Puncak Pengabdian Amil

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
IMG_20160928_151530

Oleh: @Nana Sudiana

“Human kindness has never weakened the stamina or softened the fiber of a free people. A nation does not have to be cruel to be tough” (Franklin D. Roosevelt)

 

Amil bukan administratur, yang hanya hanya bertugas membagikan sesuatu dan lalu mencatatnya. Amil juga bukan pengukur, yang menghitung dampak dan perubahannya dari apa yang ia berikan.

Amil esensinya ia juga mustahik. Tak boleh bangga hati apalagi merasa kuasa dihadapan tujuh bagian mustahik lainnya. Sepanjang ia pengelola zakat, ia harus rela disebut amil yang sekaligus juga mustahik. Keseluruhan pengabdiannya tak sama sekali mengubah statusnya sebagai mustahik zakat. Amil adalah mustahik. Menjadi aneh dan tak pada tempatnya bila ia merasa menjadi wakil muzaki lalu berbuat seenak hati pada mustahik lainnya.

 

Kebahagiaan Amil Sejati

Menjadi amil tak cukup sekedar sebuah SK di sehelai kertas. Amil adalah dunia pengabdian, tak peduli setinggi apa jabatan sebelumnya di dunia lain, begitu menjadi amil, maka ia harus bisa melayani. Melayani mustahik agar bisa lebih baik hidupnya dan melayani muzaki agar tertunaikan bagian hartanya untuk dibersihkan.

Amil tak boleh banyak mengeluh, apalagi mudah menyerah. Di pundak amil ada tujuh bagian mustahik yang nasibnya amil ikut menentukannya. Bagaimana nasib mereka menjadi lebih baik dan kakinya kuat melangkah memperbaiki diri bila amilnya rapuh dan penuh masalah.

Amil harus kuat. Kuat bertahan atas segala tekanan dan serbuan persoalan. Masalah legalitas, walau sebagian amil yang ada di negeri belum merasa tuntas tetap harus dihadapi dengan besar hati dan senyum yang pas. Masalah kurangnya dukungan pihak-pihak yang diharapkan untuk menggairahkan dunia zakat juga tak perlulah menjadi beban yang merisaukan.

Di hadapan amil, terbentang tantangan yang tak mudah. Ada begitu banyak jebakan saudara mustahik lainnya kembali ke kondisi lama sebelum mulai ditolong para amil. Dan tak menutup kemungkinan pula, di atas kertas mustahik-mustahik yang dikelompokan dan dibina seolah tanpa bekas kembali ke kehidupan semula dengan mengandalkan rasa iba dan terus menampilkan wajah memelas.

Kaki-kaki amil, sejatinya bukanlah besi yang sempurna menopang setiap masalah yang ada. Hati para amilpun, bukanlah selembut sutera yang akan kembali halus dan mulus tanpa disetrika. Amil tetap saja manusia, ia bekerja dengan banyak pertimbangan sisi manusiawi yang kadang terlupa diperhatikan para pemutus nasibnya mereka di berbagai yayasan atau organisasi payung mereka.

Amil ini pejuang, peretas kebaikan-kebaikan yang dirintis dan dijalani muatahik agar hidupnya lebih baik. Keluar dari kegelapan hidup dan menuju cahaya dalam dekapan hidayah kebaikan Islam. Amil juga adalah pendakwah tanpa ceramah, yang menemani segala derita mustahik hingga ia tegar dan kembali melangkah.

Sungguh tak pantas, bila masih ada amil di dunia ini yang merasa lebih hebat dibanding mustahik, apalagi juga lebih berhak untuk mengatur-ngatur amil lainnya atas dasar kuasa dan sebuah kewenangan manusia. Bahasa yang keluar sejatinya adalah ajakan untuk melakukan perbaikan, tanpa ancaman apalagi tekanan. Amil harus diajak berbicara dari hati ke hati untuk bisa saling mengerti.

Amil ini bukanlah berhati batu, jiwanya lebih lembut daripada sutera. Ia mudah tersentuh dengan derita suadara mustahiknya dan bersedia berkorban apa saja untuk membuatnya berdiri tegak dan bisa tersenyum bahagia. Amil ini biasa lelah, namun sepanjang lelahnya lillah, mereka akan segera melupakannya dan bersiaga kembali bekerja tanpa harus dipaksa.

Cara berbicara dengan para amil adalah dengan hati, tak melulu telinga semata. Mengurus para amil ini sebenarnya mudah, beri saja mereka pemahaman dan lalu jelaskan dimana adanya masalah, insyaallah mereka dengan senang hati akan bersedia melangkah. Mereka tak segan bekerja keras mengurai masalah, bahkan sekalipun harus berhari-hari meninggalkan rumah dan keluarga mereka.

