Oleh: NUR EFENDI, Ketua Umum Forum Zakat Nasional
Sejak beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat untuk berzakat di tanah air kita cukup tinggi. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya penerimaan dana zakat, infak dan sedekah yang dihimpun dari masyarakat pada hampir semua lembaga zakat.
Jika kesadaran tersebut, baik di level perorangan maupun institusi, perusahaan (korporasi) terus tumbuh untuk menunaikan zakat, maka output yang dicapai insya Allah akan lebih signifikan. Artinya, kontribusi zakat dalam mengatasi masalah kemiskinan dan problema sosial lainnya di negara kita, seperti sering terungkap melalui berbagai hasil penelitian dan kajian, akan terwujud sebagaimana diharapkan.
Dalam rangka penguatan dan pembinaan kesadaran berzakat yang bersifat masif, konsisten dan total, perlu membangun apa yang disebut sebagai komunitas zakat. Komunitas diartikan sebagai kesatuan yang terdiri atas individu-individu; (dan) masyarakat.
Sesuai pengertian menurut bahasa, maka yang dimaksud dengan istilah komunitas zakat adalah kesatuan yang terdiri atas individu-individu dan masyarakat yang sadar, peduli, bertanggung jawab, dan memiliki keterlibatan secara moral, pemikiran dan operasional dalam perzakatan, baik selaku muzaki, amil, mustahik, pemerintah, dan media massa.
Untuk membangun komunitas zakat, amil merupakan salah satu komponen yang memiliki peranan dan tanggung jawab strategis. Oleh karena itu, perekrutan amil tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan tanpa kriteria yang jelas.
Amil harus memenuhi syarat memiliki dasar agama yang kuat, akhlakul karimah, kompetensi pengetahuan tentang fikih zakat dan tata kelolanya, memiliki kecerdasan secara intelektual, emosional, sosial dan spiritual, dan memiliki kemauan untuk terus belajar dalam rangka penunjang tugas keamilan. Di samping itu, amil juga harus pandai memanfaatkan media, seperti media cetak, elektronik maupun ‘jejaring sosial’ dalam rangka sosialisasi dan edukasi zakat.
Di samping itu, hubungan dan pola komunikasi yang harus terbina antara amil dengan muzakki maupun mustahik, bukan hanya hubungan transaksional, yakni menerima pembayaran zakat, mengadministrasikan dan menyalurannya, akan tetapi amil sekaligus harus mampu berperan sebagai ‘sahabat spiritual’ bagi para muzakki dan mustahik yang dilayaninya.
Selanjutnya untuk menggali potensi zakat yang besar di negara kita, paling tidak diperlukan empat langkah yang harus dilakukan secara simultan. Pertama, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait dengan hukum dan hikmah zakat, harta objek zakat sekaligus tata cara perhitungannya, serta kaitan zakat dengan pajak.
Kedua, penguatan keamilan, sebagaimana telah dijelaskan di muka, karena amil adalah ‘tulang punggung’ dalam pengelolaan zakat. Kinerja amil akan menjadi cerminan keberhasilan pengelolaan zakat. Untuk itu, amil perlu memiliki data base mustahik dan muzaki yang akurat dan up to date sehingga pengumpulan dan penyaluran zakat dapat dipetakan dengan baik.
Ketiga, penyaluran zakat yang tepat sasaran sesuai dengan ketentuan syariah dan memperhatikan aspek-aspek manajemen yang transparan. Misalnya, zakat di samping diberikan secara konsumtif untuk memenuhi kebutuhan primer secara langsung (QS Al-Baqarah : 273), juga diberikan untuk meningkatkan kegiatan usaha dan kerja mustahik/zakat produktif (al-hadist).
Keempat, sinergi dan koordinasi atau taawun baik antarsesama amil zakat (tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional) maupun dengan komponen umat yang lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi Islam, lembaga pendidikan Islam, perguruan tinggi, media massa, dan lain-lain.
Keempat langkah di atas merupakan agenda utama dan agenda bersama yang tidak dapat dipisahkan dari upaya membangun komunitas zakat di tanah air kita.