Tanggal 14 Februari 2014, lahirlah PP Nomor 14 tahun 2014 tentang Pengelolaan Zakat. Peraturan ini sebagai turunan teknis dari UU No 23 Tahun 2011 yang telah selesai diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi dan menjadi pegangan bagi pelaksanaan syariat zakat di Indonesia. “Banyak cacat. Kita harus kaji lebih dalam,” kata Nur Efendi, CEO Rumah Zakat.
Lima puluh orang amil yang berasal dari 32 lembaga zakat memenuhi ruang rapat yang berpendingin udara itu. Mereka berkumpul atas undangan Forum Zakat Nasional (FOZNas) untuk melakukan konsolidasi terkait lahirnya PP No 14 tahun 2014. Peraturan baru itu, dirasa banyak kritik dan catatan yang harus dibahas bersama unsur LAZ, ahli hukum dan pengamat perzakatan.
Begitu telah lahir peraturan ini, konsolidasi dilakukan oleh beberapa lembaga zakat. Bagi lembaga amil zakat swasta, PP itu mengandung banyak catatan dan kritik. Kegelisahan para amil swasta ini puncaknya adalah pada acara yang diselenggarakan Forum Zakat bertajuk Silaturahim Nasional (Silatnas) Lembaga Amil Zakat dengan tema “Mengokohkan Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Zakat yang Adil dan Terbuka. Acara itu digelar pada Selasa (11/2) di Hotel Sofyan Tebet.
“Tujuannya untuk membuka cakrawala berfikir dan menentukan langkah. Akan melakukan apa, setelah PP ini lahir?” tanya Sabeth Abilawa, Ketua Bidang Advokasi FOZ saat membuka acara. Menurutnya, PP ini ibarat tikungan tajam kedua bagi gerakan zakat, setelah yang pertama saat lahirnya UU No 23 tahun 2011 yang telah diujimaterikan ke MK dan telah diputuskan.
Menurut Sabeth, terdapat tiga respon umum dari kalangan LAZ setelah membaca PP itu. Pertama, dari para akademisi—yang tidak terlibat langsung dengan pengelolaan zakat—mereka ingin kembali menguji pasal-pasal lain melalui Mahkamah Konstitusi. Kedua dari sebagian LAZ besar yang akan menguji PP ini di Mahkamah Agung, pada beberapa pasal yang dianggap bermasalah.
“Bahkan ada tawaran yang cukup ekstrim dan liar, yaitu misalnya mengembalikan seluruh pengelolaan zakat kepada negara dan mengembalikan SK LAZ-LAZ Nasional dari Kementerian Agama. Juga terdapat LAZ yang ingin langsung turun ke jalan melakukan demonstrasi,” ujar Sabeth. Justru itulah pentingnya acara ini, lanjutnya, agar kita tidak liar, tetap terstruktur dengan baik, serta menjadikan Forum Zakat sebagai payung bersama gerakan zakat.
Forum diawali dengan presentasi yang dibuat oleh Yusuf Wibisono yang mengorek lebih dalam kelemahan dari PP Pengelolaan Zakat. Yusuf dengan tegas menyatakan, PP ini jauh lebih garang dari Undang-undangnya sendiri. Kajian lebih dalam per pasal disampaikan dalam tulisan tersendiri (lihat Kolom).
Pembentukan Lembaga Amil Zakat (LAZ) makin sulit. Pemerintah mewajibkan LAZ memiliki izin pendirian secara berjenjang. Itu artinya untuk bisa membuka perwakilan di daerah, LAZ nasional yang sudah mendapat izin menteri agama juga wajib mengantongi izin baru dari Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, Kementerian Agama, dan Kepala Kantor Dinas Kementerian Agama di provinsi.
CEO Rumah Zakat mengaku, aturan perizinan pembentukan LAZ di daerah menyulitkan. “Bertele-tele dan menyulitkan, seharusnya ketika sudah ada izin menteri, cukup untuk membuat perwakilan di daerah,” kata Nur Efendi.
Acara sesi kedua dipandu oleh Ketua Umum FOZ, Sri Adi Bramasetia. Selama kurang lebih satu jam terjadi interaksi gagasan di forum itu. Bram—sapaan akrabnya—menyampaikan prinsip pokok bahwa Forum Zakat adalah payung bagi seluruh organisasi pengelola zakat. “Di sini ada BAZ dan ada LAZ, baik yang lambang garuda maupun swasta. Semuanya pegiat zakat anggota FOZ. Jadi kita harus bicarakan dengan hati tenang,” ujarnya.
Bram melanjutkan dengan flashback kisah regulasi zakat yang berliku-liku di Tanah Air. Sejak UU No 38 tahun 1999, sampai UU No 23 tahun 2011 diundangkan, pergulatan bawah tanah dan atas tanah. “Semua pihak berjuang. Tujuannya sama, menegakkan syiar dakwah zakat di Indonesia. Namun memang, saat ini adalah posisi yang menyulitkan bagi kita semua. Mungkin sudah saatnya kita tabayun konstitusi lagi,” katanya.
