Lahirnya PP No. 14/2014 sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat disambut sebagian pihak dengan penuh antusiasme. Irfan Syauqi Beik memandang PP Zakat ini akan “memberikan kepastian hukum yang lebih kuat” dan “menjadi angin segar bagi kemajuan pengelolaan zakat nasional di masa depan” (Republika, “PP No. 14/2014 dan Lembaga Zakat”, 27 Februari 2014). Namun jika kita menelaah PP Zakat ini secara lebih jernih dan mendalam, hal sebaliknya yang justru terlihat.
PP No. 14/2014 yang terbit pada 14 Februari 2014 ini sama sekali tidak membawa kesejukan yang dijanjikan pemerintah pasca judicial review terhadap UU No. 23/2011, bahkan berpotensi besar membawa ketegangan baru dalam dunia zakat nasional. PP No. 14/2014 ini memiliki semangat dan substansi yang sama dengan UU No. 23/2011, yaitu monopoli pengelolaan zakat nasional oleh pemerintah, melalui BAZNAS, dengan di saat yang sama memarjinalkan lembaga zakat bentukan masyarakat sipil (LAZ). PP Zakat bahkan melangkah lebih jauh, dimana PP ini dipenuhi dengan berbagai ketentuan teknis yang lebih keras dan mematikan dibandingkan UU No. 23/2011 sendiri.
PP Zakat ini diawali dengan konfirmasi atas conflict of interest BAZNAS yang menjadi kelemahan inheren sistem zakat nasional baru dibawah rezim UU No. 23/2011. Di Pasal 4, PP menetapkan BAZNAS menyusun pedoman pengelolaan zakat nasional yang menjadi acuan bagi BAZNAS sendiri serta bagi operator zakat lainnya, yaitu BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten/Kota dan LAZ. Dengan merangkap sebagai operator sekaligus regulator, peran ganda BAZNAS ini akan menurunkan kredibilitas regulasi yang dikeluarkannya.
PP No. 14/2014 juga mengkonfirmasi upaya monopoli kasar atas pengelolaan zakat nasional oleh pemerintah. Komposisi komisioner BAZNAS yang terdiri atas 11 orang dimana 8 orang di antaranya berasal dari unsur masyarakat, selama ini diklaim sebagai bukti bahwa BAZNAS, meski memegang kewenangan tunggal atas pengelolaan zakat nasional, tidak akan dikendalikan dan terkooptasi oleh pemerintah. Dalam PP ini, pemilihan komisioner BAZNAS dari unsur masyarakat telah dikunci, sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah, sehingga dapat dipastikan semua komisioner dari unsur masyarakat ini adalah pilihan murni pemerintah.
Di Pasal 9-12, PP menetapkan bahwa komisioner BAZNAS dari unsur masyarakat dipilih oleh tim seleksi yang dibentuk oleh Menteri Agama. Menteri Agama kemudian mengajukan calon terpilih kepada Presiden, dan Presiden langsung memilih 8 komisioner unsur masyarakat ini untuk diajukan ke DPR. Di DPR, tidak ada proses fit and proper test, yang ada, calon yang diajukan ini hanya “dipertimbangkan” oleh DPR dan setelah proses formalitas di DPR ini calon langsung diangkat Presiden sebagai komisioner BAZNAS. Tidak ada ruang bagi masyarakat untuk mengkritisi, apalagi ikut menentukan, calon komisioner BAZNAS dari unsur masyarakat. Dengan kata lain, 11 komisioner BAZNAS seluruhnya berasal dari “unsur pemerintah”.
