Menjadi Amil di Era New Normal

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Oleh M Taufiq BNP Covid-19 Volunteer Training Member of Islamic Cooperation Youth Forum

 

Pandemi Covid-19 yang terjadi di beberapa negara sampai saat ini telah membuat pola aktifitas lambat laun berubah. Menurut Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) Dr Tedros Adhanom mengatakan bahwa pandemi Covid-19 yang belum bisa dipastikan kapan berakhir ini diperkirakan akan terus berlangsung lama.

Pandemi ini juga mengakibatkan krisis yang mengancam negara-negara berkembang secara tidak proporsional, tidak hanya sebagai krisis kesehatan dalam jangka pendek tetapi juga sebagai krisis sosial dan ekonomi selama beberapa bulan dan tahun ke depan (UNDP, 2020). Sehingga opsi dan solusi yang bisa kita lakukan sebagai bagian yang terdampak dengan wabah ini adalah dengan berusaha menerapkan protokol pencegahan penularan virus tersebut. Dimana ikhtiar tersebut diistilahkan oleh banyak orang sebagai “new normal”.

Adapun istilah new normal menurut situs Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yaitu “Perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19”. Penerapan new normal dalam kehidupan sehari-hari tentu bukan tanpa urgensi.

Imbauan social distancing/menjaga jarak sosial dan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai bagian dari antisipasi penyebaran virus terbukti menyebabkan krisis ekonomi yang dimulai dari PHK dan pengangguran. Mengutip data Kementerian Ketenagakerjaan per tanggal 20 April 2020, sedikitnya ada 2 juta pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebanyak 62 persen ada di sektor formal dan sisanya yakni 26 persen berada di sektor informal dan UMKM. Sehingga pola new normal bisa jadi alternatif baru untuk menyelamatkan sektor kesehatan sekaligus sektor perekonomian negara.

Namun pemberlakuan new normal juga bukan berarti tanpa konsekuensi. Pola kenormalan baru tentunya memberikan konsekuensi yang berdampak pada perorangan hingga industri. Salah satunya adalah dalam ekosistem dunia zakat. Dunia zakat yang tidak asing dengan muzzaki-mustahik, penghimpunan-penyaluran tentu akan terdampak dengan protokol dan era kenormalan baru. Mereka yang dulu terbiasa melakukan aktifitasnya dengan kontak fisik dipaksa harus lebih kreatif dan adaptatif dengan era new normal.

Mereka yang terbiasa di zona nyaman mau tidak mau harus kembali memulai pentualangan. Karena ketidakpastian pandemi membuat mereka harus sedikit menata kembali pola dan strategi. Adapun salah satu konsekuensi yang harus direspon oleh individu maupun lembaga adalah diantaranya mengenai adapatasi diri dan keahlian baru. Karena penerapan kenormalan baru selain menggantikan “old normal” tentunya akan menjadi “seleksi” baru bagi dunia kerja dan tatanan aktivitas sehari hari. Sehingga setiap diri dan lembaga setidaknya harus segera beradaptasi dan bertransformasi agar tidak tergerus dan tenggelam dalam kenormalan baru dan wabah pandemi.

Maka, agar individu dan lembaga tidak canggung dengan kenormalan baru, setidaknya ada 6 hal yang harus diadapatasi dan ditransformasikan oleh individu dan lembaga:

 

Digital Awareness

Kepeduliaan terhadap digital di era new normal bukan lagi pilihan melainkan keharusan. Dengan mulai banyaknya aktifitas kontak langsung yang direduksi membuat fitur-fitur virtual dan digital harus mulai digandrungi.

Tidak cukup sampai disitu, kita yang akan menghadapi new normal pun harus sanggup untuk paham, menggunakan, dan mengikuti fitur digital. Baik muda ataupun tua, junior ataupun senior, pria maupun wanita dan tentunya mereka para amil zakat. Sebab sebetulnya transformasi digital adalah sebuah keniscayaan dan pandemi secara tidak langsung mempercepat keniscayaan tersebut.

 

Digital Leadership

Dengan dibukanya akses digital di beberapa kegiatan bukan berarti tidak meninggalkan efek negatif. Penggunaaan digital tanpa kontrol dan pemahaman yang komprehensif bisa jadi melahirkan perilaku negatif.

Banyaknya frekuensi kita berinteraksi dengan media digital baik ketika bekerja di rumah ataupun diluar harus dibarengi dengan “kepemimpinan dan manajemen diri” salah satunya melalui filter konten. Agar kita dapat memilah aktifitas mana yang tepat dan berlebihan dalam berpetualang melalui saluran virtual.

