Jakarta – Ketua Bidang Sinergi dan Kerjasama FOZ Zainal Abidin menyebutkan gerakan zakat harus mengambil bagian dari penanganan atas terjadinya fenomena Global Boiling (Pendidihan Global) untuk menuju kondisi yang lebih baik. “Fenomena ini tidak bisa kami anggap sepele. Justru akan menjadi salah satu bencana jurang kemiskinan, gerakan zakat harus terlibat agar masyarakat yang berpotensi terdampak bisa survive,” tegasnya di agenda Pos Koordinasi Masyarakat (POSKOM), Selasa (22/8/2023).
Sebagai informasi, Laporan dari the World Meteorological Organization (WMO) and the European Commission’s Copernicus Climate Change Service menyatakan bahwa Juli 2023 sebagai bulan terpanas dalam sejarah dunia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyatakan bahwa kini bukan lagi eranya pemanasan global atau global warming, melainkan sudah masuk ke era pendidihan global atau global boiling
Dalam kesempatan yang sama, Advisor EcoBhinneka Muhammadiyah & Koordinator GreenFaith Indonesia, Hening Parlan menjabarkan krisis iklim semakin terasa efeknya. “Ada banyak faktor yang mempengaruhi, yang utama itu dari energi fosil. Jakarta merupakan kota yang paling banyak di keliling oleh PLTU. Potensi kerugian yang ditimbulkan oleh perubahan iklim lebih tinggi dibandingkan krisis keuangan global pada tahun 2009 dan saat pandemi 2019. Indonesia rentan akan bencana atau ancaman yang terjadi, dan berpotensi mengalami banyak kerugian akibat kenaikan suhu yang terjadi ini,” jelasnya.
Secara dampak, Global Boiling menyebabkan berbagai kerugian antara lain terjadinya banyak penyakit yang timbul, pada sektor pertanian banyak petani yang gagal panen, nelayan yang tidak bisa berlayar, pulau pulau kecil yang terancam tenggelam serta dampak khusus pada perempuan. “Ketika sumber daya alam semakin langka akibat perubahan iklim, perempuan kerap menempuh jarak yang lebih jauh dari biasanya untuk menjangkau makanan dan minuman, yang kemudian dapat membuka peluang resiko terpaparnya perempuan pada resiko kekerasan berbasis gender seperti pelecehan seksual, pelecehan fisik, dan lainnya,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, manusia sebagai khalifah fil’ard menempati posisi terpenting dalam lingkungan hidup untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemorosotan mutun serta untuk menjamin kelestariannya. “Menyelamatkan lingkungan adalah menyelamatkan generasi,” tandasnya.
Sementara, Climate & Energy Campaigner in Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menyebut sejak 2017 Polusi udara di Jakarta sudah sangat mengkhawatirkan dan perlu aksi nyata untuk mengendalikan sumbernya.
“Diperkirakan terdapat lebih dari 5,5 juta kasus penyakit yang berhubungan dengan polusi udara di Jakarta pada tahun 2010, di antaranya: Infeksi Pernapasan Akut (ISPA) sejumlah 2.450.000 kasus; jantung koroner sejumlah 1.246.000 kasus; asma sejumlah 1.211.000 kasus; pneumonia sejumlah 336.000 kasus; bronkopneumonia sejumlah 154.000 kasus; dan penyakit paru obstruktif kronis sejumlah 154.000 kasus,” bebernya.
“Estimasi biaya perawatan medis dari kasus-kasus tersebut mencapai Rp38,5 triliun. Jika memasukkan perhitungan inflasi, biaya tersebut akan setara dengan Rp60,8 triliun pada tahun 2020,” tambahnya. Sejauh ini, ia menyebut, belum ada respon yang baik dari pemangku jabatan dalam penanganan krisis iklim dan pencemaran udara. (*)