Akhirnya pada tanggal 14 Februari 2014 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Kehadiran PP ini sesungguhnya telah sangat ditunggu-tunggu oleh kalangan praktisi zakat nasional, terutama pasca keputusan Mahkamah Konstitusi terkait judicial review beberapa waktu lalu. PP ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dalam praktik pengelolaan zakat nasional, sehingga UU yang ada dapat berjalan secara operasional.
Dalam PP No 14/2014 ini, sejumlah hal krusial telah diatur dengan sangat detil. Tidak kurang dari 11 bab dan 86 pasal yang terdapat dalam PP ini. Diantara isu krusial yang telah diatur oleh PP ini antara lain adalah kelembagaan BAZNAS dan kelembagaan LAZ, yang menjadi sentral perdebatan selama ini.
Dibandingkan dengan aturan yang ada sebelumnya, PP ini relatif memberikan arsitektur pengelolaan zakat yang berbeda. Sejumlah hal baru diperkenalkan di dalam aturan ini, sehingga posisi zakat secara politik dan hukum positif menjadi lebih kuat. Sebagai contoh, BAZNAS diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan BAZNAS, yang bersifat mengikat para praktisi dan lembaga zakat resmi yang ada.
Dua Isu Krusial
Isu krusial pertama, kelembagaan BAZNAS. Dalam PP ini, ada tiga aspek kunci yang menjadi faktor pembeda dengan rezim pengelolaan zakat sebelumnya. Ketiga faktor kunci tersebut adalah terkait dengan keanggotaan BAZNAS, struktur dan tata organisasi BAZNAS, dan kelembagaan BAZNAS daerah.
Terkait dengan keanggotaan BAZNAS, PP telah memerinci prosedur pemilihan para anggota BAZNAS, mulai dari proses seleksi calon anggota BAZNAS yang berasal dari unsur masyarakat (8 orang) dan unsur pejabat pemerintah (3 orang), alur proses penetapan para anggota tersebut, pemilihan ketua dan wakil ketua BAZNAS, hingga proses pemberhentian dan penggantian anggota BAZNAS yang tidak bisa menjalankan kewajibannya. Khusus wakil pemerintah, PP telah menetapkan bahwa pejabat eselon satu yang menjadi ex officio anggota BAZNAS berasal dari Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.
Menurut analisis penulis, pemilihan pejabat ketiga kementerian tersebut didasarkan pada sejumlah argumentasi. Pertama, untuk Kementerian Agama, hal ini sangat wajar mengingat urusan zakat secara hukum positif masih erat terkait dengan wilayah keagamaan yang menjadi wewenang Kemenag. Kedua, dipilihnya pejabat Kemendagri adalah dengan harapan akan meningkatkan efektivitas pengelolaan zakat di daerah, dimana pemerintah daerah juga memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Tanpa adanya koordinasi dan komunikasi yang efektif dengan Pemda, maka pembangunan zakat akan mengalami hambatan yang berarti. Ketiga, dipilihnya pejabat Kemenkeu diharapkan dapat memudahkan upaya penganggaran BAZNAS serta upaya sinergi dan integrasi dengan kebijakan fiskal. Sinergi zakat dengan pajak ini merupakan bagian dari aspirasi perjuangan para pegiat ekonomi syariah selama ini.
Faktor kunci kedua adalah struktur organisasi BAZNAS. Di dalam PP disebutkan bahwa perangkat organisasi BAZNAS terdiri atas dua komponen utama, yaitu sekretariat dan unit pelaksana, yang bertanggung jawab pada anggota BAZNAS. Sekretariat ini akan diatur melalui Peraturan Menteri Agama secara khusus, baik struktur maupun personilnya, dengan pertimbangan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan personil sekretariat ini adalah PNS. Sedangkan unit pelaksana merupakan komponen yang melaksanakan fungsi organisasi BAZNAS di luar kesekretariatan, dan mereka bukan merupakan PNS. Sehingga, dari perspektif BAZNAS, roda organisasi akan dapat terus berjalan tanpa harus menunggu rekrutmen PNS. Tentu ini sangat memudahkan pelaksanaan tugas BAZNAS.
Adapun faktor kunci ketiga adalah BAZNAS daerah. Secara kelembagaan, ada perubahan yang cukup signifikan, terutama dari sisi kepengurusan. Pada peraturan yang lama, kepengurusan BAZNAS daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota terdiri atas Badan Pelaksana, Dewan Pertimbangan dan Komisi Pengawas. Maka pada PP ini, hal tersebut diubah, sehingga kepengurusan BAZNAS daerah terdiri atas pimpinan dan pelaksana. Pimpinan terdiri atas satu orang ketua dan wakil ketua paling banyak empat orang. Adapun pelaksana, memiliki fungsi sebagai pelaksana operasional pimpinan BAZNAS daerah. Tentu diperlukan kesiapan mental dari para pengurus BAZNAS daerah yang ada selama ini, karena adanya perampingan kepengurusan secara signifikan. Jangan sampai hal tersebut menimbulkan konflik yang tidak perlu.
Selanjutnya, isu krusial kedua adalah kelembagaan LAZ. PP No 14/2014 ini telah mengadopsi hasil keputusan Mahkamah Konstitusi, dimana syarat pendirian LAZ adalah terdaftar sebagai ormas Islam atau berbadan hukum. PP tersebut juga mengatur bahwa izin bagi LAZ tingkat nasional dikeluarkan oleh Menteri Agama, izin bagi LAZ tingkat provinsi dikeluarkan oleh direktorat jenderal yang terkait dengan fungsi zakat di Kementerian Agama, yang selama ini telah dijalankan oleh Ditjen Bimas Islam, dan izin bagi LAZ kabupaten/kota dikeluarkan oleh kepala kantor wilayah Kementerian Agama provinsi. Keseluruhan proses perizinan ini memakan waktu 15 hari kerja.
LAZ tingkat nasional pun diperkenankan untuk membuka satu kantor perwakilan di setiap provinsi, dan LAZ tingkat provinsi diperkenankan untuk membuka satu kantor perwakilan di setiap kabupaten/kota. Pembukaan perwakilan tersebut harus dengan izin kepala kantor wilayah Kementerian Agama provinsi untuk LAZ nasional, dan kepala kantor Kementerian Agama kabupaten/kota untuk LAZ provinsi.
Sama seperti izin pendirian LAZ, izin pembukaan kantor perwakilan ini juga memakan waktu 15 hari kerja. Sedangkan bagi amil perseorangan, PP telah menetapkan bahwa keberadaan mereka tetap diperbolehkan selama pihak BAZNAS dan LAZ belum bisa menjangkau mereka. Kegiatan amil perseorangan ini cukup diberitahukan secara tertulis kepada kepala kantor Kementerian Agama kecamatan.
Ke depan, PP ini membutuhkan proses sosialisasi yang lebih masif, serta tindak lanjut yang lebih terencana dan terarah. Penulis berharap PP ini bisa menjadi angin segar bagi kemajuan pengelolaan zakat nasional di masa mendatang. Wallahu a’lam.[]