Kisah Negeri Gung Pinto

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Ruangan itu lebih mirip los tempat menyimpan padi dan palawija ketimbang madrasah atau majelis taklim. Lantainya semen yang sudah rusak parah. Dinding kayu setinggi tiga meter, disambung jendela kawat yang membalut seluruh kujur bangunan renta itu.

Bangunan seluas 8 x 15 meter itu berfungsi sebagai madrasah tempat anak-anak belajar agama, taman pendidikan Al-Quran, dan kadang juga digunakan untuk pengajian para orang tua. Saat sholat Idul Fitri dan Idul Adha, ruangan itu penuh diisi jamaah perempuan.

Dinding kayu bangunan itu dicat warna putih, namun sudah kusam. “Ini cat diambil dari kapur yang ditambang di hutan. Jadi alami. Sudah 20 tahun tidak diganti,” kata Herman Ginting, penduduk Gung Pinto.

Di samping bangunan kayu itu berdiri Masjid Taqwa, dibangun pada 1994 atas wakaf dari keluarga Haji Mohammad Arbie, seorang pengusaha hotel di Kota Medan. Haji Arbie juga mewakafkan tanah seluas satu hektare yang mengelilingi masjid. Tanah itu sekarang masih berupa ladang dan belum dibangun apa pun.

Desa Gung Pinto tidak terlalu luas.Penduduk Gung Pinto ada 700-an orang. Mereka bermata pencaharian hampir seluruhnya sebagai petani ladang. Komoditas yang ditanam sepanjang jalan dan sejauh mata memandang ada sayur dan buah. Ada kentang, kubis, wortel, tomat, juga jeruk madu yang terkenal manisnya.

Hampir semuanya penduduknya muslim, padahal sekitar desa itu masih banyak yang menganut kepercayaan lama atau beragama Nasrani. Menurut Zulkarnaen Ginting, salah satu warga yang juga jamaah masjid, keislaman warga desa masih melekat. “Namun, perlu dibantu dai dan ustadz lagi,” kata lelaki yang memelihara jenggot tebal ini.

Kisahnya dimulai tahun tujuhpuluhan. Sejak dahulu, penduduk Gung Pinto, sama dengan desa-desa lainnya di lereng Gunung Sinabung, masih menganut agama perbego atau parmalim. Yaitu agama awal yang dianut oleh banyak orang Batak Karo, mereka menyembah pohon, gunung dan batu
Sebelum orang karo menganut a Islam, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.

Zulkarnaen bercerita, saat itu ada seorang perempuan warga Gong Pinto yang merantau ke Kabanjahe karena mendapatkan suami orang sana, dia mengikuti suaminya. Tak dinyana, perempuan itu mendapat musibah, dia ditemukan telah meninggal di sebuah tempat. Bahkan jenazah sudah membusuk.

Sesuai adat Karo, jenazah harus dibawa pulang ke Gong Pinto. Bayangkan kondisi desa Gong Pinto yang terletak hanya lima kilometer dari puncak Gunung Sinabung. Jalan menuju ke desa itu tidak sebagus sekarang, dari Brastagi dulu juga susah. Posisinya berjarak sekitar 30 kilometer dari Kabanjahe, ibukota Tanah Karo. Saat itu daerahnya masih berupa hutan belantara, berbukit-bukit, dan hanya jalan setapak.

“Mikirlah kayak mana bawanya. Sudah busuk, jauh pula. Betapa sulitnya membawa jenazah pulang berjalan kaki ke Gong Pinto,” ujar Zulkarnaen.
Tapi, penduduk Gung Pinto tidak jadi membawa jenazah itu sendiri. Ternyata ada seorang imam masjid Kabanjahe yang bersedia mengurus jenazah perempuan itu. Pasalnya, dalam kolom KTP jenazah tertulis agama Islam. “Ya sudah kami urus saja karena dia saudara kami,” kata Zulkarnaen menirukan ucapan sang imam. “Apa nggak senang sekali orang kampung. Diuruskan jenazahnya.”

Jamaah masjid itu lalu mengurus pemulasaraan jenazah, memandikan, mengafani dan menyolatkan jenazah. Lalu mengantar jenazah hingga ke Gung Pinto yang jaraknya jauh dan medannya sulit.

Bagi orang Gung Pinto, itulah awal perkenalan mereka dengan komunitas muslim. Ditambah lagi, setelah itu, ada seorang dai yang rutin mendatangi Gung Pinto untuk mengenalkan Islam dan membimbing yang bersedia masuk Islam. “Namanya ustadz Ibrahim Latif. Dia dari Medan naik vespa sehari-hari kalau ke sini. Masuk ke kampung-kampung di sekitar lereng Sinabung ini,” ujar Herman Ginting, penduduk Gung Pinto.

Akhirnya, pada 1975 seluruh penduduk Gung Pinto bersyahadat. Mereka menjadi satu-satunya desa dengan 100 persen penduduk muslim. “Di simpang jalan masuk desa dulu kita pasang plang besi bertuliskan Perkampungan Muslim Gung Pinto,” kata Zulkarnaen.

Di Tanah Karo ada pesta tahunan setiap panen raya, biasa disebut Nimpa Bunga Benih. Waktunya dua hari dua malam. Banyak perayaan yang tidak Islami. Nah, di Gung Pinto, pesta tahunan sudah bisa dipindah waktunya bersama dengan Idul Fitri. “Jadi, pesta tahunan kita ya hari raya Islam itu. Diisi dengan pesta makanan halal, perayaan takbiran dan silaturahmi,” kata Zulkarnaen yang aktif bersama Jamaah Tabligh melakukan khuruj keliling Karo.

Dulu di balik bukit Gung Pinti, ada desa yang pernah mayoritas muslim. Tapi kini tinggal satu orang yang mengaku Islam, itu pun sudah 25 tahun tidak pernah sholat. Zulkarnaen pernah berdakwah ke sana. “Yang menyambut kita dengan baik untuk membuat taklim adalah kepala desa yang justru beragama Nasrani. Toleransi sangat tinggi di sini,” katanya.[]