Bagi Eka Suwandi, pengalamannya menjadi relawan DMC menjadi sempurna saat ia bekerjasama dengan tim gabungan dalam misi evakuasi pesawat Sukhoi yang beberapa waktu lalu menabrak Gunung Salak, Sukabumi.
Buat ia, pengalaman tersebut amat baru. Baru kali itu ia mengikuti operasi SAR sungguhan. Baginya, sensasinya sungguh berbeda dengan proses penyelamatan banjir yang sering ia ikuti. Operasi SAR Sukhoi lebih menantang dan mendebarkan baginya.
Sensasi itu muncul bukan hanya karena karena Gunung Salak adalah tempat baru dalam pengalamannya menjadi relawan. Tapi lebih karena memang operasi penyelematan itu begitu dramatis dan mengenaskan.
“Di situ, baru pertama kali yang namanya melihat mayat yang kondisi badannya sudah tidak utuh,” ujar Eka.
Hanya dalam operasi penyelamatan itu ia menemukan banyak kondisi mayat yang mengenaskan. Tabrakan pesawat Sukhoi buatan Rusia dengan Gunung Salak tak hanya memisahkan raga dengan jiwa. Tapi turut memisahkan kepala dengan badan. Tangan dengan badan. Kaki harus kehilangan kawannya yang lain.
Melihat keadaan itu, Eka pun mencoba untuk menahan rasa mual yang mendatanginya seiring dengan ditemukannya serpihan demi serpihan daging korban. Ia mengakui, semua itu adalah pengalaman pertamanya.
Kondisi itu diperparah dengan lokasi medan evakuasi yang terjal. Menurut pengakuannya, sulit dan bahkan mustahil menjangkau mayat-mayat yang berada dalam kondisi kemiringan 60 derajat. “Kondisi itu mempersulit proses memasukan mayat ke kantong plastik.”
Untuk itu, skill dan peralatan khusus menjadi wajib hukumnya. Bahkan dalam keadaan seperti itu, kemampuan tentang pemahaman kontur medan bisa menyelamatkan nyawa relawan. Bagaimana tidak, jika seseorang tidak bisa membedakan mana tanah gembur, mana tanah padat maka bisa saja proses evakuasi di tebing itu malah menambah korban jiwa dari pihak relawan.
Karena posisi mayat yang sulit, hampir kebanyakan mayat harus diangkut dengan menggunakan tali pengaman bagi relawan. Kondisi mayat makin memburuk. Bau busuk pun mulai memasuki rongga-rongga hidung. Tak sedikit mayat yang mulai mengeluarkan cairan-cairan.
Sayangnya, kondisi ini tidak dipersiapkan oleh sebagian relawan. Mereka tidak mempersiapkan sarung tangan dalam mengevakuasi mayat. Padahal kondisi mayat sudah mulai membusuk. Padahal dalam standar pelaksanaannya, para relawan harus siap dengan segala kondisi. Dan yang paling penting tidak membahayakan keadaan para relawan. “Kalau kita membawa sarung tangan lebih pasti akan kita bagikan.”
Ketika proses evakuasi itu, ada peristiwa yang membuat Eka mengernyitkan dahi. Mayat yang dibungkus harus dilempar-lempar karena kondisi lokasi yang memang sulit. Bagi Eka, yang kebetulan membawa tali, maka hal itu pun ia gunakan untuk mengangkut mayat-mayat ke atas. “Ngeliatnya ngenes liat mayat dilempar-lempar.”
Walau tidak banyak, dengan bantuan alat tali itu, Eka bersama tim yang lain, mampu membawa sekitar 5 mayat dari total 18 mayat.
Dalam catatan Eka, proses evakuasi yang dilakukan dengan bekerjasama TNI dan BASARNAS adalah salah satu kesempatan baginya untuk merasakan hempasan angin yang dihasilkan oleh baling-baling helikopter Puma milik TNI yang mengirimkan bantuan logistik. “Tenda-tenda beterbangan,” kata Eka.[]
Berbagi di Daerah Konflik
Bagi Achmad Riyadi, mendapat tugas ke Suriah adalah tugas yang mendebarkan dan menegangkan. Bukan hanya nama Suriah sebagai negara di luar negeri, tapi karena Suriah juga sedang dilanda konflik berkepanjangan.
