Larangan Mudik Setengah Hati

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Oleh Yusuf Wibisono – Direktur IDEAS (Institute for Demographic and Poverty Studies)

Setelah melalui debat publik yang panjang, Presiden akhirnya secara tegas melarang mudik pada 21 April 2020 yang lalu, 4 hari jelang datangnya bulan Ramadhan. Meski terlambat, langkah ini tetap harus diapresiasi karena sangat krusial dalam mencegah penyebaran Covid-19 yang kini telah merata di seluruh provinsi. Pelarangan mudik oleh Presiden ditindaklanjuti Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 25/2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri 1441 H dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Dalam beleid tertanggal 23 April 2020 ini, pelarangan mudik dilakukan melalui larangan sementara penggunaan sarana transportasi, baik transportasi darat, laut, udara, maupun kereta api, dan berlaku dari 24 April hingga 31 Mei 2020.

Regulasi Setengah Hati

Satu pekan setelah pelaksanaan Permenhub No. 25/2020, terlihat berbagai kelemahan dalam implementasi pelarangan mudik. Tidak optimal-nya pelarangan mudik ini secara umum berasal dari kelemahan Permenhub No. 25/2020 itu sendiri.

Pertama, larangan mudik hanya berlaku untuk sarana transportasi yang keluar dan/atau masuk ke wilayah yang menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), zona merah penyebaran Covid-19, dan wilayah aglomerasi yang ditetapkan sebagai wilayah PSBB (Pasal 2). Ketentuan ini membuat larangan mudik relatif hanya berlaku efektif di Jawa dimana wilayahnya dipenuhi dengan zona merah dan PSBB telah diterapkan di banyak kota termasuk 3 wilayah aglomerasi utama Jawa, yaitu Jabodetabek, Bandung Raya dan Surabaya Raya.

Larangan mudik yang berfokus di Jawa ini sudah tepat dan akan signifikan menahan potensi ledakan penyebaran Covid-19 di Jawa. Dalam situasi normal, IDEAS memproyeksikan potensi pemudik di seluruh Indonesia tahun ini mencapai kisaran 39 juta orang, dimana 12 juta orang berpotensi melakukan mudik jarak dekat (intra provinsi) dan 27 juta orang berpotensi mudik jarak jauh (lintas provinsi). Dalam simulasi kami, mudik adalah fenomena Jawa: sebagian besar pemudik berasal dari Jawa dan menuju Jawa. Lebih dari 50 persen pemudik berasal dari Jawa dan di saat yang sama Jawa menjadi tujuan lebih dari 60 persen pemudik.

Dengan Jawa kini adalah episentrum wabah, terutama Jabodetabek, maka larangan mudik akan signifikan menahan eskalasi penyebaran Covid-19 ke penjuru negeri, terutama Jawa. Dari 11 juta potensi pemudik Jabodetabek, kami estimasikan 1 juta orang akan melakukan mudik intra provinsi, dan 10 juta orang sisanya melakukan mudik lintas provinsi ke penjuru tanah air, yaitu Jawa (8,4 juta), Sumatera (1,4 juta) dan kawasan Timur Indonesia (0,3 juta).

Namun ketentuan ini menyimpan celah: masih dimungkinkannya mudik antar wilayah non PSBB dan non zona merah, termasuk sebagian wilayah di Jawa. Daerah utama tujuan pemudik dengan status wilayah nihil PSBB antara lain Sumatera Utara dengan estimasi potensi pemudik mencapai 2,6 juta orang, Lampung (1,5 juta orang), Sumatera Selatan (1,4 juta orang) dan Yogayakarta (1,1 juta orang). Dengan demikian, masih terdapat potensi penyebaran Covid-19 yang cukup signifikan baik di Jawa dan terlebih di luar Jawa dimana daerah non PSBB dan non zona merah lebih dominan. Dengan penetapan zona merah Covid-19 berada di daerah, peran dan inisiatif pemerintah daerah menjadi krusial dalam pelarangan mudik ini.

Skenario lebih rumit terjadi ketika pemudik dari daerah PSBB dan zona merah tergoda untuk mudik ke daerah non PSBB dan non zona merah, dan sebaliknya, pemudik dari daerah non PSBB dan non zona merah berkeras untuk mudik ke daerah PSBB dan zona merah.

Misal, pemudik dari daerah utama asal pemudik yaitu Jawa Barat (8 juta orang) dan DKI Jakarta (3,5 juta) dengan Jabodetabek dan Bandung Raya berstatus daerah PSBB, bisa berpotensi tergoda untuk mudik ke daerah utama tujuan pemudik yaitu Jawa Tengah (8,7 juta orang) yang belum menerapkan PSBB, termasuk Semarang Raya dan Solo Raya, atau ke Yogyakarta (1,1 juta orang) yang juga wilayah non PSBB. Daerah non PSBB dan non zona merah memiliki tugas dan beban yang tidak ringan untuk menahan arus pemudik terutama yang berasal dari daerah PSBB dan zona merah.

