hal itu tercapai apabila pengelola zakat baik di pusat dan di daerah profesional, serta didukung sumber daya manusia yang mampu menjalankan tata kelola dengan baik.

Sebagai tambahan, persentase perolehan dana zakat terhadap GDP di Indonesia baru mencapai 0,89 persen. Angka ini lebih rendah dengan Malaysia yang mencapai 1,09 persen, Iran 1,79 persen, dan Mesir 1,9 persen.

Di tahun 2016 seiring dengan naiknya penghimpunan secara umum di lembaga amil zakat, dan bertambahnya regulasi tentang zakat yang makin rinci, gerakan zakat harus menemukan momentumnya. Karna itu seluruh stakeholders perlu mempersiapkan diri lebih baik, tujuan utamanya adalah kontribusi untuk umat. Tak ada cara lain untuk memaksimalkan potensi itu, selain melakukan SINERGI.

Menurut Ketua Forum Zakat(FOZ) Nasional Nur Efendi, diperlukan blueprint bersama dalam upaya pengelolaan zakat ke depan. Sehingga tidak ada lagi blueprint pengelolaan zakat yang dibuat oleh masing-masing lembaga zakat. Dan Pada akhirnya keberadaan lembaga pengelola zakat yang ada bisa berperan sigifikan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Jadi kalau ingin tahu kehebatan sebuah negara lihat saja bagaimana pengelolaan zakatnya. Jika baik, negara itu akan menjelma menjadi negara yang hebat,” imbuhnya.

Atas dasar itulah FOZ mengadakan acara Konferensi Zakat Nasional 2016 (Z-30), yang dilaksanakan pada 20-21 Januari 2016, bertempat di Alia Cikini Jakarta. Dalam Konferensi Zakat Nasional Z-30 nanti, akan dirumuskan kerjasama strategis dan sinergi program berkelanjutan selama tahun 2016, dengan tiga tema inti: kemiskinan, sinergi dan kapasitas.

Diharapkan dengan acara tersebut terlahir program sinergi, bukan hanya even, namun berbasis output, outcome yang mengambil beberapa daerah pilot project. Fokus sinergi pada pengentasan kemiskinan di sektor pendidikan, ekonomi, kesehatan dan lingkungan.[]