Hasil Riset: Analisis Kesiapan Laz Dalam Menghadapi Era Digital

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Forumzakat – Saat ini dunia sedang memasuki masa meredanya globalisasi seiring dengan kemunculan era digitalisasi. Kondisi ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Cina, tetapi juga negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Perry Warjiyo (dalam pidato kunci pada acara 13th International Conference and Call for Papers Bulletin of Monetary Economics and Banking di Bali), setidaknya terdapat empat ciri yang menandakan transisi era ini. Salah satu ciri tersebut adalah semakin maraknya digitalisasi di berbagai bidang, misalnya saja di bidang ekonomi, semakin banyak muncul perusahaan rintisan yang bergerak di sekor niaga elektronik atau e-commerce.

Sejak tahun 2014, Euromonitor mencatat, penjualan online di Indonesia sudah mencapai 1,1 miliar USD. Data sensus Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebut, industri e-commerce Indonesia dalam 10 tahun terakhir meningkat hingga 17 persen dengan total jumlah usaha e-commerce mencapai 26,2 juta unit. Riset terbaru dari Google (Laporan e-Conomy SEA 2018) menunjukkan bahwa ekonomi digital Indonesia tahun ini mencapai 27 miliar USD atau sekitar Rp391 triliun. Angka tersebut menjadikan transaksi ekonomi digital Indonesia berada di peringkat pertama untuk kawasan Asia Tenggara dengan kontribusi sebesar 49 persen.

Dalam perspektif fikih Islam, kata ‘zakat’ secara spesifik mengacu kepada bagian harta yang diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik) yang telah ditentukan oleh Allah (Al-Qardawi, 2000). Lebih teknis, zakat didefinisikan sebagai pengeluaran tahunan dari kekayaan dengan proporsi tertentu yang kemudian didistribusikan kepada orang yang membutuhkan (Al-Qardawi, 2000).

Kesiapan (readiness) menurut business dictionary diartikan sebagai “State of preparedness of person, systems, or organizations to meet a situation and carry out a planned sequence of actions. Readiness is based on thoroughness of the planning, edaquacy and training of the personel, and supply and reserve of support service or systems”, maksudnya ialah kesiapan merupakan pernyataan siap dari seseorang, sistem atau organisasi untuk memenuhi dan melaksanakan sebuah kegiatan yang terencana. Kesiapan ini berdasarkan pada perencanaan, kemampuan sumberdaya manusia, serta dukungan dari sistem.

Dada (2006) memaknai e-readiness sebagai tolak ukur atau derajat suatu masyarakat yang dinyatakan siap dalam memeroleh manfaat dari teknologi informasi, sedangkan Vaati (2009) mendefinisikan e-readiness sebagai kemampuan sebuah institusi untuk memanfaatkan jaringan komputer dan internet sebagai sebuah mesin yang berguna untuk mengakses berbagai material elektronik. Lebih lanjut, Bowles (2011) mengartikan e-readiness sebagai gambaran tentang kapasitas seseorang atau kelompok untuk mengadopsi dan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi guna mencapai hasil yang bermanfaat.

E-readiness di lembaga amil zakat dapat diartikan sebagai kesiapan lembaga amil zakat secara keseluruhan untuk memanfaatkan teknologi informasi guna memberikan layanan kepada mustahik dan muzakki serta membantu proses terselenggaranya aktivitas operasional lembaga amil zakat agar berjalan dengan maksimal.

Penelitian yang dikembangkan oleh Mutula dan Brakel (2006) adalah model yang digunakan untuk menilai kesiapan teknologi di suatu lembaga atau perusahaan. Lembaga Amil Zakat (LAZ) merupakan lembaga filantropi Islam yang berperan menghimpun, mengelola, dan menyalurkan dana sosial keagamaan di Indonesia. LAZ memiliki kepentingan untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak seperti mustahik, muzakki, dan pengambil kebijakan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan model dari Mutula dan Brakel.

