Lembaga amil zakat yang memiliki program layanan kesehatan menyatakan ingin ikut menjadi penyedia layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tujuannya, selain membantu pemerintah, adalah meringankan pengeluaran biaya medis yang selama ini diambil dari pos zakat dan filantropi. Bagaimana prospek sinergi BPJS dan LAZ? Juga, kesulitan apa yang akan dihadapi? Berikut wawancara INFOZplus dengan dr Yahmin Setiawan, MARS. Koordinator Sinergi Kesehatan Forum Zakat, dan Dirut RST Dompet Dhuafa, Parung.
Mungkinkah BPJS itu bersinergi dengan lembaga zakat?
Kalau ditanya mungkin. Maka jawabannya mungkin. Tinggal bagaimana dalam sinergis itu kita saling melengkapi dan mengoptimalkan peran dan fungsi masing-masing serta juga asas kemanfaatan. Terutama kalau dari LAZ ataupun Baznas bisa memaksimalkan azas kesehatan untuk kemanfaatan kaum dhuafa. Jadi sangat mungkin untuk bersinergi.
Dalam hal teknis, bisa bersinergi dalam hal apa saja?
Paling tidak ada beberapa hal. BPJS ini mempunyai dua hal yang diurus. Pertama, bagaimana peserta bisa mendaftar dan mendapatkan haknya. Dalam konsep BPJS, peserta itu ada dua. Ada peserta non-PBI dan ada juga yang PBI (penerima bantuan iuran), yang dalam kriteria ini adalah fakir miskin dan orang yang tidak mampu.
Lalu, yang lain adalah mengenai provider-nya, atau fasilitas pelayanan kesehatannya. Artinya, bagaimana BPJS bisa bekerjasama dengan seluruh tingkat pertama atau lanjutan supaya peserta mereka dapat pelayanan kesehatan. Itu kalau dari perspektif BPJS.
Lalu, kalau perspektifnya LAZ adalah LAZ ingin memberikan layanan kepada dhuafa secara maksimal. Tapi di saat yang sama LAZ punya fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan) untuk memberikan layanan itu. Dengan dua kondisi ini bisa bersinergi.
Misalnya, dari aspek kepesertaan. Bagaimana LAZ nantinya mengedukasi supaya kaum dhuafa yang sudah mendapatkan haknya seperti Jamkesmas, Jamkesda, atau KJS (Kartu Jakarta Sehat) yang mereka termasuk ke dalam kriteria PBI. Maka diharapkan mereka menggunakan kartunya semaksimal mungkin.
Jadi bahasanya mengedukasi. Karena seringkali dhuafa tidak tahu akan hak nya. Mereka dapat kartu, disimpan saja di dompet tapi tidak ngerti cara memakainya. Nah, yang satu lagi babnya adalah advokasi. Artinya bagi saudara-saudara kita yang kategori fakir miskin itu dan belum masuk ke dalam kepesertaan PBI BPJS, kita advokasi. Maksudnya advokasi adalah bisakah dimasukkan data tambahan atau data susulan.
Itu dari sinergisitas LAZ. Sehingga kalau saya beranggapan, semua kaum dhuafa yang selama ini dibina oleh LAZ oleh program kesehatannya, harus jadi peserta BPJS PBI. Jadi itu dari sisi pesertanya. Karena saat ini kita sedang mengalami tentang SADIKIN (sakit dikit jadi miskin).
Yang kedua, kita sedang berhadapan dengan pelayanan birokrasi. Jadi dengan adanya mekanisme BPJS ini, semua kerumitan birokrasi bisa dihadapi. Jadi saya melihat secara teori dan debatable bagus.
Berkaitan dengan provider, tentunya mereka mengharapkan agar mereka bisa bersinergi dengan pelayanan BPJS. Artinya, LAZ punya program dan fasyankes, pemerintah juga punya program. Nah, kalau begitu kita sinergikan saja. Caranya seperti apa, dengan menjadikan fasyankes itu sebagai provider BPJS.
Karena secara gampang, hari ini pemerintah sedang menjalankan program proteksi finasial kesehatan. Jadi sebenarnya sudah dijamin. Tapi pemerintah punya problem dalam hal ketersediaan infrastruktur. Jadi buat apa dijamin kalau aksesnya susah? Nah, LAZ menurut saya berkontribusi di sisi itu.
