Meng-Upgrade Amil Zakat

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Oleh:  Agung Sasongko*

Potensi zakat Indonesia begitu luar biasa besar. Data dilansir Baznas menyebutkan, di Indonesia potensi zakat sebesar Rp.217 triliun. Setiap tahunnya pengumpulan zakat terus mengalami peningkatan. Pada 2016, zakat yang diperoleh sekitar Rp. 217 triliun dan terakhir pada 2017 mencapai Rp.6,22 triliun atau meningkat 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Besarnya potensi ini tentu membutuhkan kesiapan. Mulai dari data mustahiknya, program-programnya, perangkat organisasinya, juga kualitas sumber dayanya. Artinya, masih butuh pembenahan komprehensif dalam mengawal potensi ini. Perlu diakui, masih ada di kalangan umat Islam yang menyalurkan zakatnya secara langung. Masih ada pula, umat Islam yang hanya membayar zakat fitrah saja. Ini artinya umat Islam perlu satu visi dan misi soal zakat ini.

Dengan menunaikan zakat, akan ada pondasi menjaga tegaknya islam, sesuai dengan hadis Rasulullah Saw bersabda “Islam dibangun diatas lima (pokok; rukun): bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menunaikan haji, dan puasa di bulan ramadhan.”(HR. Bukhari- Muslim)

Banyak ayat di Alquran, selalu ada kata shalat dan zakat. Artinya, kedua elemen ini merupakan tiang dari agama Islam. Kesucian dan kebaikan dari menyisihkan harta yang dilakukan seorang muslim akan memberikan dampak yang luar biasa bagi kemanusiaan, seperti tolong-menolong, gotong-royong dan persaudaraan. Intinya, akan terjadi transformasi dari sebelumnya mustahik (penerima) menjadi muzaki (pemberi). Ujung-ujungnya, akan terjadi perbaikan kualitas kehidupan yang akan kemudian berdampak pada kualitas keimanan.

Karenanya, Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq ra, dalam pemerintahan sepeninggal Rasulullah menekankan pentingnya seorang Muslim menunaikan zakat.  Zakat ini merupakan salah satu masalah setelah orang-orang yang keluar dari Islam (riddah, murtad). Sebagaimana banyak diceritakan dalam sirah nabawiyah, seperti juga disebutkan dalam Hayatu Muhammad serta Abu Bakar as-Shiddiq karya Muhammad Husein Haykal, diterangkan bahwa ketika Rasul SAW wafat, banyak orang yang enggan mengeluarkan zakat. Menurut alasan mereka, zakat hanya diwajibkan saat Rasul SAW masih hidup.

Karenanya, pembenahan elemen pengelolaan zakat yakni amil merupakan hal strategis. Jangan ada kesan, keberadaan amil itu dianggap sepele. Padahal, sejarah mencatat para sahabat nabi yang terkemuka seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Mu’adz bin Jabal merupakan amil zakat yang dikenal pintar, jenius, juga amanah. Jadi bukan sekadar pegawai biasa.  Jadi, sudah sepatutnya amil di masa sekarang ini menanggung tanggungjawab yang tak mudah. Tentu tidak mudah jika mengacu pada para sahabat Rasulullah. Secara ketakwaan dan keilmuannya begitu luar biasa.

 

Lalu dimulai dari mana?

Pendidikan. Seperti diutarakan mantan Ketua Umum Baznas, KH Prof Didin Hafidhudin, amil ini memiliki tugas tak  mudah yakni mengurusi mustahik sepanjang waktu. Misalnya, mendatangi lokasi kemiskinan dan melihat kondisi fakir miskin.  Dari tugas ini saja terlihat kebutuhan para amil untuk pandai mengolah data dan akurat menyajikan datanya. Selanjutnya, para amil juga pandai berkomunikasi, pintar dalam ilmu fikih zakat, serta berhati baik.

Penulis melihat apa yang sudah dirintis para lembaga zakat merupakan sudah on the track. Secara perlahan, kualitas amil diperbaiki. Sikap profesional dikedepankan. Sertifikasi pun diadakan dengan harapan semakin memberikan kepercayaan kepada muzaki untuk menyalurkan zakatnya. Penulis kira tinggal pemerataan saja, bagaimana amil di wilayah desa terpencil yang tak mungkin terjangkau bisa menikmati upgrade. Juga amil di daerah minoritas. Tak kalah penting juga generasi milenial. Ini juga harus disiapkan. Penulis melihat banyak amil dari kalangan muda yang secara semangat beragama tinggi ingin memainkan perannya.

Lembaga zakat perlu menyambut semangat itu dengan menyiapkan program khusus mereka. Tentu, amil juga butuh kaderisasi. Jangan sampai, urusan amil saja sampai kehabisan kader. Ini bahaya. Seperti diutarakan sebelumnya, pemahaman manajemen dan agama mutlak dibutuhkan. Ada yang paham tugasnya tapi tentu akan ada persoalan lain yang membutuhkan pemahaman agama guna mencari solusinya. Perlu diingat pula, bonus demografi ini menjadi peluang untuk mencetak amil terbaik di zamannya. walllahualam bis shawab

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id