Gen Z dan Dunia Zakat

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
gen z dunia zakat

Oleh Nana Sudiana, Associate Expert Forum Zakat (Amil, Nazdhir & Direktur Akademizi)

Forum Zakat Beberapa hari yang lalu, di sejumlah platform berita, muncul sejumlah artikel terkait Gen Z. Judul-judul itu berbunyi: “Perusahaan Ramai-ramai Pecat Gen Z di 2024” (detik, 11/01/25),  sebelumnya “Ramai-Ramai Perusahaan Pecat Pekerja Gen Z, Ini 10 Alasannya” (CNBC Indonesia), “Apa yang Salah? Perusahaan Ramai-Ramai Pecat Karyawan Gen Z, Ini Alasannya!” (viva.co.id), serta sejumlah artikel lain yang hampir senada.

Di komunitas amil pun sejumlah respon bermunculan. Salah satu-nya di WAG pengurus Syarikat Amil Indonesia. Soal Gen Z ini memang unik. Sejumlah lembaga zakat merasa beruntung dengan adanya Gen Z yang bergabung di lembaga-nya. Mereka beralasan semakin mempertajam kemampuan untuk “mengulik” pasar baru dari kalangan Gen Z juga. 

Namun sebagian justru bernada agak kurang antusias, katanya, Gen Z seringkali “susah diatur” dan kurang konsisten dalam bekerja. Bahkan sejumlah orang bilang, Gen Z ini kurang setia dan loyal untuk memajukan lembaga.

Tulisan singkat ini, ingin menjawab, benarkah Gen Z sulit beradaptasi dan menjadi bagian kemajuan lembaga pengelola zakat? Atau justru lembaga-nya yang malah susah untuk membuka ruang bagi kreativitas dan inovasi dari anak-anak Gen Z yang akan berkiprah di dunia sosial dan filantropi.

Gen Z, Berkah atau Musibah?

Gen Z atau Generasi Z adalah sebutan untuk kelompok usia yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Kelompok usia ini lahir dan tumbuh di era digital, sehingga terbiasa dengan teknologi sejak kecil. Harus diakui, saat ini Gen Z menjadi kelompok generasi terbesar di Indonesia, yakni sebanyak 74,93 juta orang atau sekitar 27% dari total populasi Indonesia, sementara generasi milenial mencapai 25%. 

Banyaknya Gen Z, juga berpengaruh pada dunia kerja di Indonesia. Dampak langsung-nya adalah kini dunia kerja dipenuhi wajah-wajah baru yang berasal Gen Z. Dan hal ini tentu saja berdampak adanya perubahan besar, terutama soal cara mereka memandang pekerjaan, budaya kerja, dan lingkungan yang ideal. Anak-anak Gen Z memiliki perspektif unik tentang bekerja, dan ini berbeda dengan generasi sebelum mereka.

Gen Z saat ini bukan sekedar banyak jumlahnya, namun juga mereka faktanya berbeda dengan orang-orang di generasi sebelumnya. Gen Z dianggap generasi yang adaptif, tech-savvy, dan kreatif. Mereka juga dipandang unggul dalam lingkungan kerja yang cepat berubah.  

Pada saat yang sama, Gen Z karena lahir di dan tumbuh di era digital, mereka juga lebih mahir menggunakan teknologi dan terbiasa berkolaborasi secara virtual. Perkembangan mereka juga semakin terlihat lebih mudah menyesuaikan diri dengan dunia kerja modern yang serba digital. 

Baca juga:  Transformasi Lembaga ZISWAF dengan Pendekatan Maslahah Performa (MaP)

Gen Z, dengan karakter-nya yang mudah bergaul dan berkolaborasi seringkali cukup peduli dengan makna dan tujuan pekerjaan mereka. Mereka juga ketika mencari kerja,  cenderung mencari perusahaan yang selaras dengan nilai-nilai pribadi, seperti keberlanjutan dan tanggung jawab sosial.