Para amil, puncak kebahagiaannya terletak bukan besarnya gaji yang mereka terima. Para amil, bukan fasilitas yang mereka tuntut lantas membuat ia bangga. Amil sejati, letak kebahagiaannya ada pada kebahagiaan mustahik. Ia akan tersenyum bila melihat mustahik senang dan teratasi masalahnya. Ia akan bangga bila mustahik yang ada bisa menjadi diri mereka sendiri dan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

 

Amil Sejati, Mudah Merasa Sepi

Dunia amil adalah dunia pengabdian dan pelayanan. Para pegiatnya tak biasa dilayani apalagi dijamu bak pejabat tinggi. Mereka bergerak dengan hati, juga dengan jiwa yang senantiasa ikhlas mengabdi. Mereka bergerak atas panggilan nurani. Bila kita menemukan amil-amil yang sering curhat di sosial media, apalagi mempermasalahkan fasilitas yang ia dapatkan, yakinlah bahwa mereka belum “cukup umur” menyelami kedalaman dunia gerakan zakat dan hakikat amil. Mereka masih di permukaan dan masih sedang mencari jati diri hingga kemudian ia akan sampai pada keputusan, menyelam lebih ke dalam atau menuju permukaan dan melangkah meninggalkan samudera kehidupan para amil.

Ketahuilah oleh semua, bahwasanya dunia amil sejatinya dunia yang sepi. Tak banyak basa-basi apalagi hura-hura bak selebriti. Ini dunia pelayanan, dimana orang-orangnya lebih suka bekerja dan bergetak daripada duduk manis menunggu di belakang meja kerja. Amil sejati akan mendatangi masalah, bukan menunggunya mendekat lalu diselesaikan olehnya. Dunia ini dunia pelayanan, sepanjang masih ada manusia di bumi, dan ada ketidakadilan atas nama kuasa modal dan kekayaan, maka sepanjang itulah kemiskinan akan muncul dan memanggil para amil hadir dan terlibat menyelesaikan.

Dunia amil adalah dunia yang sepi. Para penggeraknya adalah mereka yang punya kesadaran tinggi untuk lebih mengutamakan kehidupan mustahik daripada diri dan bahkan keluarganya. Bila panggilan tugas amil ini bertemu dengan jiwa-jiwa pengabdi sejati, maka akan sangat sulit memisahkannya. Para amil sejati, akan seolah mati bila ia tak punya kesempatan untuk melakukan pengabdian untuk sesama sebagaimana nuraninya memanggil dan menyentak kesadaran terdalamnya.

Mereka akan seolah mati, bila dijauhkan dari pelayanan untuk dan atas nama kebaikan. Mereka seolah mati, bila menemukan ketidakadilan yang menyebabkan kesengsaraan. Mereka seolah mati, bila disekelilingnya terbentang kemiskinan tapi mereka tak kuasa menolong dan berbuat sesuatu.

Inilah salah satu rahasia, kenapa dunia amil ini didatangi latar belakang pendidikan yang sangat beragam. Kadang tak ada korelasi sama sekali dengan aktivitas para amil di dunianya. Ada begitu ketidakcocokan latar belakang ilmu sebagai seorang amil. Namun jawaban dari rahasia ini adalah, amil adalah panggilan jiwa. Panggilan kedalaman nurani untuk melakukan totalitas pengabdian. Saat yang sama, jangan terkejut, bila ada seorang atau sekelompok amil yang ia menjadi amil namu n sifaatnya jauh dari kelemahlembutan. Ia begitu asing dengan bahasa hati nan penuh kasih sayang.

Bisa jadi amil-amil jenis ini, yang mungkin malah menduduki tempat-tempat tertinggi dari organisasi tempat para amil berkerja sejatinya jiwanya justru bukan jiwa amil. Raganya ia amil, namun nuraninya bisa saja ia seorang raja, seorang  petinggi, bahkan bisa pula seorang algojo yang biasa memiliki pendekatan ditangannya dua saja, eksekusi atau ampuni.

Entahlah, sukar memang menemukan amil sejati. Apalagi bila ada orang yang mengklaim ia amil istimewa. Perlu didengar dan dipatuhi atas nama selembar kekuasan yang dicatatkan dalam selembar kertas yang bernama surat keputusan. Semua orang, apalagi mereka amil, silahkan saja menyebut dirinya amil jenis apa, yang jelas di lapangan, tujuan amil sejati adalah membahagiakan mustahik. Menjadikan mereka lepas dari segala duka dan persoalan yang menghimpitnya.

Daripada mengira-ngira, lebih baik mari kita berdo’a agar Allah anugerahkan jiwa yang lembut dan hati yang bisa menerima kebaikan. Semoga pula tangan dan kaki kita dikuatkan untuk terus terlibat dalam urusan umat, membantu sesama yang membutuhkan dan berdiri bersama orang-orang yang memerlukan pertolongan.

 

Hasbunallaha wanimal wakil, nimal maula wanimab nashir.

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (At-Taubah: 105).