Adanya Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 333 Tahun 2015 yang ditandatangani 6 November 2015 lalu oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, menurut Direktur Pemberdayaan Zakat Kementerian Agama RI Jaja Jaelani merupakan salah satu cara untuk memperkuat dan menunjukkan keseriusan dalam pengelolaan zakat.
Salam regulasi baru ini, ada tiga tingkatan LAZ, yaitu LAZ Nasional (Laznas), LAZ provinsi, dan LAZ kabupaten/kota. Dimana salah satu persyaratan yang tercantum dalam KMA Nomor 333 Tahun 2015 adalah adanya batasan penghimpunan dana minimal Rp 50 miliar untuk Laznas, Rp 20 miliar untuk LAZ provinsi, dan Rp 3 miliar untuk Laznas Kabupaten/kota. Hingga saat ini, kata Jaja, telah ada lima lembaga zakat yang mengajukan perizinan. Empat di antaranya, telah mendapatkan Surat Keputusan (SK).
Meski regulasi tersebut baru akan berlaku mulai 26 November 2016. namun ia mengimbau agar lembaga zakat yang belum mempunyai legalitas segera mengajukan izin. Menanggapi banyaknya lembaga zakat berskala kecil yang muncul masjid-masjid dengan penghimpunan dana minim dan tidak memenuhi syarat, Jaja mengatakan, “Itukan berarti ilegal. Agar legalitasnya bisa dipertanggungjawabkan segera mendaftar,” kata dia.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Forum Zakat (FOZ) Nur Efendi. Menurut dia, banyaknya lembaga amil zakat yang belum terdaftar justru menjadi evaluasi baik bagi Kemenag, BAZNAS maupun LAZ. “Bisa jadi mereka tidak mendaftar itu karena tidak tahu. Itu yang harus diperhatikan. Jadi sebelum men-judge mereka ilegal, harus dipastikan mereka mengerti registrasinya. Kan selama ini dari sisi sosialisasi masih minim,” ujarnya.
Namun ia memandang perlunya tahapan sebelum menyatakan lembaga tersebut ilegal, misalnya dengan sosialisasi, surat teguran, hingga penindakan. Selain menjadi UPZ, ia juga menyarankan lembaga-lembaga tersebut juga dapat bermitra dengan Laznas.
Dengan adanya KMA, jumlah batasan minimum lebih kecil daripada yang ditentukan Baznas. Jumlah ini juga tidak harus terpenuhi selama pengajuan, namun dapat berupa kesanggupan. Apabila Laz tidak mampu memenuhi jumlah yang telah ditentukan, lembaga ini bisa diturunkan skalanya.
Adapun aturan yang masih mengganjal bagi Efendi antara lain pembatasan jumlah jaringan yang bisa dibuka oleh Laznas. Selama ini, Laznas hanya boleh membuka satu jaringan di ibukota provinsi, sementara Baznas dapat membuka hingga kabupaten/kota.
Direktur Utama Dompet Dhuafa Ahmad Juwaini mengatakan bahwa dapat memahami adanya pembatasan penghimpunan dana yang diperlakukan, selama bertujuan untuk memperkuat pengelolaan zakat. “Karena dengan jumlah (dana terhimpun) yang besar akan memberikan kemampuan mendanai Laz-nya dengan cukup besar. Artinya dengan dana yang besar, dia juga punya kesempatan untuk membuat program-program yang lebih berarti, lebih signifikan, lebih bermanfaat buat masyarakat,” ujar dia.
Ahmad memprediksi besaran dana minimum yang dihimpun kemungkinan akan menyebabkan penurunan jumlah Laznas dari 18 lembaga menjadi sekitar 10 lembaga. Namun, lagi-lagi ia dapat memahami aturan tersebut. Ia setuju bahwa jumlah Laznas tidak perlu terlalu banyak. Karena itu ia menyarankan agar Kemenag tidak memilih opsi untuk menganggap ilegal lembaga yang tidak memenuhi persyaratan sebagai Laz. Lembaga-lembaga tersebut dapat meleburkan diri menjadi unit pengumpul zakat (UPZ) dari Laz atau Baz yang ada.