Ketika sudah ada finasial proteksi maka aksesnya juga harus mudah. Jadi memang LAZ harusnya bergabung menjadi providernya BPJS. Tapi kalau ada yang belum masuk jadi anggota BPJS, kita bantu dulu. Ditalangin dulu sambil didaftarkan menjadi peserta BPJS.
Ada kesulitan apa yang dihadapi dalam sistem ini?
Pertama di proses pendataan peserta PBI. Karena yang digunakan data 2011 dan diupdate pada 2013, tapi masih juga ada kendala. Walaupun katanya sudah dikelola bedasarkan nama dan alamat. Tapi banyak juga dhuafa yang dikelola LAZ atau BAZ tidak masuk ke dalam peserta PBI.
Mungkin saat itu, ketika ada update data mereka ini tidak tersisir. Atau ada kendala administrasi, seperti tidak punya KTP atau KK. Itu dari data. Jadi mungkin saja ada fakir miskin yang tidak terdata.
Yang kedua, akses pendaftaran peserta non-PBI. Yang saya dengar, saat ini terjadi antre panjang di proses pendaftaran. Bahkan ketika menaruh berkas hari ini maka baru bisa pada 2 minggu lagi. Itu problem. Walaupun katanya sudah bisa mendaftar melalui online.
Lalu masalah ketiga pada sosialisasi. Karena BPJS Kesehatan agak lemah dalam sosialisasinya. Mungkin karena terlalu cepat diberlakukan. Sehingga masyarakat juga ada yang tidak tahu.
Nah, sekarang kita sering mendengar tentang RSUD sering kebanjiran pasien. Hal ini terjadi karena masyarakat merasa mempunya kartu dan langsung bypass ke RSUD. Padahal mereka bisa ke puskemas atau klinik dulu. Itu tandanya sosialisasi tidak berjalan. Atau ada juga terjadi kebingungan dalam transformasi dari Jamkesmas, Jamkesda, KJS ke BPJS.
Lalu yang keempat adalah jumlah RS, klinik, atau fasilitas kesehatan lainnya yang terbatas. Kalau milik pemerintah sih wajib. Tapi kan tidak semuanya. Sementara RS swasta ini masih terjadi dilema karena mereka masih bermasalah pada tarif.
Menurut mereka nilai nominal klaim terlalu kecil. Bahkan bisa ke dampak merugikan. Jadi tidak banyak RS swasta yang mau bergabung dengan BPJS. Artinya kalau pesertanya lebih, pasien RSUD yang akan kekurangan tempat tidur. Maka akan sangat wajar ketika ada peserta PBI yang dapat jatah kelas tiga akan kekurangan tempat tidur di kelas tiga.
Jadi masih akan kita lihat antrian, karena memang sudah penuh. Di media, dibahasakan ditolak. Mereka banyak yang bertumpuk di rumah sakit. Ini akibat belum banyaknya akses rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS.
Lalu yang kelima adalah masalah dari sisi provider-nya sendiri. Saya pernah bertemu sama teman di puskesmas. Mereka bingung soal sosialisasinya. Sosialisasi dari sisi pembayaran pelayanan. Mereka tidak tahu berapa besar kapitasinya. Daftar nama peserta di wilayah mereka juga belum dapat. Nah, kalau di rumah sakit itu adalah masalah tarifnya yang masih belum ketemu.
Lantas bagaimana caranya mengajak rumah sakit untuk bergabung dalam program ini?
Pendekatan yang digunakan harus holistik. Artinya, program ini memang menjamin pelayanan kesehatan. Tapi lebih kepada aspek kuratif dan rehabilitatif. Tapi kita perlu juga menguatkan aspek menyehakan. Artinya, gimana orang yang sehat tetap sehat dan berperilaku sehat.
Nah, dalam posisi ini, LAZ dan BAZ punya kontribusi cukup signifikan. Ruang-ruang inilah yang akan menjadi program LAZ dan BAZNAS ke depan.
Lalu yang kedua, KEMENKES harus mulai berani merevisi hitungan tarifnya.Tarif terhadap rumah sakit. Terutama bagaimana bisa mengakomodir hitungan-hitungan bagi rumah sakit. Walaupun ada pertimbangan – pertimbangan bagi rumah sakit swasta yang ingin mencari profit. Harapannya, banyak rumah sakit swasta yang mau ikut. Termasuk rumah sakit yang dimiliki LAZ atau BAZNAS.