UU No. 23/2011 selama ini diklaim ditujukan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan zakat nasional. Namun PP No. 14/2014 hanya berfokus pada penghimpunan dana dengan menetapkan “pembagian kavling” atas zakat nasional, yang di bawah UU No. 23/2011 kini sepenuhnya menjadi kewenangan BAZNAS. PP menetapkan BAZNAS menghimpun zakat dengan membentuk UPZ di lembaga negara, kementrian, BUMN, perusahaan swasta nasional dan asing, dan masjid negara (Pasal 53), sedangkan BAZNAS provinsi di kantor SKPD, BUMD dan perusahaan swasta skala provinsi, perguruan tinggi, dan masjid raya (Pasal 54), dan BAZNAS kabupaten/kota di kantor SKPD, BUMD dan perusahaan swasta skala kabupaten/kota, masjid/musholla, sekolah/madrasah, kecamatan, hingga desa/kelurahan (Pasal 55).
PP No. 14/2014 sama sekali tidak berbicara strategi pendistribusian dan pendayagunaan dana sama sekali. Hal ini seolah mengkonfirmasi hipotesis bahwa pemerintah dan BAZNAS melalui UU dan PP Zakat ini hanya sekedar ingin “merebut” dana zakat nasional yang kini didominasi oleh LAZ.
Ketika PP No. 14/2014 sedemikian jelas sebagai peraturan pelaksana UU No. 23/2011 dalam meng-enforce ketentuan monopoli pengelolaan zakat nasional, namun tidak demikian dengan ketentuan terkait pembiayaan dimana PP bersikap “abu-abu”. UU No. 23/2011 menetapkan pembiayaan BAZNAS dibebankan pada APBN dan hak amil.
Namun PP tidak menjelaskan lebih lanjut berapa besaran hak amil yang dapat diambil, dan mengambangkan hal penting dan sensitif ini dengan menyatakan hak amil akan ditetapkan “sesuai syariat dengan mempertimbangkan aspek produktivitas, efektivitas dan efisiensi” (Pasal 67).
Ketika mengimplementasikan ketentuan pelaporan dan sanksi dalam UU No. 23/2011, PP Zakat bahkan menjadi sangat tegas dan keras. Di Pasal 71-73, PP menetapkan bahwa pelaporan oleh BAZNAS kabupaten/kota dan provinsi, serta LAZ, dilakukan 2 kali setahun, yaitu setiap 6 bulan sekali dan di akhir tahun. Dan semua laporan tersebut harus diaudit syariat dan diaudit keuangan (Pasal 75).
PP juga menetapkan bahwa sanksi peringatan tertulis yang dikenakan atas pelanggaran tidak memberi bukti setor kepada muzakki, pendistribusian dan pendayagunaan tidak sesuai syariat, tidak melakukan pencatatan terpisah untuk dana non zakat, dan tidak memberi laporan ke BAZNAS, akan langsung diikuti dengan sanksi penghentian sementara kegiatan untuk pelanggaran ke-dua, dan diikuti sanksi pencabutan izin operasional bagi LAZ untuk pelanggaran ke-3 (Pasal 81).
PP No. 14/2014 juga banyak memunculkan norma-norma baru yang tidak ada di dalam UU No. 23/2011. PP menetapkan BAZNAS berhak memiliki Unit Pelaksana, demikian pula dengan BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota. UU hanya menetapkan BAZNAS berhak dibantu sekretariat saja.
PP Zakat juga membuat norma baru yang semakin memarjinalkan LAZ. Jika UU No. 23/2011 memberi restriksi yang sangat ketat terhadap pendirian dan perizinan LAZ, yang sebagian dibatalkan dalam proses judicial review oleh MK, maka PP No. 14/2014 melangkah lebih jauh dengan membatasi bahwa LAZ nasional hanya dapat membuka 1 perwakilan di setiap provinsi (Pasal 62) dan LAZ provinsi hanya dapat membuka 1 perwakilan di setiap kabupaten/kota (Pasal 63). PP sebagai peraturan pelaksana semestinya tidak boleh menciptakan norma hukum baru yang sama sekali tidak diatur dalam UU. PP ini sangat layak diajukan untuk judicial review ke MA.[]