Catatan Perjalanan Sekjen Forum Zakat(FOZ) Nasional, Muhammad Sabeth Abilawa di Turki
Ini kali keempat saya menginjakkan kaki di Istanbul, kota yang selalu nampak indah dan unik di mata saya bukan saja karena terletak di dua benua Asia dan Eropa tapi juga dalam arti yang sebenarnya mewakili perpaduan yang harmonis antara timur dan barat. Saya teringat dulu ada sebuah slogan terkenal yang sering diteriakan aktivis muslim “Laa Syarkiyah Wa Laa Ghorbiyah, Islamiyah Islamiyah (Bukanlah timur dan bukan pula Barat, tapi Islam)”, Istanbul malahan berkebalikan dengan slogan itu itu bahkan mewakili ketiganya. Ia adalah Syarkiyah (timur), pun juga Ghorbiyah (Barat) sekaligus Islamiyah (Islam). Istanbul masih mewarisi kebesaran Konstantinopel (Ibukota Romawi Timur) juga tak luntur sisa sisa spirit kekhalifahan Utsmaniyah.
Sepanjang perjalanan tak nampak gegap gempita dan pawai menyambut kemenangan AK Party yang memborong setengah kursi parlemen Turki. Entah karena sudah usai luapan kegembiraan itu atau mungkin juga sesuatu yang sudah diduga oleh sebagian besar rakyat Turki sehingga tak perlu dirayakan atau bisa jadi juga karena “kethawadu’an” AKP yang tak suka hura hura. Bukankah kemenangan politik tidak sama dengan kemenangan sebuah pertandingan bola? Disinilah terlihat betapa dewasanya AKP berpolitik. Yang Nampak hanyalah poster poster ucapan terimakasih dari tokoh tokoh AKP kepada warga Istanbul atas dukungan yang diberikan.
Kalau dulu saya ke Turki untuk menunaikan misi relief dan kemanusiaan, kehadiran saya sekarang ini atas undangan dan fasilitas yang diberikan oleh IHH İnsani Yardım Vakfı, lembaga kemanusiaan di Turki. Bersama dengan 40 peserta lain dari berbagai negara kami berkumpul dengan tajuk International Student Council. Saya pikir awalnya peserta dari kalangan mahasiswa mahasiswa Internasional saja, tak tahunya banyak yang sudah sepuh, para akademisi, dan ulama pemimpin lembaga lembaga dakwah dari berbagai negara dimana Muslim adalah minoritas.
IHH adalah satu fenomena menarik di dunia NGO Islam. Didirikan tahun 1992, berawal dari kepedulian masyarakat muslim di Turki saat pecah perang Bosnia , lembaga ini kemudian berkembang pesat dan melakukan banyak sekali terobosan dan aksi kemanusiaan di berbagai negara. Tentu masih teringat bagaimana Freedom Flotilla sebuah konvoi kapal kemanusiaan berlayar menuju Gaza ditembaki tentara Israel di Tahun 2010. Ini adalah gagasan perlawanan yang cerdas dari lembaga lembaga kemanusiaan yang dimotori IHH terhadap blokade Israel terhadap Gaza.
Di tengah gagalnya perlawanan bersenjata Negara Negara Arab dan perundingan perundingan politik pemimpin pemimpin arab tiba tiba ada yang menawarkan perlawanan nir senjata, nir kekerasan terhadap Israel dari lembaga kemanusiaan pula. Tragedi Mavi Marmara, yang meskipun gagal mencapai daratan Gaza hingga hari ini masih berlangsung sidang gugatan pidana internasional nya dan telah memberi banyak pelajaran kepada Israel.
Di usianya yang ke 23, IHH mengklaim telah melakukan aksi kemanusiaan di 140 Negara, didukung oleh lebih dari 500 staff professional yang bekerja full time, dan mengelola dana publik sebesar 500.000.000 Turkish Lira (2,3 Trilyun Rupiah) pertahun. Jumlah yang lumayan banyak untuk ukuran sebuah lembaga kemanusiaan yang sumber dayanya dari kedermawanan masyarakat.
