Menjadi Amil Solutif

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Ditulis oleh Nana Sudiana (Sekjend FOZ & Direksi IZI)

 

“Dadi wong ki mbok yo sing solutif” (Ungkapan Bu Tejo dalam film pendek “Tilik”)

 

Amil zakat rahimakumullah,

Menjadi amil sesungguhnya adalah menjadi agen solusi persoalan umat. Zakat sebagaimana yang kita ketahui, pada dasarnya merupakan ibadah mahdhoh. Zakat ini simbol ketaatan dan ketertundukan seorang hamba pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Saat yang sama, zakat juga memiliki fungsi lain secara sosial ekonomi, seperti menjamin keadilan sosial, menjadi solusi atas permasalahan ekonomi dan sosial. Fungsi ini amat berguna bagi terciptanya keharmonisan antara masyarakat yang berpunya dengan mereka yang kurang mampu. Keseimbangan inilah yang nantinya mengurangi ketimpangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat.

Zakat juga ternyata dalam praktiknya bisa berfungsi sebagai salah satu instrumen membangun kesetiakawanan sosial. Dari zakat yang terkumpul, nantinya dapat menjadi solusi alternatif untuk penanggulangan kemiskinan. Ia juga bisa saja mampu menjadi komplementer dari anggaran negara, baik dalam skala mikro maupun skala makro. Ketika ada bencana, baik yang bersifat bencana alam atau bencana pandemi seperti Covid-19 saat ini, zakat dapat digunakan juga untuk membantu darurat medis dan aktivitas emergency lainnya. Termasuk pula bisa untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar orang-orang miskin, menjaga daya beli yang tertekan akibat pandemi Covid-19 serta kebutuhan darurat lainnya.

Kata Bu Tejo dalam film pendek berjudul “Tilik”, ia mengatakan : “Dadi wong ki mbok yo sing solutif”( “jadi orang itu ya sebaiknya jadi orang yang solutif” ). Artinya semua kita, pastinya tak ingin hidupnya hanya menambah jumlah dan malah menambah masalah. Setiap orang sebagaimana kata Bu Tejo, harusnya menjadi solusi atas masalah yang ada. Bukan menjadi beban, apalagi masalah baru.

Film  “Tilik” yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo saat ini sedang viral. Menjadi bahan cerita dan diskusi dimana-mana. Baik di dunia maya (daring) dalam berbagai sosial media yang ada. Di dunia non daring juga pembicaraan ini tak kalah seru. Film yang bercerita tentang warga desa yang bergunjing tentang status seorang gadis bernama Dian dalam perjalanan naik truk untuk menjenguk (tilik dalam bahasa Jawa) Bu Lurah di rumah sakit ini memang menggambarkan realitas masyarakat pedesaan yang dekat dengan kesehariannya. Wajar bila kemudian film ini banyak dilihat dan jadi pembicaraan luas.

Tulisan singkat ini tak hendak membahas film pendek “Tilik” yang sedang viral. Apalagi menambah komentar atas Bu Tejo dan Ibu-ibu lainnya di film “Tilik” yang asyik bergosif sepanjang jalan ketika mau nengok Bu Lurah yang sakit dan sedang di rawat di salah satu rumah sakit. Tulisan ini justru, ingin menekankan pada kita semua, para amil yang kini sedang diamanahi Allah sebagai agen kebaikan untuk menjadi solusi atas persoalan-persoalan umat yang ada di hadapan kita semua.

 

Potensi Amil Sebagai Solusi

Para amil memiliki kedudukan yang strategis di depan umat. Apalagi ditengah masyarakat miskin yang ada. Para amil, dengan mengelola zakat, infak dan sedekah yang tidak sedikit jumlahnya, diharapkan membantu orang-orang miskin dan dhuafa. Zakat sebagaimana diketahui, saat ini potensinya tidak kecil, dalam sebuah presentasi Pimpinan Kementrian Agama beberapa waktu yang lalu disebutkan, bahwa berdasarkan perhitungan Kemenag, zakat berpotensi secara nasional senilai Rp 233 triliun per tahun.  Potensi ini masih jauh dari realisasinya. Catatan Kemenag, per akhir tahun 2019, tercatat, zakat yang terkumpul baru sekitar Rp 10 triliun.