Yang ketiga, bagaimana LAZ dan BAZNAS memperbanyak akses. Terutama di daerah-daerah terdalam yang mempunyai akses-akses kesehatan terbatas. Intinya membuka akses pelayanan. Sehingga masyarakat yang sudah terproteksi secara keuangan juga mendapatkan akses.
Nah, terakhir atau yang keempat, proses penguatan sosialisasi. Baik oleh BPJS, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, atau kita semua. Jadi masyarakat dengan program ini tahu memanfaatkannya, bisa memfaatkannya dan bisa memaksimalkannya. Harus masif pokoknya.
Mungkin diberikan reward atau punishment kepada rumah sakit yang bagus menjalankan program ini?
Mungkin saja. Itu tergantung dengan good will-nya pemerintah. Intinya kan bagaimana seluruh rumah sakit swasta dalam negeri ini mau terlibat dalam pelayanan ini. Intinya harus ada win-win solution. Tapi harusnya juga ada reward, bagi rumah sakit yang mempunyai kontribusi terhadap BPJS sangat tinggi. Kalau mengenai punishment bisa juga, sebagai bentuk dari pembinaan.
Tapi kalau saya melihat roadmap-nya pemerintah, pada 2019, semua orang ikut BPJS maka semua rumah sakit, mau tidak mau harus masuk BPJS. Karena kalau mereka tidak masuk mereka harus kehilangan segmen pasar.
Bagaimana mensinergikan data-data peserta yang terdaftar di BAS dan LAZ untuk menjadi peserta di BPJS?
Hari ini, setidaknya di FOZ kita melakukan dua sinergi pendekatan. Pendekatan pertama adalah bagaimana kita bisa menambah data yang belum masuk ke dalam peserta PBI. Jadi kita melakukan data crosscheck atau validasi terhadap data di pemerintah.
Karena secara UU, sangat dimungkinkan adanya penambahan data atau pengaduan dari masyarakat. Nah, alhamdulillah teman-teman FOZ di JABODETABEK sudah mendapatkan akses itu. Jadi, bagaimana kita, melakukan crosscheck, validasi dan menambahkan data-data dhuafa kita ke dalam peserta PBI.
Kedua, bagaimana kita yang bersedia di BASNAS dan LAZ untuk menjadi provider-nya BPJS. Nah, hal ini sedang kita usahakan untuk mendaftar secara bersama-sama. Walau nanti akan dilakukan pengecekan apakah layak atau tidak untuk dijadikan provider BPJS. Jadi silahkan saja, bagaimana nanti kita saling bahu membahu untuk melengkapi persyaratan. Jadi mudah-mudahan ini bisa mensinergisitaskan kita atau FOZ diprogram kesehatan.
Bagaimana sinkronisasi BPJS, dengan JAMKESMAS, JAMKESDA, ataupun KJS?
Jadi memang, program-program jamkesda ada yang sebagian bergabung dengan BPJS. Dalam arti melebur sudah dan dikelola oleh BPJS Kesehatan, mereka menyatu. Contoh di Jakarta, kartu KJS itu sudah jadi BPJS. Karena pemda sudah menyerahkan anggarannya untuk dikelola oleh BPJS. Dan peserta-pesertanya untuk dijadikan anggota BPJS. Atau di Aceh, seluruh penduduknya sudah dimasukan ke dalam peserta BPJS.
Tapi juga ada beberapa daerah yang JAMKESDA-nya belum menjadi BPJS. Jadi sebenarnya jika kita sepakat untuk satu sistem dalam penanganan kesehatan. Maka sebaiknya include saja ke BPJS Kesehatan. Karena biar tidak membingungkan masyarakat.
Jadi bagaimana caranya agar klinik-klinik yang dikelola LAZ atau BAZ bisa menjadi provider BPJS?
Ada persyaratan administratif dan ada juga sarana dan prasarana yang kita miliki harus masuk standar BPJS. Kalau administratif, seperti surat ijin praktek dokter, penanggung jawab, surat akte pendirian. Kalau fasilitas, dilihat dari segi kelengkapan fasilitasnya, kelengkapannya. Apakah ada apotiknya, laboratoriumnya. Karena nanti akan dicek.
Tapi kalau tidak punya itu, bisa berintegrasi. Misalnya, ada LAZ yang hanya punya klinik aja. Tapi di sebelah ada bidannya, apotiknya, atau yang lainnya. Nah, kalau seperti ini mengapa tidak bergabung saja.[]