Forum Zakat – Masih hangat dalam momentum Hari Guru Nasional pada 25 November 2024, masyarakat Indonesia mendapat kabar baik atas bebasnya vonis hukuman bagi Guru Supriyani. Namun, di balik itu rupanya kita perlu menelisik serta mengkaji lebih dalam terkait nasib guru yang beberapa tahun terakhir ini kesejahteraannya menurun. Khususnya bagi guru honorer.
Guru honorer yang memikul tanggung jawab besar dalam mencerdaskan generasi bangsa, justru harus berjuang hidup dengan penghasilan yang jauh dari kata layak. Data dari Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukkan, 74 persen guru honorer dibayar di bawah upah minimum daerah.
Bersumber dari penelitian IDEAS pada 2024, terhadap 403 guru di 25 provinsi mengungkapkan fakta mencengangkan, yakni sejumlah 42 persen guru berpenghasilan di bawah Rp2 juta per bulan, sementara 13 persen lainnya hidup dengan penghasilan kurang dari Rp500 ribu per bulan.
Penghasilan tersebut bahkan lebih rendah dibanding Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) terendah di Indonesia 2024, yakni Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp2.038.005. Guru-guru ini tak hanya mengandalkan gaji dari pekerjaan utama, tetapi juga mencari tambahan dari pekerjaan lain. Namun, sering kali hal ini tak cukup, sehingga 79,8 persen guru mengaku memiliki utang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dedikasi Guru di Tengah Keterbatasan
Meski dihimpit oleh tekanan ekonomi, semangat guru Indonesia tetap membanggakan. Penelitian IDEAS mengungkapkan bahwa 93,5 persen guru tetap berkomitmen mengabdi hingga masa pensiun. Keteguhan ini menunjukkan dedikasi yang luar biasa, meski tidak dibarengi dengan penghargaan yang setara.
Namun, ironi besar muncul ketika pemerintah cenderung lebih memberikan perhatian pada isu-isu seperti korban judi online, sementara nasib guru sering terabaikan. Padahal, guru merupakan pilar utama dalam membangun masa depan bangsa melalui pendidikan.
Krisis Guru Honorer dan Solusi yang Diperlukan
Drama pemecatan ratusan guru honorer di DKI Jakarta menjadi salah satu potret buram dunia pendidikan. Kebijakan pemerintah daerah yang disebut sebagai “penataan ulang” kerap kali berujung pada ketidakpastian bagi para guru honorer. Solusi yang diperlukan seharusnya bukan pemecatan massal, melainkan restrukturisasi pengelolaan tenaga pendidik.
Kesejahteraan guru tidak hanya soal gaji, tetapi juga jaminan keamanan kerja, penghargaan profesional, serta dukungan fasilitas yang memadai. Pemerintah perlu merancang kebijakan yang berpihak pada nasib guru, seperti penambahan tunjangan, perbaikan sarana pendidikan, serta program pelatihan peningkatan kapasitas.
Inisiatif Filantropi untuk Guru
Di tengah keterbatasan, ada harapan dari inisiatif filantropi yang didorong oleh lembaga-lembaga sosial. Salah satunya adalah program Bakti Guru dari Lazismu Jawa Timur yang diluncurkan sejak 2020. Program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan guru melalui penambahan tunjangan, dukungan transportasi, pelatihan peningkatan kapasitas, serta pengembangan modal usaha mandiri.
Selain itu, Bakti Guru juga mendukung perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, sekaligus mengoptimalkan tradisi filantropi melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Program ini menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat dapat berkontribusi dalam mengatasi ketimpangan kesejahteraan guru.
Harapan untuk Pendidikan Indonesia
Nasib guru yang menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan bangsa, perlu terus menjadi perhatian utama. Ketimpangan kesejahteraan harus diselesaikan melalui kebijakan yang berpihak pada mereka. Program pemberdayaan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, harus menjadi prioritas dalam memajukan pendidikan Indonesia.
Melalui dedikasi para guru dan dukungan nyata dari berbagai pihak, diharapkan pendidikan Indonesia dapat berkembang lebih baik, serta kesejahteraan guru semakin meningkat. Momentum Hari Guru Nasional ini harus menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap perjuangan guru dan terus menyuarakan kesejahteraan yang adil bagi mereka.