Disrupsi Pada Filantropi, Amil Harus Apa ?

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Selamat datang dan berjuang di dunia filantropi era 4.0

Di era revolusi industri 4.0 ini, kata disrupsi tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita semua. Banyak perusahaan dan sebagian besar lembaga kini sudah semakin sadar akan dampak serius dari disrupsi ini. Kasus panasnya isu transportasi konvensional versus transportasi online beberapa tahun lalu, semakin membuat mereka sadar dan berusaha untuk segera menyesuaikan dengan zaman khususnya disrupsi ini.

Dan tentunya disrupsi ini tidak hanya menyasar kepada perusahan atau lembaga komersial (profit) saja, namun ia juga lambat laun akan menyasar pada aktifitas filantropi (nonprofit/nirlaba), benarkah ?

Menurut data yang diambil dari Statistik Fintech Otoritas Jasa Keuangan 2019 bahwa jumlah pelaku fintech per 31 Desember adalah berjumlah 126 dengan rincian fintech konvensional berjumlah 152 dan fintech syariah sebesar 12.

Adapun pada kegiatan filantropi menurut penelusuran pada laman detik, tercatat bahwa jumlah donasi yang berhasil oleh plattform Social Crowdfunding digital adalah Rp 257 milyar. Dari data ini menggambarkan bahwa kegiatan financial maupun filantropi melalui platform digital sudah semakin berkembang dan kian hari semakin diminati.

Selain itu, di era revolusi industri 4.0 , ternyata kemudahan dan perubahan tidak hanya menyasar kepada transaksi keuangan saja, melainkan juga menyasar kepada transaksi kedermawanan (charity). Namun, adanya puluhan startup yang menghimpun dana kebaikan (charity) secara crowdfunding berbasis digital di sisi lain bisa menjadi ancaman bagi lembaga nirlaba yang tetap keukeuh untuk melakukan kegiatan keseluruhannya secara konvensional (offline).

Pada awalnya mungkin diantara kita tidak ada yang merasakan. Kemudian beberapa  menunjukan perubahan, dan akhirnya anjloklah kegiatan penghimpunan. Lalu bagaimana dengan lembaga zakat ? Apakah hal diatas umum terhadap keseluruhan filantropi atau hanya berlaku kepada filantropi selain religi ?

Jawabannya adalah “iya”. Di saat aktifitas semakin padat, fitur semakin beragam, dan ada pilihan kemudahan yang lebih cepat. Bisa jadi muzzaki-muzzaki lembaga zakat khususnya mayoritas millenial yang menyukai transaksi kedermawanan secara cepat, praktis akan “berpaling” kepada plattform digital. Hal ini tentu haruslah direspon secara serius baik pada tataran top management maupun pada tataran grass root lembaga. Apalagi millenial dan generasi “Z” kelak akan menggantikan generasi hari ini. Mereka seluruhnya akan menjadi pemimpin bangsa, pemangku kebijakan, anggota dewan, dan yang paling utama adalah muzzaki (donatur) lembaga zakat. Lantas apa yang bisa dilakukan oleh sebuah lembaga amil zakat maupun amil secara individu ?

Untuk merespon disrupsi pada lembaga filantropi, setidaknya ada 6 hal yang harus dilakukan lembaga zakat agar tetap survive dalam menghadapi disrupsi.

Pertama adakanlah kaderisasi bagi amil millennial untuk meningkatkan kapaibilitas dan daya saing (competitiveness). Hal ini penting dilakukan agar para millennial pada lembaga zakat semakin siap untuk menjadi pemimpin zakat di masa depan. Implementasi mudah dari hal ini adalah bisa melalui pemberian short course kepada amil muda atau mengadakan kelas Officer Development Program atau Management Trainee layaknya yang dilakukan korporasi dan start up kepada milenialnya. Tentunya dengan dibarengi oleh career path yang jelas dan telah terancang. Hal ini tidak terlepas dari sifat millennial yang ingin berlari cepat dan mudah sekali jenuh sehingga mengakibatkan turn over yang tinggi pada saat kerja.

Kedua, berikanlah peran dan kepercayaan lebih kepada amil muda (millennial). Seperti memberikan amanah project, mengikutsertakan mereka dalam perencanaan strategis lembaga dan lainnya. Hal ini karena para millenial cenderung lebih senang beraktuaktualisasi (actualization) dan berkreasi (creation). Jangan cepat menyalahkan mereka disaat ada ketidaksesuaian dan kesalahan, berikan waktu untuk berdiskusi dengan mereka sejenak, berikan tauladan kepada mereka agar menjadi pemimpin masa depan dan teruslah lakukan learning by doing kepada mereka.

Ketiga , perkuatlah kepercayaan  (trust) lembaga zakat maupun seorang amil kepada para stakeholder. Karena dengan hal itulah modal sosial menjadi tumbuh dan kepercayaan menjadi meningkat. Suatu hal penting bagi sebuah lembaga nirlaba agar semakin suistain dalam menjalankan aktivitasnya ke depan. Serta menjaga prinsip lembaga sesuai dengan nilai pada Al Quran. “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya” (QS Al Mukminun :8).

Keempat perbanyaklah kolaborasi dan jejaring antar lembaga maupun antar individu (connection). Dengan berlimpahnya fasilitas digital tentunya ini memudahkan bagi kita untuk banyak berjejaring dan saling “kenal”. Jadilah lembaga yang memiliki corporate branding dan amil yang memiliki personal branding yang baik dan luas. Salah satunya bisa dengan membuka banyak kebermanfaatan melalui beragam fitur chaneling pembayaran seperti e money, e wallet, QR barcode, Virtual Pay dll. Serta membuka akun media sosial seperti membuat akun instagram, youtube dan linkedin.

Kelima, ajaklah lembaga maupun setiap individu untuk melek dan terbuka pada perubahan (innovation and improvement) khususnya hal digital dan millenial. Bisa meniru seperti berbagai start up digital dengan membuat nuansa dan kebijakan millenial ataupun seperti korporasi besar yang memberikan millenial room serta flexibilitas kebijakan bagi karyawan mudanya.

Keenam, jika di dunia fintech maupun start up digital kita sering mengenal istilah konsep sharing economy. Maka dalam dunia filantropi kita bisa menggunakan konsep sejenis yang bernama ekonomi sillaturrahim maupun ekonomi ukhuwah. Dengan mengadopsi konsep sharing economy sebuah lembaga menjadi lebih efektif dan efisien dalam melakukan kegiatan oerasionalnya. Selain itu, dengan konsep sharing economy, lembaga zakat dapat memberdayakan banyak pihak (orang) serta bisa juga sebagai empowerment_dalam menciptakan _transformation mustahik menjadi muzzaki. Hal ini nyata seperti yang sudah dilakukan oleh start up digital. Dari sharing economy pengangguran berkurang, dan kemiskinan dapat dientaskan.

Itulah mungkin beberapa point realita yang juga menjadi tantangan bagi kita di filantropi khususnya pada lembaga zakat.

“Dunia dan manusia terus berubah setiap saat. Maka siapkanlah perubahan itu dengan cara yang tepat. Jangan  sampai tindakanmu terlambat, karena siapa yang tak cepat dan tepat maka bersiaplah untuk tertinggal.”

Ditulis oleh Muhammad Taufiq BNP, Staf Pendistribusian dan Pendayagunaan Mandiri Amal Insani (MAI)