Terdapat lima segmen kesiapan yang kemudian dibagi menjadi 112 komponen, yaitu: Kesiapan Informasi (Information Readiness), Kesiapan Lembaga (Enterprise Readiness), Kesiapan Sumber Daya Manusia (Human Resources Readiness), Kesiapan Infrastruktur (ICT Readiness), dan Kesiapan Lingkungan Eksternal (External Environment Readiness).

Model Penilaian e-Readiness
Sumber: Mutula dan Brakel (2006)

Pandangan Terkait Digitalisasi

Keberhasilan penerimaan sistem informasi tidak hanya ditentukan oleh bagaimana sistem tersebut bisa memproses suatu informasi dengan baik, tapi juga ditentukan oleh tingkat penerimaan individu terhadap penerapan sistem informasi tersebut. Penerimaan sebuah teknologi dapat diukur dengan menggunakan Technology Acceptance Model (TAM).

TAM dikemukakan oleh Davis (1986) yang mengembangkan kerangka pemikiran tentang minat pemanfaatan teknologi informasi. TAM berfokus pada sikap terhadap pemakaian teknologi informasi oleh pemakai dengan mengembangkannya berdasarkan persepsi manfaat dan kemudahan dalam pemakaian teknologi informasi.

Perceived usefulness didefinisikan sebagai tingkat di mana seseorang percaya bahwa dengan menggunakan sistem tertentu dapat meningkatkan kinerja (Davis, 1989). Sesuai dengan teori TAM, penggunaan sistem (actual system usage) paling dipengaruhi oleh minat untuk menggunakan (behavioral intentions toward usage). Behavioral intentions toward usage dipengaruhi oleh dua kepercayaan, yaitu persepsi pengguna terhadap manfaat (perceived usefulness) dan persepsi pengguna terhadap kemudahan (perceived ease of use).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa 88% LAZ memandang bahwa adanya digitalisasi mendukung aktivitas operasional lembaga, hanya 1% saja yang menganggap digitalisasi menghambat aktivitas harian. Sesuai dengan teori TAM, lembaga yang beranggapan bahwa digitalisasi mendukung aktivitas operasional umumnya sudah merasakan manfaat dari adanya digitalisasi.

Jika mengacu pada TAM tersebut, kami menemukan bahwa lembaga yang memiliki pandangan bahwa digitalisasi menghambat aktivitas harian adalah lembaga yang berada jauh dari pusat kota dan memiliki keterbatasan SDM secara kualitas dan kuantitas, sehingga dengan adanya digitalisasi ini bagi mereka justru akan membuat lembaga tertinggal dalam banyak hal karena tidak mampu mengikuti perkembangannya. Sebaliknya lembaga amil zakat yang mengaku mendukung adanya digitalisasi sudah merasakan kemudahan dan manfaat dari adanya sistem yang serba digital atau kalaupun memang belum menerapkan digital secara menyeluruh lembaga tersebut sudah memahami manfaat seperti apa yang akan diperoleh.

 

Kanal Media Berbayar

Kepemilikan kanal media digital yang berbayar menunjukkan bahwa suatu lembaga menganggap kanal tersebut sebagai alat yang penting dalam aktivitas operasional sehari-hari. Gambar berikut menunjukkan bahwa 86% lembaga sudah menggunakan kanal media digital berbayar, hanya 14% lembaga saja yang belum menggunakan kanal media berbayar.

Berdasarkan analisis kami terhadap lembaga yang belum menggunakan kanal media digital tersebut, umumnya lembaga yang tidak menggunakan kanal media berbayar merupakan lembaga yang menganggap bahwa penggunaan teknologi dalam operasional sehari-hari bukanlah suatu hal prioritas. Lebih jauh, penggunaan kanal media digital (walaupun versi dasar) sudah cukup menunjukkan bahwa lembaga amil zakat sudah bisa memosisikan diri di era digital dan tidak gagap ketika terjadi ‘guncangan’ eksternal seperti pandemi Covid-19 yang memang mau tidak mau memaksa mereka beralih ke operasional secara digital.

