Perdamaian Di Tolikara Dilakukan Dengan Cara Adat

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

JAYAPURA–Rabu (29/7) malam menjadi hari yang bersejarah bagi muslim Tolikara dan komunitas Nasrani di Papua secara umum. Berlokasi di Sekretariat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua, Jayapura, dilakukan pertemuan antara pihak muslim Tolikara dan pemimpin Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Komunitas muslim di Tolikara diwakili oleh Ali Mukhtar, imam Masjid Baitul Muttaqin yang hangus terbakar. Sementara pihak gereja hadir Presiden GIDI, Pdt Dorman Wandikbo beserta jajaran pemimpin gereja, termasuk GIDI Wilayah Tolikara.

Pertemuan dalam rangka mediasi perdamaian itu diinisiasi oleh Ketua FKUB Papua, Pdt Lipiyus Biniluk dan Ketua PW Nahdlatul Ulama Papua, Dr. Tony Wanggai. Hadir dalam forum itu, perwakilan komunitas gereja, dan tokoh agama-agama di Papua. Diawali dengan pengantar oleh Pdt Lipiyus, bahwa pertemuan itu sangat penting dilakukan sebab berita yang beredar telah membuat masalah di Tolikara semakin keruh. Maka, rembug perdamaian menghadirkan pihak yang terkait langsung menjadi sangat penting.

Imam Masjid Baitul Muttaqin (yang telah hangus terbakar) Ali Mukhtar, menyatakan, puluhan tahun sudah dia hidup di tanah Papua, tidak pernah ada sengketa agama dengan gereja manapun. “Saya sudah kenal lama dengan pemimpin GIDI di Tolikara, tak ada masalah. Papua tanah damai,” ujar Pak Imam.

Presiden GIDI menegaskan bahwa pihaknya menyesalkan seluruh kejadian di Tolikara. “Kita semua adalah korban, setelah ini banyak umat GIDI di beberapa daerah yang mengalami intimidasi. Kami menyesalkan semua kejadian kemarin,” paparnya. GIDI siap melakukan perdamaian sampai seterusnya.

Setelah dua pihak bicara hati ke hati, Pdt Lipiyus Biniluk meminta semua berdamai. “Mari kembalikan kepada pihak di Tolikara, ini bisa diselesaikan secara adat Papua,” ujar Pdt Lipiyus. Ketua PW NU Papua, Dr Tony Wanggai juga menyatakan hal sama. Selain itu, Tony Wanggai meminta agar seluruh kesepakatan bisa dituangkan secara tertulis dan disebarkan kepada khalayak.

Menjelang tengah malam, mereka membentuk Tim Sebelas, yang terdiri dari perwakilan GIDI Tolikara, muslim Tolikara dan tokoh lintas agama. Mereka merumuskan naskah perdamaian yang lebih substantif dan akan berusia lama, agar kejadian sama tak terulang lagi, di seluruh Tanah Papua.

Kesepakatan penting yang dihasilkan di antaranya adalah: Pertama, penyelesaian masalah di Tolikara akan dilakukan secara adat. Forum menganjurkan agar proses hukum kepada pihak yang ditahan, bisa ditangguhkan. Kedua, pihak gereja akan memberikan kebebasan beribadah kepada umat Islam Tolikara, termasuk proses pembangunan masjidnya. Ketiga, semua pihak siap menjaga kondisi kehidupan yang harmonis, penuh persaudaraan dan toleransi.

Pertemuan ditutup dengan doa. Dibacakan oleh imam masjid, Ali Mukhtar, dalam bahasa Arab dan Indonesia, meminta agar hati semua yang hadir dibersihkan dari kebencian, dan perseteruan. Para pendeta, bikhu, dan pemimpin agama lain, mengaminkan dalam syahdu.

Sekretaris Eksekutif Forum Zakat Nasional (FOZ Nas), Amin Sudarsono, turut hadir dalam acara mediasi tersebut. “Malam ini, saya merinding. Menyaksikan mereka yang dituduh bertikai, bisa duduk bersama dalam satu lingkaran. Mari aminkan perdamaian di Papua, diiringi kebebasan beribadah semua umat dan keamanan tempat ibadahnya,” kata Amin.

Koordinator Sinergi Tolikara dari FOZ Wilayah Papua Raya, Andi Mangewai, berharap agar usai perjanjian perdamaian itu, seluruh proses pembangunan masjid di Tolikara bisa berjalan lancar. Saat ini melalui Sinergi FOZ telah terkumpul sekitar Rp 2 miliar, sumbangan dari umat Islam seluruh Indonesia melalui lembaga zakat, ormas Islam, masjid dan komunitas Islam.

“Bantuan itu harus segera kami berikan kepada muslim di Tolikara. Dengan pijakan naskah perdamaian ini, kami lebih mudah menyalurkan pembangunan masjid dan pemberdayaan ekonomi di Tolikara,” kata Andi