Dengan meilihat besarnya potensi dan capaian yang diperoleh, masih sangat diperlukan ikhtiar yang lebih maksimal untuk meningkatkan pendapatan dan pengumpulan zakat. Kita berharap, dengan pengelolaan yang semakin baik, juga secara jumlah meningkat, zakat akan semakin memiliki kemampuan untuk membangun program-program pendayagunaan zakat secara baik pula. Program yang ada, baik secara konsumtif maupun produktif diharapkan akan membangun masyarakat yang hidup dengan semangat tolong-menolong, mempunyai rasa solidaritas sosial yang tinggi, dan mewujudkan spirit gotong royong yang sebenarnya.

Walau secara umum penghimpunan zakat dari tahun ke tahun terus meningkat, realisasi penghimpunan zakat nasional masih jauh dari potensi yang ada. Padahal dana yang dikelola diharapkan sekali oleh orang-orang miskin dan dhuafa. Zakat nantinya dapat digunakan untuk membuka lapangan kerja baru dengan tujuan menampung fakir miskin dan pengangguran untuk memperoleh pekerjaan.

Bisa juga zakat ini digunakan untuk membuka kursus-kursus latihan kerja dan keterampilan bagi fakir miskin agar kesejahteraan mereka dapat meningka. Selain itu, dapat pula untuk pembangunan sumber daya manusia lewat jalur pendidikan agama dan keagamaan seperti melalui sekolah-sekolah berbasis pesantren, pondok-pondok pesantren hingga membantu kesejahteraan guru agama dan para Ustadz atau kyai.

Dalam catatan sebuah jurnal, tepatnya di Jurnal Penelitian Al-Iqtishad : Vol. VI No. 2, Juli 2014 yang berjudul “Prioritas Solusi Permasalahan Zakat dengan Metode AHP (Studi Di Banten dan Kalimantan Selatan”)  yang ditulis Nurul Huda dkk, kita menemukan informasi bahwa ada yang bisa dipetakan dalam masalah pengelolaan zakat dan mencari prioritas solusinya. Penelitian yang menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP) ini menjelaskan bahwa terdapat tiga macam prioritas masalah dan solusi pengelolaan zakat yang dibagi berdasarkan lembaga pemangku kepentingan (stakeholder) pengelolaan zakat, yaitu regulator, organisasi pengelola zakat (OPZ), serta muzaki dan mustahik zakat.

Selain masalah yang ada di regulator, prioritas masalah OPZ adalah rendahnya sinergi sesama stakeholder zakat. Menurut model AHP, prioritas masalah mustahik/muzaki di Banten adalah rendahnya kesadaran muzaki, sedangkan menurut model AHP Kalsel adalah rendahnya pengetahuan muzaki. Model AHP yang dilakukan baik di Banten dan Kalsel menghasilkan skor prioritas yang sama, bahwa lembaga yang paling diandalkan dalam pemecahan masalah (problem solver) pengelolaan zakat adalah OPZ dan prioritas solusi regulator adalah sertifikasi amil. Demikian pula menurut kedua model tersebut prioritas solusi OPZ adalah membangun sinergi antar stakeholder zakat dan prioritas solusi muzaki atau mustahik adalah perbaikan materi zakat dalam pelajaran sekolah.

Dalam urusan zakat hingga saat ini, harus kita akui bersama bahwa secara umum perhatian banyak kalangan terhadap zakat perlu terus ditingkatkan. Terlebih hal ini juga idealnya datang dari kalangan intelektual muslim untuk membangun dan mengembangkan riset-riset yang terkait dengan pengembangan pengelolaan zakat. Sejumlah kenyataan harus diakui, bahwa masih terdapat beberapa kelemahan pengelolaan zakat saat ini.

 

Menuju Alternatif Solusi

Di tengah dukungan yang semakin luas dari masyarakat terhadap isu-isu keislaman, mulai dari soal fashion, makanan halal, wisata dan hotel halal, serta perbankan syariah. Ternyata isu dan dinamika zakat tak luput pula dapat perhatian dari sejumlah kalangan. Dari sejumlah pihak yang ada, ada keinginan untuk melihat zakat ini bisa terus tumbuh dan berkembang baik dari waktu ke waktu. Dibawah ini, ada 5 solusi atas masalah yang ada di dunia zakat.

 

Pertama, meningkatkan Kepercayaan Muzaki

Muzaki adalah salah satu elemen penting kekuatan lembaga pengelola zakat. Dengan dukungan muzaki yang memadai, sejumlah agenda-agenda utama lembaga zakat bisa terselesaikan sesuai rencana. Termasuk ke dalam hal ini adalah pengembangan pengelolaan zakat ke depan.