Sementara lembaga-lembaga yang sudah menggunakan kanal media digital memang sudah secara khusus mengalokasikan anggarannya untuk hal-hal terkait digital. Disamping anggaran untuk digital, lembaga-lembaga ini juga memiliki alokasi anggaran untuk penelitian dan divisi IT beserta digital marketing yang memang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Lembaga-lembaga ini umumnya sudah merasakan dampak positif dari penggunaan perangkat digital bagi penghimpunan dan aktivitas operasional harian.

Rencana Penerapan Blockchain

Selain mengadopsi konsep good amil governance dalam ZCP untuk meningkatkan kualitas pengelolaan zakat di lembaga, penggunaan blockchain juga merupakan salah satu resolusi yang diusulkan dalam World Zakat Forum 2019.

Teknologi blockchain ini memungkinkan untuk melacak dana zakat sejak awal dihimpun, perjalanannya dalam pengelolaan, hingga pada penyalurannya. Bagi muzakki, blockchain dapat memberikan informasi terkait alur dari dana yang dizakatkan. Proses ini tidak hanya diketahui oleh lembaga amil zakat yang menerimanya saja, tetapi siapapun yang terhubung dalam sebuah sistem blockchain tersebut. Hal ini akan menjamin keakuratan dari penyaluran  zakat yang tepat sasaran serta menjamin tidak terjadinya tumpang tindih mustahik. Hingga pada akhirnya akan mempermudah bagi akuntan publik dalam mengaudit lembaga zakat. Demikian pula bagi Kementerian Agama dalam rangka audit syariah.

Jika penggunaan teknologi ini bisa diterapkan, dunia perzakatan akan semakin bergairah lagi. Hal ini menjadi salah satu alasan minimnya realisasi potensi zakat di Indonesia akibat belum percayanya masyarakat untuk membayarkan zakatnya kepada lembaga amil zakat. Di samping juga fakta bahwa keberadaan teknologi seperti blockchain yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Dari 104 lembaga, 71 diantaranya mengaku mau menerapkan blockchain jika kelak ada kesempatan untuk memanfaatkannya. Hanya 29 lembaga yang mengaku tidak mau menerapkan teknologi blockchain walaupun ada kesempatan untuk hal tersebut.

Jawaban lembaga atas rencana penerapan blockchain ini sangat bergantung pada pemahaman mereka terhadap sistem blockchain itu sendiri. Penelitian ini juga sekaligus memberikan edukasi kepada lembaga amil zakat yang menjadi responden untuk lebih mengenal potensi teknologi blockchain tersebut. Mayoritas lembaga pada awalnya tidak memahami bagaimana konsep blockchain, setelah dijelaskan lebih lanjut, dengan merefleksikan pada kemampuan dan kemungkinan manfaat yang diperoleh, seperti yang ditampilkan pada Gambar 5.8 di atas, mayoritas lembaga amil zakat bersedia dan mau untuk mencoba menerapkan blockchain dalam pengelolaan zakat.

Program Peningkatan Kompetensi Digital bagi Amil

Penelitian ini menunjukkan bahwa lembaga amil zakat sudah menyadari pentingnya kompetensi amil di era digital. Sejalan dengan lembaga yang sudah memiliki program pengembangan SDM, program khusus digital cukup mendominasi. Sebanyak 69% lembaga memiliki program khusus peningkatan kompetensi amil khusus terkait skill digital. Fakta ini didukung juga oleh temuan sebelumnya dalam poin alokasi anggaran pengembangan SDM secara umum yang dilakukan oleh lembaga amil zakat.

Program peningkatan kompetensi digital bagi amil zakat ini menjadi salah satu tolak ukur kesiapan lembaga dalam model Mutula dan Brakel (2006) karena kompetensi digital berkaitan erat dengan kesiapan digital. Semakin tinggi kompetensi yang dimiliki oleh amil, akan semakin siap lembaga tersebut untuk menghadapi era digital. Jika tidak terdapat program khusus untuk peningkatan kompetensi digital bagi amil, kompetensi yang dimilikinya akan kalah dengan cepatnya perkembangan teknologi.