Satu lagi, Gen Z ini kan semangat belajar-nya cukup tinggi, termasuk bersemangat dalam mengeksplorasi berbagai situasi baru dalam perkembangan kehidupan mereka. Bahkan semangat ini berlanjut ketika mereka bekerja,  mereka tak henti untuk terus belajar, menerima feedback, dan menerima berbagai perubahan yang cepat sekalipun. Gen Z pada dasarnya memiliki kemampuan multitasking. Dengan situasi ini, mereka pada dasarnya menjadi tenaga kerja yang dinamis dan siap berinovasi.

Dalam suatu penelitian IDN Research Institute, penghasilan rata-rata Gen Z terbilang sedikit yakni hanya sekitar Rp2,5 juta. Data yang ada juga menunjukan bahwa mayoritas Gen Z di Indonesia membelanjakan penghasilan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal, hingga transportasi.

Uniknya, ternyata Gen Z terdata lebih banyak menyisihkan uang untuk liburan dan hiburan daripada untuk kesehatan dan pengembangan diri. Hal ini beralasan bahwa Gen Z ini lebih mementingkan kesehatan mental mereka. Mereka menjadikan refreshing atau liburan sebagai sarana healing atau “penyembuhan” atas banyaknya kesibukan dan tekanan pekerjaan sehari-hari.

Gen Z dan Semangat Berbagi

Dalam penelitian soal Gen Z juga diketahui bahwa Gen Z termasuk generasi yang gemar memberikan bantuan kepada orang lain. Entah itu, zakat, Infak maupun sedekah atau wakaf. Mereka banyak yang terbiasa memberikan uang, barang, bantuan, hingga  jasa berupa keahlian mereka sebagai bagian ekspresi kepedulian mereka.

Dengan situasi seperti tadi, sebenarnya Gen Z memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari kemajuan dunia filantropi Islam, termasuk gerakan zakat dan wakaf di dalamnya. Gen Z juga akan menjadi sangat cocok untuk menjadi agen perubahan dalam filantropi Islam. 

Pada dasarnya, dengan talenta dan potensi mereka, mereka dapat menjadi agen yang kuat untuk menjadi bagian kampanye dan edukasi filantropi Islam. Dengan kebiasaan mereka menggunakan media sosial,  komunitas, dan organisasi, mereka akan semakin menguatkan suara kebaikan dan sekaligus penguat dukungan bagi peningkatan partisipasi publik dalam kegiatan amal dan aktivitas sosial lainnya. 

Gen Z juga dengan semangat berbagi dan kolaborasinya, ia dapat menunjukkan dedikasi dan dukungan bagi lembaga zakat dan wakaf untuk terus membuat perubahan bagi solusi yang diperlukan bagi problem yang muncul ditengah masyarakat.

Baca juga: Menimbang Legalitas Cryptocurrency dalam Ekonomi Islam Pendekatan Maqashid Syariah

Dengan semangat yang kuat, juga pendekatan yang tepat, bisa jadi Gen Z bisa mempelopori komunitas Gen Z lainnya untuk memperkuat partisipasi publik dalam berbagai program zakat dan wakaf. Melalui beragam kreativitas mereka, termasuk dalam platform digital zakat, mereka bisa terus meningkatkan partisipasi publik dalam sejumlah program seperti yang berfokus pada investasi sosial, seperti pemberian beasiswa pendidikan, pelatihan keterampilan, atau bantuan untuk startup sosial. 

Sejumlah Gen Z yang memilih peduli dan lalu bergabung di dunia filantropi, menyadari bahwa filantropi Islam tidak hanya sebatas persoalan dana. Mereka menyadari bahwa ada banyak orang yang bisa berpartisipasi tidak hanya sebatas menyumbangkan dana, tetapi juga bisa berupa waktu, tenaga, pikiran, dan skill. 

Atas kesadaran inilah, Gen Z yang ada di dunia filantropi kian menjadi pelengkap strategi lembaga zakat dan wakaf. Mereka dengan daya dan kemampuan terbaiknya mempelopori daya tarik publik untuk semakin menjadi bagian gerakan kebaikan yang lebih konkret.

Mereka, terus mendorong publik dan Gen Z seperti mereka untuk menginspirasi banyak generasi milenial dan gen Z untuk aktif terlibat dalam kegiatan kebaikan untuk sesama. Mereka juga dengan kesadaran penuh, menggerakkan para milenial untuk bergabung dan memberikan bantuan kepada masyarakat dhuafa yang memerlukan bantuan. 