Dalam soal muzaki ini, yang sangat penting dimiliki adalah soal kepercayaan. Kepercayaan sangat berkaitan dengan adanya kesadaran berzakat. Apabila kesadaran masyarakat dalam menunaikan zakat menjadi rendah, maka salah satu faktor utamanya bisa jadi karena ketiadaan kepercayaan dari muzaki pada lembaga-lembaga pengelola zakat.

Seorang muzaki, harus terus menerus di edukasi oleh pengelola zakat agar ia memiliki pengetahuan yang benar dan sesuai dengan syariah zakat. Juga agar ia mengetahui dengan baik tentang kewajibannya untuk berzakat. Kesadaran ini juga penting adanya, mengingat di Indonesia, saat ini zakat lebih mengandalkan kesadaran pribadi, bukan terdorong karena adanya sanksi (punishment) ataupun insentif (reward) yang tetapkan oleh pemerintah.

Lembaga-lembaga pengelola zakat harus bekerja keras untuk terus membangun kesadaran muzakki untuk menunaikan zakat melalui institusi zakat yang ada. Hal ini diperlukan agar mereka lebih senang berzakat pada lembaga yang ada, bukan lagi berzakat secara tradisonal dan manual tanpa melalui lembaga zakat.

 

Kedua, Edukasi Muzaki dan Mustahik

Muzaki dan mustahik pada dasarmya elemen penting yang harus dapat perhatian serius lembaga pengelola zakat. Merawat, mengelola dan memastikan layanan terbaik untuk mereka ini adalah salah satu hal mendasar dalam aktivitas lembaga pengelola zakat. Kedua elemen ini menjadi penting kedudukannya, karena akan merefleksikan kesuksesan sebuah lembaga dalam memerankan dirinya dalam mengelola zakat.

Edukasi pada muzaki tentu berfokus pada peningkatan kesadaran beragama dan kedermawanan yang baik dalam kehidupannya. Sebaliknya, edukasi pada mustahik lebih pada kesadaran untuk bangkit dan bekerja keras serta sungguh-sungguh dalam berikhtiar menjemput rizki Allah. Mereka juga diajakarkan kesabaran untuk menerima takdir dan tak pernah berputus asa.

Khusus terkait edukasi untuk muzaki, harus ada formula solutif agar lebih menguatkan kesadaran mereka untuk menunaikan zakat melalui organisasi pengelola zakat, baik Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ). OPZ harus kreatif dalam mencari pendekatan dan strategi yang jitu untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya muzaki dan calon muzaki.

Hal yang bisa dilakukan dalam menguatkan hal tadi diantaranya : sosialisasi dan edukasi publik oleh ustadz atau kyai terkait hal tadi, penjelasan yang semakin baik yang menunjukan adanya penguatan fungsi lembaga pengelola zakat, penggambaran yang simpel akan proses pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang dilakukan. Point-nya yang harus juga tergambar dalam edukasi tadi adalah, bahwa semua kegiatan tadi susah sesuai ketentuan syari’at zakat serta sesuai pula dengan prinsip-prinsip akuntabilitas,  baik soal transparansi keuangan maupun soal integritas amil pengelola zakatnya dengan menyertakan mereka dalam proses sertifikasi yang dan terpercaya.

 

Ketiga, Perbaikan Pendayagunaan Zakat

Pendistribusian dan pendayagunaan zakat sekilas terlihat mudah dan  sederhana. Tampak luarnya hanya soal bagi-bagi program atau barang bantuan. Namun dibalik itu, harus ada kepastian bahwa pendistribusian dan pendayagunaan ini diberikan pada orang yang tepat sesuai syariat zakat, dalam waktu yang pas dan proses yang cepat dan tetap menjaga marwah (kemuliaan) mustahik yang menerimanya. Jangan lupa juga, apapun jenis layanan bantuannya, seyogianya tetap dilakukan dengan prosedur pelayanan yang mudah, aman serta sesuai ketentuan regulasi dan syariat zakat.

Setiap OPZ, setiap saat harus berupaya meningkatkan kualitas pengelolaan zakat, terutama dalam bidang pendistribusian dan pendayagunaan zakatnya. Upaya-upaya ini bisa dilakukan melalui berbagai program yang langsung dimanfaatkan oleh mustahik. Walau ukuran kemanfaatan bagi setiap lembaga berbeda-beda cakupannya, namun prinsifnya tetap sama bahwa bagaimana dana dan sumber daya yang ada pada pengelola zakat bisa membantu dan memperbaiki nasib muatahik zakat. Dan di sadari atau tidak, inilah harapan masyarakat pada lembaga zakat, agar dana dan alokasi sumberdaya-nya didayagunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan mustahik.

