“Selamat Datang di Bumi Kepingan Surga” demikian slogan masyarakat Kabupaten Samosir, daerah pinggiran Danau Toba.
Kepercayaan diri slogan tersebut memang beralasan. Mau dipandang dari sisi manapun selalu terlihat cantik. Cantiknya berbeda-beda. Bagi anda yang mabuk darat, perjalanan kesana akan membuat mual. Jalan berliku dan terjal. Menaik menurun. Tapi begitu melihat danau terhampar, segera mabuk darat bertukar menjadi mabuk cinta.
Tahun 2019. Pertama kalinya kampung Torpuk Sihotang, Kecamatan Harian Boho, Samosir mendapat qurban dari Medan.
Masyarakatnya rata-rata bertani. Tak sedikit juga yang punya tambak ikan nila. Modalnya hanya kerambah yang dibuat dari tong bekas. Ditebar jaring. Ikan nila gemuk seketika. Air danau ini kaya mineral. Maklum, dulunya danau ini gunung berapi. Ikan nila Danau Toba diekspor sampai Eropa. Diambil dagingnya saja. Tulang-tulangnya dijual di pasar lokal.
Sebagian penduduknya punya ladang kemiri. Buah kemiri matang ditunggu jatuh. Namanya kemiri basah. Proses penjemuran dan pengeringannya memakan waktu seminggu. Itupun kalau cuaca panas. Setelah dapat kemiri kering, dijual hanya 6000 rupiah per kilo.
Ada 40 KK muslim di kampung Torpuk. Kesemuanya dibawah binaan Ustadz Faisal Amin, seorang perantau melayu asal Kabupaten Batubara. Jauh-jauh Ustadz Faisal merantau dengan keluarganya. Pernah juga adik iparnya dibawa serta. Disekolahkan disana. Tapi tak bertahan lama. Sebab tidak dibenarkan untuk sholat Jum’at. Demikian sekelumit tantangan berdakwah Ustadz Faisal.
* * *
Ada yang menarik kurban disini. Daging tak dibagi-bagi per keluarga layaknya di kota. Tapi dimasak dan dimakan bersama di mesjid. Dimasak gulai dan ‘sombam’ (panggang) ala Batubara. Tak hanya warga tempatan, perantau yang sedang mudik pun kebagian.
Ustadz Faisal membina beberapa kampung di pinggiran Danau Toba. Warga Desa Tele juga diundang. Desa Tele salah satu tempat wisata populer di Danau Toba. Di kampung ini terdapat Menara Tele. Memandang Danau Toba menjadi lebih lengkap dari sini. Kelihatan Gunung Pusuk Buhit, hamparan sawah dan danau yang luas dibawahnya.
Waktu tempuh dari Tele ke Torpuk memakan masa 45 menit. Ada 5 KK warga Tele yang datang. Tahun lalu, kurang lebih 100 orang menikmati bersama seekor kambing pekurban Ulil Albab.
“Kalau yang menghantar ikhlas, mudah-mudahan cukup semua,” demikian Ustadz Faisal. Kami tahu, betapa jauh-jauh saudara kami datang dari Medan. Tentu saja persiapan ini memakan waktu yang lama. Setidaknya warga kami jadi mengerti. Betapa kurban mampu mengeratkan persaudaraan. Yang jauh menjadi dekat. (*)