 

Kemampuan adaptatif dan transformatif

Ketika terjadi dinamika perubahan (masalah) secara cepat pada suatu kasus, maka salah satu keputusan terbaik adalah merespon/merubah secara cepat dan tepat. Namun agar bisa mencapai dalam titik ini, sesorang perlu memiliki keterampilan menganalisis. Dimana kuncinya adalah “jika terjadi bla bla bla,” dia harus bisa melanjutkannya dengan kata-kata “maka bla bla”.

Tentunya kemampuan analisis ini juga harus diimbangi dengan kemampuan adaptatif dan transformatif yang tinggi. Agar ketika analisis sudah tersedia, mereka tidak berhenti dalam tatanan wacana melainkan kepada aksi yang terlaksana. Hal ini penting bagi amil zakat, dengan core businessnya yaitu menghimpun dan menyalurkan, amil zakat harus bisa menyesuaikan dan merubah cara-cara tradisional dan konvensionalnya menjadi lebih modern dan digital. Karena selain sebagai penyesuaian antisipasi pandemi hal ini bisa juga sebagai sarana menghemat dan efisiensi.

 

Skill menangkap peluang dan kesempatan

Banyaknya ketidakpastian bukan berarti menjadi halangan bagi seseorang untuk berpikir kreatif dan terpenjara dalam kebuntuan. Ditengah krisis dan serba kedidakpastian, mereka yang akan menang adalah mereka yang terus berjuang dengan menangkap peluang. Sebab, siapa yang bisa menangkap peluang disetiap situasi yang serba kurang mereka akan jadi pemenang. Dengan kasus pandemi yang tengah melanda, sebetulnya bisa jadi peluang dan ancaman bagi lembaga filantropi.

Di satu sisi, isu pandemi bisa menjadi produk fundraising yang begitu kongkret dan realistis. Namun di sisi lain, orang maupun lembaga non filantropi “mendadak” menjadi filantropis. Yaitu dengan ditandai banyaknya mereka yang menggalang dana dan menyalurkan dana di bencana pandemi. Tentunya hal tersebut harus ditanggapi serius oleh lembaga filantropi. Dan salah satu cara menanggapinya tentu bukan menyaingi melainkan berkolaborasi.

 

Kecerdasan emosional

Dengan banyaknya interaksi dengan alat media (digital) bukan berarti kita semua mengabaikan interaksi dengan makhluk sosial. Banyaknya interaksi dengan fitur virtual bisa menjadi ancaman degradasi terhadap jiwa sosial. Mereka yang akrab dengan virtual bisa jadi lama kelamaan jika tidak terbiasa akan kesulitan dan canggung dengan ekosistem kehidupan bersosial.

Sehingga kecerdasan emosional tetap diperlukan guna menyeimbangkan keahlian bergaul virtual maupun sosial. Dan amil tentunya harus tetap menyeimbangkan keahlian digital dan sosialnya. Sebab amil dituntut untuk bisa menjadi orang ataupun pihak yang paling tinggi dalam hal kepekaan sosial.

 

Kapasitas integritas

Dengan banyaknya mereka yang gugur di era new normal bukan berarti mereka yang fasih terhadap digital bisa tetap survive dan mulus di era ini. Protokol pencegahan virus yang mengharuskan adanya pembatasan pada kegiatan-kegiatan tertentu, membuat era new normal bukan lagi hanya sekedar mencari siapa yang bisa.

Namun lebih dari itu era new normal mencari siapa yang bisa dipercaya. Banyaknya mereka yang bisa namun adanya pembatasan, membuat lahirnya “seleksi alam”, yaitu menyeleksi siapa yang bisa menjalankan aktifitas dengan maksimal dan juga siapa yang bisa dipercaya.

Tentunya untuk mendapatkan kepercayaan ini, seseorang harus memiki integritas yang kuat. Dimana nilai dan norma yang dimiliki sejalan dan sesuai dengan aktifitas yang dikerjakan. Dan hal inilah nilai paling fundamental yang harus dimiliki oleh seorang amil. Sebab bukan hanya kecerdasan dunia yang dibutuhkan melainkan kecerdasan akhirat yang menjadi pertaruhan.

 

Tentunya, enam poin diatas akan terus berubah mengikuti perubahan ketidakpastian kondisi. Oleh karena itu, bekalilah diri dengan optimis, buatlah hal-hal strategis namun tetap realsitis. Sebab dalam kondisi ini idealis haruslah tetap statis sedangkan taktis harus selalu dinamis. (*)