Ada kekuatan tekad di sejumlah amil dan nadzir dari Gen Z bahwa mereka ingin terus menjadi kolaborator dalam aksi-aksi sosial dan kemanusiaan. Anak-anak Gen Z di dunia filantropi, bukan anak-anak manja, bahkan mereka juga tidak berhenti untuk terus memperjuangkan pentingnya keterlibatan generasi muda dalam dunia kebaikan berbasis zakat dan wakaf.

Ada catatan yang juga mereka miliki bahwa pada dasarnya masih banyak generasi muda yang belum mengetahui dunia zakat dan wakaf. Dengan fakta ini, Gen Z di dunia filantropi kian terpacu untuk terus memperluas spektrum idealisme mereka agar semakin banyak anak muda untuk menjadi agen perubahan di dunia amal kebaikan. Diharapkan semakin banyak generasi muda terlibat aktif dalam membangun kebaikan secara bersama-sama sehingga menciptakan dunia yang terus lebih baik. 

Tantangan OPZ dan Wakaf Menghadapi Gen Z

Di Indonesia, semangat berbuat baik bagi sesama terus menguat. Faktanya bahkan selama 7 tahun berturut-turut Indonesia menjadi negara paling dermawan di dunia menurut World Giving Index (WGI). Menurut laporan WGI 2024, 9 dari 10 orang Indonesia mendonasikan uangnya untuk beramal. 

Dibalik situasi yang baik ini, ada fakta mengejutkan yang diungkap Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, Prof. Waryono Abdul Ghafur dalam sebuah kesempatan di Yogyakarta tahun 2024 lalu, beliau mengatakan bahwa meskipun jumlah lembaga zakat dan wakaf semakin bertambah, ternyata tingkat partisipasi masyarakat masih tergolong rendah. Data yang ada mencatat baru 14% dari total populasi Muslim di Indonesia yang berzakat, dan hanya 9% yang berwakaf.

Situasi ini jelas tantangan yang tak mudah. Diperlukan sosialisasi lebih massif dan kontinyu untuk semakin menguatkan literasi zakat dan wakaf di Indonesia. Penguatan kampanye ini juga termasuk pada generasi milenial dan Gen Z. Diharapkan mereka selain tahu untuk dirinya, juga bisa menjadi motor penggerak dalam mengkampanyekan zakat dan wakaf. Diperlukan cara dan media yang tepat agar pesan kebaikan zakat dan wakaf sesuai dengan gaya, bahasa, serta tren media sosial dan digital saat ini. 

Dibalik maraknya harapan dunia zakat pada Gen Z, ternyata ada fakta-fakta mencengangkan yang menunjukan betapa dunia kerja tak cukup selalu positif menerima kehadiran Gen Z. sejumlah artikel berita menyebutkan bahwa sejumlah perusahaan dilaporkan banyak memangkas pegawai dari kalangan Gen Z sepanjang 2024.

Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Perusahaan menurut laporan terbaru Intelligent, platform konsultasi pendidikan dan karier yang melakukan survei terhadap hampir 1.000 tim HR, menemukan bahwa satu dari enam pemberi kerja enggan merekrut kalangan Gen Z. Hal ini karena reputasi mereka yang dianggap manja dan mudah tersinggung. Alasan lain yang disampaikan adalah kurangnya motivasi, kurangnya profesionalisme, serta keterampilan komunikasi yang buruk.

Baca juga: Peran Zakat Atasi Ketimpangan Sosial, Tangkal Korupsi dengan Keadilan Ekonomi

Jelas saja, informasi tadi tak bisa dianggap remeh. Di dunia filantropi, walaupun alasan tadi bisa saja cukup relevan namun pada dasarnya tidak semua Gen Z memiliki karakteristik yang seperti tadi. Dalam perkembanganya, justru bisa jadi Gen X dan Gen Y yang saat ini rata-rata menduduki level pimpinan hingga manajerial yang ada di berbagai lembaga, idealnya mereka juga harus banyak belajar untuk bisa melakukan pendekatan secara adaptif terhadap Gen Z yang tak lama lagi akan semakin berperan penting, dan bahkan secara jumlah bisa mendominasi dunia kerja.

