Oleh: Nana Sudiana (Direktur Pendayagunaan & Ketua 1 FOZ Pusat)
Serial Pendayagunaan Zakat – Bagian 1
“(Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Q.S. Al-Mulk : 2).
Sahabat Amil Yang dirahmati Allah…
Perkembangan dunia zakat semakin hari semakin dinamis. Walau lembaga-lembaga filantropi baru terus tumbuh dan bermunculan lembaga zakat tetap ada dan malah bertambah banyak. Belum lagi sejumlah personal, media cetak, media online dan sejumlah televisi serta toko atau swalayan berjejaring juga mulai melakukan penggalangan donasi kepedulian dan aktivitas filantropis lainnya.
Di tengah situasi ini, lembaga-lembaga zakat terus eksis dan secara menuju perbaikan pengelolaandperlahanananya. Segala ilmu, teknik, atau strategi dan pendekatan baru dalam dunia bisnis, manajemen, akuntansi, dan juga pengelolaan komunitas dalam pemberdayaan masyarakat diserap dan diimplementasikan dengan cepat oleh mereka. Pendekatan MDGs yang kemudian berubah menjadi SDGs pun tak butuh waktu lama untuk diadop dan diimplementasikan di lembaga-lembaga yang ada.
Manajemen Six Sygma, Malcom Bridge, dan sederet formula dalam daftar dunia manajemen profesional tak mengalami kendala ketika diadaptasikan ke lapangan pengelolaan zakat. Begitu pula metode dalam pemberdayaan masyarakat, mulai dari teknik PRA, RRA hingga teknik terbaru lainnya dalam dunia pemberdayaan berhasil diadaptasikan dalam lapangan pendayagunaan zakat tanpa masalah berarti.
Dalam tulisan singkat ini, kita akan berfokus pada pembahasan tentang pendayagunaan zakat. Istilah pendayagunaan cukup dikenal di dunia zakat. Istilah ini sendiri berasal dari kata “Guna” yang berarti manfaat. Dan kata pendayagunaan tadi bila kita lihat dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah: (1). “Pengusaha agar mampu mendatangkan hasil dan manfaat”, (2). “Pengusaha (tenaga dan sebagainya) agar mampu menjalankan tugas dengan baik”.
Dari pengertian tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa pendayagunaan adalah bagaimana cara atau usaha dalam mendatangkan hasil dan manfaat yang lebih besar serta lebih baik. Cara atau usaha apa?, tentu saja cara atau usaha mendayagunakan zakat pada mustahik atau orang-orang yang berhak menerima zakat.
Ukuran memberikan manfaat memang luas cakupannya, namun prinsifnya tetap sama bahwa bagaimana dana dan sumber daya yang ada pada pengelola zakat bisa membantu dan memperbaiki nasib muatahik zakat. Dan di sadari atau tidak, inilah harapan umat pada lembaga zakat, agar dana dan alokasi sumberdaya-nya didayagunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan mustahik.
Dalam implementasinya, pendayagunaan zakat ini dapat diberikan kepada mustahik dalam dua garis besar :
Pertama dalam bentuk program charity. Charity sendiri dalam makna bahasanya berarti “amal, derma, atau kemurahan hati”. Program penyaluran dan pendistribusian zakat dengan model ini adalah penyaluran dalam bentuk sesaat. Bantuan dari pengelola zakat diberikan kepada seseorang atau sebuah keluarga mustahik yang membutuhkan tanpa ada skema pemberdayaan di dalamnya.
Bantuan ini diberikan bagi mustahik yang secara prioritas masih memerlukan bantuan langsung untuk menopang kebutuhan hidup mereka. Rentang bantuan ini cukup luas, bisa untuk hampir semua ashnaf yang memerlukan. Bantuan ini pula targetnya sederhana saja, mengatasi masalah asasi persoalan mustahik. Karena bersifat segera, mendesak dan butuh saat ini juga, biasanya bantuan seperti ini akan langsung ditunaikan begitu syarat dan ketentuannya telah terpenuhi.
Kedua dalam bentuk program pemberdayaan. Program ini merupakan pendistribusiaan atau penyaluran zakat yang bisa bersifat long term dan ada proses pemberdayaannya, yang akan mengubah mustahik menjadi muzaki. Proses ini bisa memakan waktu dan juga tak sederhana, karena ada serangkaian aktivitas yang harus dilalui, mulai dari perencanaan, implementasinya, hingga monitoring dan evaluasi programnya.
Umumnya program ini tak serta merta diberikan dalam bentuk tunai, karena di fase awalnya bisa jadi ada assesment awal, komitmen dari para pelaku yang akan terlibat, yakni mustahik yang akan diberikan bantuan serta tak kalah pentingnya adalah adanya pendamping yang mampu untuk melakukan proses ini.