Kedua, larangan mudik dikecualikan untuk sarana transportasi darat yang berada dalam satu wilayah aglomerasi (Pasal 5 ayat 3). Ketentuan ini berimplikasi diperbolehkannya mudik intra wilayah aglomerasi, padahal potensi mudik intra wilayah aglomerasi tidaklah kecil. Hal ini berpotensi melemahkan efektivitas PSBB yang kini diterapkan di tiga wilayah aglomerasi yaitu Jabodetabek, Bandung Raya dan Surabaya Raya.

Sebagai misal, dari sekitar 11 juta potensi pemudik Jabodetabek, simulasi kami menunjukkan bahwa sekitar 2,8 juta diantaranya adalah mudik intra Jabodetabek. Dari 390 ribu potensi pemudik intra Jabodetabek asal Jakarta, 180 ribu diantaranya mudik intra Jakarta dan 215 ribu mudik ke Bodetabek. Sedangkan dari 2,4 juta potensi pemudik intra Jabodetabek asal Bodetabek, 2,1 juta diantaranya berpotensi mudik ke Jakarta dan 340 ribu mudik intra Bodetabek.

Ketiga, Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek tetap beroperasi, meski diberlakukan pengaturan PSBB (Pasal 10 huruf c). Sebagai transportasi massal utama di Jabodetabek, operasional KRL adalah signifikan dalam penyebaran Covid-19. Upaya memutus rantai penyebaran Covid-19 di Jabodetabek tidak akan optimal jika KRL terus beroperasi, yang kini dibuktikan dengan diperpanjangnya PSBB di Jabodetabek. Dengan potensi mudik intra Jabodetabek yang signifikan, KRL sangat berpotensi menjadi wahana penyebaran Covid-19 yang masif selama masa mudik 2020 ini. Tetap beroperasinya KRL secara jelas mendorong intensifnya mudik intra Jabodetabek sekaligus melemahkan penerapan PSBB di Jabodetabek yang kini memasuki tahap ke-2.

 

Respon yang Diharapkan

Skenario potensi eskalasi penyebaran covid-19 melalui mudik kami proyeksikan terjadi dalam dua mekanisme. Pertama, peningkatan intensitas penyebaran Covid-19 dari episentrum wabah, yaitu Jabodetabek, ke penjuru negeri, terutama ke seantero Jawa. Pola mudik Jabodetabek didominasi oleh mudik jarak jauh (lintas provinsi). Pola mudik serupa ditemui di Kartamantul (Yogyakarta Raya), Pekansikawan (Pekanbaru Raya), Batam Raya dan Samarinda Raya.

Kedua, peningkatan intensitas penyebaran wabah dari daerah perkotaan ke daerah pedesaan. Berbeda dengan pola mudik Jabodetabek, metropolitan non Jabodetabek dan luar Jawa secara umum lebih didominasi oleh mudik jarak dekat (intra provinsi). Pola ini sangat kuat terlihat di metropolitan Jawa Timur yaitu Gerbangkertasusila (Surabaya Raya) dan Malang Raya, serta di metropolitan Sumatera Utara, yaitu Mebidangro (Medan Raya).

Respon kebijakan jangka pendek yang sangat mendesak dilakukan adalah melokalisir Covid-19 di episentrum wabah, yaitu Jabodetabek dan metropolitan utama lainnya, yang berpotensi besar menjadi episentrum wabah berikutnya, seperti Bandung, Surabaya, Semarang hingga Makassar. Dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi, Jabodetabek di kisaran 11.100 jiwa per Km2, Bandung Raya 8.500 jiwa per Km2, dan Gerbangkertasusila (Surabaya Raya) 3.400 jiwa per Km2, penyebaran covid-19 dapat terjadi secara eksponensial. Pelarangan mudik akan menekan penyebaran Covid-19 dan melokalisir episentrum wabah. Pelarangan mudik perlu dipertegas agar memperkuat pelaksanaan PSBB terutama di Jabodetabek, Bandung Raya dan Surabaya Raya. Pelarangan mudik secara tegas juga krusial untuk diperluas ke wilayah metropolitan non PSBB seperti Kedungsepur (Semarang Raya), Kartamantul (Yogyakarta Raya), dan Solo Raya.

Pelarangan mudik adalah krusial untuk menekan potensi ledakan wabah meski berpeluang melemahkan perekonomian. Eskalasi pandemi akan terus membesar dan menjadi tak terkendali jika respon kebijakan masih berfokus pada ekonomi. Penanggulangan pandemi mengharuskan penurunan aktivitas ekonomi. Mempromosikan ekonomi dalam pandemi sama dengan membunuh nyawa lebih banyak. Mengkarantina Jabodetabek dan metropolitan utama lainnya dipastikan akan menurunkan perekonomian nasional secara signifikan. Namun menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin adalah prioritas kebijakan tertinggi yang tidak dapat ditawar. (*)