Adapun program kompetensi digital ini tidak hanya berbentuk pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh lembaga terkait (seperti Sekolah Amil Indonesia) atau dengan memanfaatkan konten dari platform seperti Youtube yang dapat diakses kapanpun secara gratis. Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari para pelaku digital di Indonesia dalam sesi wawancara mendalam, beberapa lembaga (seperti Bukalapak dan GOPAY) juga telah bekerja sama dengan LAZ anggota Forum Zakat dan BAZNAS untuk memberikan pelatihan terkait topik-topik digital terkini untuk meningkatkan kompetensi digital bagi para amil.

Intensitas Penggunaan Kanal Digital dalam Sepekan

Intensitas penggunaan kanal digital dalam sepekan menunjukkan seberapa penting peran teknologi dalam aktivitas operasional lembaga. Sebanyak 38% lembaga menggunakan kanal digital setiap hari, 7% lainnya menggunakan selama 2-3 kali sepekan, 14% lembaga hanya satu kali dalam sepekan, kemudian sisanya sebanyak 41% lembaga menggunakan kanal digital kurang dari 1 kali dalam sepekan.

Intensitas penggunaan kanal digital di lembaga amil zakat dapat menjadi salah satu indikator untuk melihat seberapa baik kualitas konten yang dihasilkan oleh lembaga. Hal ini dikarenakan semakin sering pemakai menggunakan kanal digital, maka kemungkinan terjadinya kesalahan akan semakin sedikit, dengan demikian keluaran yang dihasilkan akan semakin baik.

Gambar di atas menunjukkan bahwa secara umum intensitas penggunaan kanal digital di LAZ dalam sepekan sangat bervariasi. Hal ini karena aktivitas di lembaga zakat seringkali lebih banyak berhubungan langsung dengan mustahik di lapangan, hanya beberapa divisi saja yang secara intens harus terus menggunakan kanal digital.

Sebanyak 59% lembaga menggunakan kanal media digital minimal satu kali dalam sepekan. Lembaga tersebut umumnya sudah mengatur jadwal antara penggunaan kanal media dengan aktivitas lainnya. Sementara 41% lembaga lainnya menggunakan kanal media digital kurang dari satu kali dalam sepekan karena belum sepenuhnya menyadari pentingnya engagement media terhadap jumlah penghimpunan yang diterima. Hal ini menjadi catatan khusus bagi lembaga amil zakat agar dapat lebih memaksimalkan potensi penggunaan kanal digital, meski intensitas penggunaan kanal digital ini tidak sepenuhnya menggambarkan penguasaan teknologi di lembaga amil zakat.

Marketing di LAZ

Selain divisi IT, digital marketing juga merupakan salah satu instrumen penting dalam menilai kesiapan lembaga dalam menghadapi era digital. Penelitian ini menunjukkan bahwa 54% lembaga amil zakat sudah memiliki divisi digital marketing, 36% lembaga yang lain tidak memiliki divisi digital marketing, dan 10% lainnya tidak menjawab.

Dalam kondisi khusus, seperti munculnya pandemi Covid-19 ini, cara-cara pemasaran konvensional menjadi tidak relevan untuk dilakukan karena kondisi di lapangan tidak memungkinkan. Salah satu faktor yang menyebabkan Covid-19 ini berdampak serius bagi LAZ adalah kemampuannya dari sisi digital marketing. Semakin baik sebuah LAZ memiliki kesiapan digital marketing, maka semakin mampu lembaga tersebut eksis dan bertahan.

Kesiapan dalam digital marketing ini tentu diawali dari keberadaan divisi khusus digital marketing di lembaga. Sebanyak 36% lembaga yang mengatakan tidak memiliki divisi digital marketing umumnya memang tidak memiliki divisi khusus untuk fungsi tersebut, namun fungsinya dijalankan dalam divisi lain sehingga tidak fokus. Sedangkan 54% lembaga yang sudah memiliki divisi digital marketing juga menjalankan fungsi dari divisi IT dan media di dalam divisi tersebut.