Ke depan diperlukan kemampuan lembaga filantropi, termasuk OPZ untuk beradaptasi dengan budaya kerja Gen Z. Di antara adaptasi itu misalnya penyesuaian dalam penerapan kebijakan kerja yang terlalu ketat dan hierarkis yang cenderung kaku. OPZ harus siap untuk lebih fleksibel dan terbuka agar bisa merangkul Gen Z ini. Bagi OPZ yang berhasil melakukan hal tersebut, hasilnya bisa sangat positif: produktivitas yang lebih tinggi, ide-ide segar, dan inovasi yang lebih cepat.

Untuk mempertahankan Gen Z, OPZ juga perlu menciptakan program pengembangan karir yang jelas dan menarik. Gen Z sangat menghargai kesempatan untuk belajar hal baru dan meningkatkan keterampilan mereka. Jadi, program pelatihan, kesempatan mentoring, atau jalur karir yang transparan bisa membuat mereka merasa dihargai dan lebih betah di perusahaan.

Pada perkembangan-nya, Gen Z juga sangat mendukung keberagaman mereka berharap bisa bekerja di lingkungan yang inklusif, di mana setiap orang diterima tanpa memandang latar belakang, ras, atau gender. Budaya kerja yang inklusif menjadi daya tarik tersendiri dan membangun rasa memiliki yang lebih kuat bagi Gen Z.

Sejumlah korporasi atau perusahaan yang diimpikan Gen Z, yang mampu menerapkan budaya kerja yang sesuai dengan karakter mereka ternyata adalah perusahaan teknologi yang sudah mengadopsi sistem kerja jarak jauh, memiliki visi sosial yang kuat, dan menawarkan program pengembangan karir yang fleksibel. Di situasi seperti itulah Gen Z merasa dilibatkan, dihargai, dan bisa memberikan kontribusi sesuai dengan apa yang mereka yakini.

Ke depan, seluruh OPZ yang ingin “berdamai” dengan Gen Z harus bersedia menyiapkan sistem kerja yang fleksibel. Diharapkan hal ini jika diterapkan mampu mendukung produktivitas, dan meningkatkan keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi. Fleksibilitas juga bisa diterapkan dalam beberapa alternatif seperti flextime (penyesuaian jam masuk dan pulang kerja), kerja dari rumah (work from home), kerja dari kampung halaman (Work From Home Base), Flexible Working Space (FWS) yang memungkinkan amil dapat bekerja dari tempat lain yang ditetapkan sebelumnya, atau hybrid working yang mengkombinasikan kerja di kantor dan di rumah.

Kebijakan-kebijakan tadi, memungkinkan amil dari Gen Z untuk menyelesaikan pekerjaan mereka di luar jam kerja konvensional atau dari lokasi yang lebih nyaman, asalkan target kinerja tetap tercapai dan sesuai standar pelayanan terhadap stakeholders OPZ. Untuk menjaga efektivitas kerja, OPZ juga idealnya mampu memanfaatkan teknologi kolaborasi digital, seperti aplikasi komunikasi internal dan manajemen dokumen daring, yang memudahkan koordinasi dan akses informasi di mana pun. Dengan adanya sistem kerja fleksibel ini, OPZ bisa tetap responsif terhadap perubahan kebutuhan amil mereka. Juga saat yang sama mampu meningkatkan kesejahteraan amil-nya, termasuk yang berkategori Gen Z.

Bagi OPZ yang ingin sukses di tengah menguatnya jumlah dan peran Gen Z di dunia kerja, ia harus makin adaptif. Bahkan tak cukup hanya sekadar melakukan perubahan dalam jam kerja atau lingkungan fisik saja. OPZ juga harus memiliki cara pandang baru tentang apa yang benar-benar berarti dalam bekerja. Fleksibilitas, kebermaknaan, transparansi, dan rasa saling menghargai adalah kunci membangun tempat kerja yang sesuai dengan harapan Gen Z.

Akhirnya, bagi OPZ yang sanggup beradaptasi, ini akan menjadi OPZ yang sangat efektif untuk menarik talenta muda Gen Z yang penuh semangat. Mereka diharapkan akan mampu membawa kesuksesan dan dampak positif bagi OPZ.