Dalam implementasinya, pendistribusian dan pendayagunaan zakat ini dapat diberikan kepada mustahik dalam dua garis besar yakni dalam bentuk program charity dan program pemberdayaan. Program charity adalah program penyaluran dalam bentuk sesaat. Bantuan dari OPZ diberikan kepada mustahik tanpa ada skema pemberdayaan di dalamnya. Sedangkan program pemberdayaan adalah program penyaluran yang sifatnya long term dan ada proses pemberdayaannya. Program ini nantinya akan berproses dan berpotensi akan mengubah mustahik menjadi muzaki. Proses ini bisa memakan waktu dan juga tak sederhana, karena ada serangkaian aktivitas yang harus dilalui, mulai dari perencanaan, implementasinya, hingga monitoring dan evaluasi programnya.

Keberhasilan kedua program tadi akan membantu mempernudah komunikasi dengan muzaki dan calon muzaki. Juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, terutama muzaki dan calon muzaki yang akan mengamanahkan dana zakat, infak dan sedekahnya pada lembaga yang ia yakini bisa ia percaya.

 

Keempat, Koordinasi dan Sinergi Pengelolaan Zakat

Menurut Nurul Huda dalam penelitiannya, masalah prioritas lainnya dalam masalah pengelolaan zakat adalah koordinasi dan sinergi. Kata beliau-nya, sebagian OPZ, terutama OPZ besar bentukan masyarakat, cenderung memiliki egoisme organisasi yang juga besar. Bisa jadi egoisme ini muncul karena dipengaruhi faktor sejarah yang panjang. Selama ini sejumlah orang yang membidani lembaga-lembaga zakat cenderung merasa bisa hidup sendiri dalam membesarkan lembaga dan hampir tanpa bantuan pihak lain. Mereka hanya berfokus pada pelayanan pada para muzaki dan mustahik mereka.

Sejarah panjang ini dirasakan sejumlah pendiri dan pimpinan OPZ selama bertahun-tahun mengelola organisasinya. Pada dasarnya, independensi ini juga bukan hanya pada sesama lembaga sejenis, bisa juga menghinggapi lembaga dalam cara pandangnya pada regulator zakat maupun pihak lain.

Sinergi dan koordinasi para amil dan lembaga pengelola zakat merupakan kebutuhan dan keharusan. Hal ini disebabkan karena problematika umat bersifat kompleks. Tak bisa sebuah OPZ bekerja sendirian tanpa bekerjasama dengan pihak lain. Sebagai amil yang diberikan amanah mengelola zakat, harus menyadari bahwa ada kesamaan tujuan dan cita-cita dalam mengoptimalkan peran zakat lewat OPZ masing-masing.

Sinergi antar OPZ tentu saja harus dibangun dalam kerangka ukhuwah islamiyah. Dalam bingkai semangat ukhuwah Islamiyah, sesama pengelola zakat tidak boleh saling menafikan, atau meniadakan peran yang lain, atau memandang lembaga yang lain sebagai pesaing. Pengelola zakat harus saling menguatkan satu sama lain.

 

Kelima, Optimalisasi Pengelolaan Zakat Melalui Aspek Digital dengan Dukungan Informasi Teknologi

Jumlah penduduk Islam Indonesia yang besar jumlahnya, sekitar 87,13 persen dari total penduduk memerlukan kemampuan daya jangkau yang luas, baik untuk mengedukasi muzaki maupun untuk mendistribusikan zakat-nya nanti setelah terkumpul. Kemampuan daya jangkau ini penting, mengingat potensi zakat dari para muzaki dan calon muzaki juga tersebar hampir di seluruh wilayah negeri ini.

Penghimpunan maupun pendayagunaan dalam pengelolaan zakat di Indonesia dirasa sudah harus dilaksanakan secara digital. Ada banyak alasan yang mengharuskan digitalisasi dalam dunia zakat. Setidaknya ada empat alasan kuat dunia zakat harus bergeser ke dunia digital.

Alasan pertama adalah bisa membuat pengumpulan dan pengelolaan zakat bisa lebih efisien, transparan dan masif. Alasan kedua adalah, digitalisasi zakat akan mampu meningkatkan keamanan pengumpulan dan pengelolaan zakat. Digitalisasi juga akan mengurangi biaya yang selama ini dikeluarkan dalam transaksi. Alasan ketiga, digitalisasi sangat sesuai dengan era yang sedang berkembang ditengah masyarakat. Adapun alasan keempat, digitalisasi akan mampu menjangkau lebih banyak masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia. Jangkauan ini juga akan menyasar beragam karakter termasuk generasi milenial. (*)