Setelah mendapatkan mandat untuk berangkat dan menyalurkan bantuan ke sana. Achmad pun diminta untuk mengurusi semua perencanaan. Di wilayah yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak pernah hadir dalam bayangannya. Dari mulai anggaran, kesiapan lokasi dan lain-lain. “Kendalanya saat itu saya tidak punya kontak sama sekali. Dan saya diminta untuk mencari kontak sebanyak-banyaknya. Terserah dari NGO mana,” kata Achmad.
Tadinya Achmad dan tim berencana berangkat bersama lembaga lain seperti PKPU, BSMI, ACT dan lainnya. Lembaga lainnya memang sengaja diundang oleh Kementerian Sosial untuk bergabung dengan mereka dalam aksi pemberian bantuan ke Suriah. “Tapi ternyata, dari surat kawat yang sudah dikirimkan harus menunggu cukup lama.”
Dalam menyusun rencana perjalanan itu, Achmad mendapat saran untuk masuk Suriah melewati Turki. Bukan hanya perkara keamanan. Tapi Turki adalah negara terdekat dan termudah untuk disinggahi. “Visanya on arrival.”
Dan memang sepertinya, takdir pun memudahkan niat orang-orang baik. Ketika lelaki yang biasa dipanggil Kelink oleh kawan-kawan DMC DD itu membuka Facebook, ia mendapat informasi bahwa ada perkumpulan mahasiswa Indonesia di Turki yang tergabung dalam nama PPPI. Setelah mendapat kontak dari PPPI, Achmad pun mulai menyusun rencana perjalanan. Dan semua itu dilakukan dengan menggunakan telepon dari Indonesia.
Bagi Achmad, Turki memang indah dan menakjubkan. Tapi hampir kebanyakan orang di sana tidak bisa berbahasa Inggris. Tapi Achmad dan tim tidak lama-lama di Turki, dengan ditemani oleh pemuda PPPI, mereka pun langsung menuju Gaziantep. Sebuah daerah yang dekat dan teraman dengan Turki.
Dari sana, Achmad merencanakan untuk ke Hatai, Kili dan Nizip. Sebelum menuju kesini, Achmad dan tim pun harus menetap di salah satu apartemen milik mahasiswa Turki, namanya Ahmed. Uniknya, Ahmed ini pandai berbahasa Indonesia.
Dalam memberikan bantuan, Achmad bekerjasama dengan lembaga Kimsiyokmu. Kimsiyokmu ini adalah lembaga Islam yang juga memberikan bantuan. Kimsiyokmu bertugas mengarahkan dan memberitahu lokasi-lokasi yang harus dibantu.
Ketika mendatangi Hatai, Achmad dibuat kagum dengan sikap perempuan-perempuan disana. Mereka tidak mengizinkan dirinya untuk difoto jika tak ada suami mereka. Pembagian bantuan pun hanya sampai di batas pintu rumah. “Pengungsi di sana, kebanyakan tinggal di rumah penduduk, bunker, atau bahkan toko pun ditempatkan ramai-ramai oleh pengungsi.”
Walaupun dalam suasana perang, tempat pengungsian rata-rata terpenuhi segala kebutuhan dasarnya. Kimsiyoku bersama otoritas setempat telah mendirikan rumah sakit, dapur, dan beberapa rumah untuk pengungsian.
Achmad pun juga menceritakan tentang zona aman. Katanya, di zona ini biasanya ada 8 truk dari Turki sebanyak 8 buah masuk ke zona aman. Jadi barang bantuan itu akan diturunkan disitu tanpa ada kordinasi atau apapun.
“Jadi ditaruh di lapangan besar, siapapun yang mau ambil, silahkan ambil. Truk itu menurunkan bantuan langsung pulang lagi. Karena resiko kalau dibagikan dengan mendata cukup berat. Jadi, prosesnya hanya truk masuk, turunin barang dan keluar lagi.”
Achmad yang datang bersama tim, membeli kebutuhan untuk bantuan di Turki untuk dibagikan ke pengungsi Suriah. Baginya cara itu lebih mudah dan lebih efisien. Seumur hidup, baru kali ini Achmad melihat langsung korban dari senjata kimia. Beberapa anak yang ditemuinya tidak dapat membuka matanya lebar-lebar. “Menyedihkan,” pungkasnya.