Huseyn Oruc, vice president IHH di sessi dialog bersama peserta menyampaikan pada dasarnya IHH dibangun atas 3 pilar. Relief sebagai landasan pertama dari aksi aksi IHH, dimana seluruh gerakan IHH adalah misi kemanusiaan yang universal. Sejarah IHH tak bisa dilepaskan dari derita rakyat Bosnia saat mengalami Genosida dari etnis Serbia. Maka gerakan relief yang memiliki perbedaan konsep dengan mentalitas barat harus digelorakan di tengah tengah ummat islam. Oruc mengatakan tidaklah penting seberapa besar yang kita berikan untuk korban korban kemanusiaan tersebut yang lebih penting adalah kehadiran kita yang menjadi pelipur duka mereka apalagi saat ini sebagian besar kalau tak ingin mengatakan hamper semua konflik kemanusiaan dan perang sipil terjadi di negara negara muslim, pastilah ummat islam juga yang menjadi korbannya. Inilah yang menggelorakan IHH hadir di setiap sudut sudut konflik dan derita muslim minoritas yang jauh dari jangkauan.
Pilar kedua adalah Advokasi dan Human Rights. Memang relief itu penting, tapi tidak cukup untuk keberlangsungan hidup jangka panjang. “Yang diperlukan dalam jangka panjang sejatinya adalah membantu menyuarakan kepentingan korban konflik untuk membuka mata dunia agar kebebasan dan lepas dari penderitaan hadir di tengah tengah mereka. Kita perlu bersuara tentang Palestina, Syiria, Afrika Tengah, Rohingya, Pattani, dan nasib Bangsa Moro, bukan sekedar memberi mereka makanan dan selimut di musim dingin” kata Oruc.
Pilar terakhir adalah Humanitarian Diplomacy (Diplomasi kemanusiaan). Lembaga lembaga kemanusiaan Islam harus terlibat bukan hanya merespon keadaan pasca kejadian di tingkat akar rumput tapi juga seharusnya memainkan peranan penting sesuai titah dalam Al Qur’an, ummatan wasathan (wasit, penyaksi, pendamai). Peran Peace Building lembaga lembaga kemanusiaan masih minim dirasakan, entah karena merasa disitu adalah peran Negara atau karena memang belum sampai kapasitasnya.
Saat saya ajukan pertanyaan tentang apakah IHH ada kemungkinan membuka cabang cabangnya di berbagai negara. Cabang yang benar benar membawa nama IHH bukan sekedar relief project yang temporer, dengan lugas Oruc mengatakan bahwa IHH memegang prinsip tidak akan membuka cabang dimana mana. Cukup menumbuh kembangkan kader kader lokal yang akan membangun sendiri lembaganya dan membesarkannya, IHH akan mensuport di awal saja jika diperlukan. Membuka cabang cabang di negara negara muslim yang sudah mapan tradisi civil society nya hanya akan membuka peta “kompetisi” dan menambah beban masalah saja.Lebih baik bekerjasama. Bahkan dengan berseloroh dia menyebut kalau IHH membuka cabang di Indonesia, padahal sudah ada Dompet Dhuafa dengan urusan yang kurang lebih sama maka bagaimana mungkin nanti kita bisa bekerjasama lebih erat?
Bagi lembaga lembaga kemanusiaan Islam khususnya di Indonesia, IHH bisa dijadikan benchmarking. Bagi para aktivis politik yang mengusung Islam sebagai tawaran, AK party juga bisa dijadikan role model tentang bagaimana mengelola negara dan rakyat yang majemuk. Bukankah tantangan dunia Islam saat ini adalah merajut kekuatan diantara ummat islam sendiri . Merobohkan tiran adalah satu hal, hal lain yang belum terbukti adalah mengawal supremasi sipil dan mengantarkan demokrasi tanpa ada pertumpahan darah. Cukup sudah pelajaran dari Libia, Mesir, Syiria dan Yaman yang memberikan gambaran betapa sulitnya mengamalkan ukhuwah islamiyah itu dibanding mengkhotbahkannya. Turki dan Indonesia sudah hampir melalui tahapan itu, tinggal kita berlomba mana yang lebih dulu membawa kesejahteraan dan kedamaian bagi masyarakat.
Dan bagi para pegiat dakwah, model Turki juga boleh dilirik sebagai alternatif, jumlah penduduknya yang besar, kemajemukannya, relasi antara negara dan agama, GDP dan perekonomiannya adalah variabel variabel yang tak jauh berbeda kondisinya dengan Indonesia.
Turki adalah Blue Ocean dalam peta kontestasi dunia Islam saat ini. Kontestasi yang sudah memasuki tahap samudera merah yang berdarah darah. Ya Turki adalah samudera birunya, Birunya sebiru Laut Marmara dan setenang selat Bosporus yang memisahkan Asia dan Eropa.[]