Hambatan dalam Mengakses Internet

Hambatan dalam menggunakan internet yang dihadapi oleh lembaga amil zakat saat ini mulai dari jaringan buruk, terutama untuk daerah-daerah yang terpencil, sering terjadinya pemadaman listrik, pembayaran internet yang cukup mahal, dan beberapa kendala lainnya.

Dari 104 lembaga amil zakat yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini, sekitar 34% diantaranya masih menghadapi hambatan/kendala dalam menggunakan internet, 3% diantaranya tidak tau atau tidak mau menjawab, dan 63% lembaga amil zakat sudah tidak memiliki kendala dalam mengakses internet di kantor.

Dari 34% lembaga yang mengaku mengalami hambatan dalam akses internet umumnya merupakan LAZ yang berada jauh dari Pulau Jawa. Ada disparitas antara Indonesia Barat dan Timur. Pulau Jawa memiliki akses 4G yang baik, tetapi makin menjauhi jawa maka semakin buruk.[1] Untuk itu, hal yang dilakukan pemerintah saat ini adalah mendorong pembangunan jaringan pita lebar dan akses seluler. Kominfo memiliki proyek Palapa Ring yang telah tersambung ke Papua dan pelosok. Kemudian, Kominfo juga menggelar jaringan 4G itu juga semakin luas sehingga kota-kota besar Indonesia bisa mendapat akses pita lebar karena tanpa jaringan pita lebar maka tidak akan bisa menggunakan smartphone. Jika tidak bisa menggunakan smartphone, umumnya kita tidak akan bisa menggunakan aplikasi yang dibutuhkan untuk transaksi, termasuk berzakat secara online dengan aplikasi.

 

Kepemilikan Kanal Media Digital

Kanal media digital merupakan salah satu infrastruktur teknologi informasi yang utama bagi penerapan zakat di era digital, mayoritas lembaga sudah memiliki bekal kanal media digital yang cukup baik. Semakin beragam kanal media digital yang dimiliki oleh lembaga, akan semakin beragam juga sumber penghimpunan dana yang mungkin diterima oleh lembaga.

Penelitian ini menunjukkan bahwa hampir seluruh lembaga amil zakat sudah memiliki kanal media digital. Hanya satu dari 104 lembaga saja yang benar-benar belum memiliki kanal media digital, sementara satu lembaga lainnya tidak menjawab. Satu lembaga tersebut menjadi cermin bagi lembaga amil zakat di daerah yang masih menggunakan cara konvensional untuk menjangkau calon muzakkinya.

Akses internet merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi oleh sebuah lembaga amil zakat untuk dapat menjalankan aktivitas operasional zakat di era digital. Semakin tinggi penetrasi penggunaan internet, akan semakin tinggi kemungkin lembaga dapat memanfaatkan potensi digital yang ada.

Berdasarkan pada hasil wawancara yang dilakukan pada 104 lembaga, sebagian besar lembaga amil zakat menyediakan akses internet di kantor untuk mempermudah upaya pengelolaan zakat. Sebanyak 96% lembaga amil zakat sudah memili jaringan internet di kantor, sedangkan untuk lembaga yang belum memiliki jaringan internet di kantor hanya 2%, sisanya sebanyak 2% tidak menjawab pertanyaan atau tidak mengetahui keberadaan jaringan internet di kantor mereka. Namun demikian, lembaga amil zakat tentunya masih menghadapi tantangan dan juga kendala-kendala dalam menggunakan internet.

Beberapa cara lembaga amil zakat mengakses internet di kantor diantaranya menggunakan WLAN atau wireless fidelity (Wi-Fi), hotspot pribadi, modem, dan tethering menggunakan telepon pintar. Dari cara-cara tersebut, penggunaan WLAN masih mendominasi akses internet di lembaga amil zakat. Sebanyak 2% lembaga yang mengaku tidak menyediakan akses internet di kantor memiliki alasan yang sama dengan aspek kemampuan amil menggunakan gawai, yaitu karena penggunaan internet belum memberikan manfaat bagi lembaga.

[1] Wawancara dengan Bapak I Nyoman Adhiarna, Plt. Direktur Ekonomi Digital, Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2 September 2019.