Forum LAZ itu semakin ramai saat masing-masing mendapat kesempatan bicara. Juperta Panji Utama, Direktur LAZ Lampung Peduli bersuara tegas. “Apakah yang mau kita pertahankan di FOZ kalau kita dikudeta. Apakah lagi yang sedang dikerjakan FOZ jika FOZ tidak bersedia dikudeta. Menurut saya, sederhana saja, hidup ini harus memilih. Punya istri dua itu susah untuk adil. Kita pilih saja untuk uji materi oleh FOZ bersam-sama,” ujar Panji yang juga dikenal sebagai budayawan Lampung ini.
Kalimat itu diperkuat lagi oleh Irwanudin, dari Laznas BMT ICMI yang mendesak agar segera dilakukan judicial review ke MA. Pengurus LAZ PLN, Efrizon juga menegaskan, jika lembaganya siap mendukung. “Kami akan serahkan aspek legal dari lembaga kami dan sekaligus surat kuasa bagi siapa yang akan menjadi koordinator uji materi ini,” katanya di forum tersebut.
Senada, Arif Nurhayadi, Direktur Lazis Jateng juga mendorong segera dilakukan konsolidasi konten permohonan ke MA. “Kami ingin agar legal standing yang dipakai adalah Perkumpulan Forum Zakat. Efeknya jelas lebih kuat. Pertanyaannya, pengurus berani atau tidak? Kami harap bisa segera,” tegasnya.
Kekhawatiran tentang dominasi Baznas diutarakan oleh M Khoirul Muttaqin, Direktur Eksekutif Lazis Muhammadiyah (Lazismu). Menurut Khoirul, dengan adanya PP itu, yang memberi kuasa Baznas di semua level untuk mengambil setoran dari masjid, sekolah, rumah sakit, kampus dan badan publik lainnya, telah menyebabkan gesekan di lapangan.
Satu provinsi, bagi Lazis Muhammadiyah bisa ada delapan cabang, mereka berbasis kepada kepengurusan daerah. “Apalagi, kami juga punya rumah sakit dan kampus. Di DKI Jakarta saja, sudah ada empat kampus berdiri Lazismu dan empat rumah sakit juga ada Lazismu. Apakah mereka harus bubar? Padahal itu potensi dana untuk dakwah Muhammadiyah,” kata Khoirul.
Kasus yang menimpa lembaga zakat milik ormas Muhammadiyah ini, lebih parah lagi di Provinsi Banten. Diceritakan Khoirul, awalnya ada laporan dari Akademi Keperawatan Muhammadiyah di Banten, bahwa mereka diminta menyetor dana zakat hasil penghimpunan Lazismu kepada Bazda. Lalu, Lazismu Pusat melakukan investigasi laporan tersebut. Ternyata praktek yang tak mendidik itu terjadi benar.
“Anda kalau melakukan praktek itu, Anda bisa dipidanakan. Maka masukkan uang Anda ke Baznas Daerah, itu justru yang dikatakan Bazda kepada pengurus Lazismu,” papar Khoirul. Menurutnya, harusnya Baznas melakukan edukasi, kalau sudah ada LAZ di sebuah ormas, cukup salurkan ke sana, toh juga legal dan resmi.
Khoirul menyimpulkan, PP Zakat yang baru itu memang sejak awal sudah mencoba mendudukkan berhadapan dengan ormas yang sudah ada. Bahkan, terkesan PP itu tidak mengindahkan posisi ormas Islam yang sudah lama berdiri.
Pertimbangan aspek syariah justru menyeruak muncul. Fatchul Umam, anggota Dewan Pertimbangan Syariah Rumah Amal Salman ITB menyarankan adanya kajian mendalam tentang peran negara dalam mengelola zakat. “Apakah benar negara atau pemerintah? Jika pemerintah, maka Baznas itu termasuk pemerintah atau bukan? Atau hanya lembaga non struktural. Ini [erlu kajian mendalam,” katanya.
Didukung oleh M Choffadz, sekretaris Baitul Maal Hidayatullah yang langsung mengusulkan dilakukan bahtsul masail khusus terkait ini. “Perlu dilibatkan lembaga amil zakat, Baznas, pemerintah dan Kemenag. Fasilitatornya adalah Majelis Ulama Indonesia agar penilaian adil dan kita mendapat pemahaman sempurna tentang legalitas syariah ini,” katanya.
Di akhir acara, peserta menyepakati beberapa hal. Pertama, sikap LAZ yang tergabung dalam FOZ adalah mendukung uji materi PP No 14/2014 di Mahkamah Agung. Legal standing untuk uji materi ke MA adalah menggunakan Perkumpulan FOZ. Waktunya sampai akhir Maret substansi permohonan sudah selesai, dan permohonan dimasukkan ke MA pada pekan pertama April.
Juga disepakati pengurus FOZ akan melakukan silaturahim dengan para spokesperson pemimpin ormas Islam sebagai langkah penguatan opini publik. Terakhir, diusulkan adanya bahtsul masail BAZ dan LAZ untuk legitimasi syariah terhadap pengelolaan zakat yang akan difasilitasi MUI.[]