Karena targetnya jangka panjang, tentu dibutuhkan kemampuan program yang baik dan juga kapasitas program yang memadai mulai dari hulu hingga hilir programnya. Dari sejumlah alternatif program, biasanya program ekonomi dipilih menjadi pilar utama program yang diberikan.
Mendayagunakan = Memerdekakan
Mendayagunakan pada dasarnya memerdekakan mustahik dari persoalan hidupnya. Juga memerdekakan ia dari belenggu kemiskinan yang sudah memerangkapnya selama ini. Cita-cita sejumlah lembaga pengelola zakat untuk mengubah mustahik menjadi muzaki adalah cita-cita mulia yang selaras dengan tujuan utama dan misi zakat. Namun dalam praktiknya, ternyata tak sesederhana itu, di lapangan ternyata tak semua mustahik mampu didorong untuk bisa mentas hidupnya dan berubah menjadi muzaki.
Sejumlah mustahik yang (mohon maaf) mengalami cacat permanen, sakit berat, sudah sangat tua, jompo dan mengalami berbagai masalah berat dalam kehidupannya tentu tak bisa diarahkan untuk bisa mandiri. Dengan demikian, kebutuhan dharuriyah nya mustahik seperti itu ya dibantu terus hingga ia sembuh atau meninggal dunia.
Bagi pengelola zakat mungkin sekilas ini akan jadi beban permanen lembaga, namun faktanya bila telah diketahui ada mustahik berkategori punya masalah berat semacam ini tak dibantu, maka jelas lembaga zakat ini berarti tak memahami misinya hadir di dunia. Apalagi jika mustahik tadi ternyata dipastikan tak ada yang membantu dari pihak manapun.
Konsep Adh dharurat adalah jama’ dari kata dharurah yang dapat diartikan sebagai keadaan yang memaksa untuk melakukan apa yang dilarang oleh syari’at islam. Dengan melihat definisi ini bahkan secara syariat saking sulitnya kondisi yang dihadapi, Para ulama jumhur mengartikan adh dharurah adalah keadaan seseorang yang sampai pada batas apabila dia tidak melakukan apa yang dilarang akan menyebabkan dirinya mudharat.
Hal-hal yang bagi kondisi umum haram ketika sampai pada kondisi dharurah, mereka diijinkan melakukannya, bahkan para ulama mengatakan ia bisa mudharat bila tak melakukannya. Contoh paling populer dalam kondisi dharurah ini adalah memakan bangkai. Bangkai yang jelas haram, bagi situasi dharurah ia boleh dimakan dan bahkan dianggap bisa memudharatkan bila tak dimakan.
Dalam kondisi-kondisi seperti inilah lembaga zakat harus mampu memahami situasi ini dengan baik. Setelah mampu memahaminya, kemudian ia juga harus sudah mulai memiliki prioritas dalam penyalurannya. Lembaga zakat yang baik, program pendayagunaannya tak boleh terjebak pada sisi charity atau pemberdayaan semata, namun ia harus melihat setiap persoalan yang ada secara komprehensif. Masalah yang ada, harus diurai satu demi satu dan kemudian diberikan skala prioritas pemecahannya sekaligus tahap-tahap solusinya.
Persoalan dharurah adalah keadaan yang membahayakan yang dialami manusia atau masyaqqah yang parah yang tak mungkin mampu dipikul olehnya. Bila kita lihat istilah ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, di sana disebutkan bahwa kemudaratan adalah sesuatu yang tidak menguntungkan, rugi atau kerugian secara adjectiva ia berarti merugikan dan tidak berguna. Nah, dengan begitu kemudharatan dapat dipahami sebagai sesuatu yang membahayakan dan tidak memiliki kegunaan bagi manusia.
Lembaga amil zakat sebagai pilar solusi umat harus menjadi jalan pemecah masalah yang ada. Lembaga zakat juga harus aware terhadap maqashid syariah sebagai bagian tak terpisahkan dari diturunkannya syariat Islam.
Kita semua tahu, bahwa Maqashid Syariah secara istilah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya. Dalam pengertian yang lebih umum Maqashid Syari’ah adalah: “Kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriah mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat danTahsiniat mereka”.
Nah, dengan begitu, tantangan dalam proses pendayagunaan zakat ke depan bukan seberapa besar dana yang harus digulirkan kepada mustahik, bukan pula pada seberapa banyak mustahik yang berhasil dibantu dan diberdayakan.
Tantangan yang nyata justru seberapa mampu lembaga zakat ini memahami persoalan mustahik dan memastikan kondisinya apakah ia berada dalam keadaan yang harus dipenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer)-nya, atau ia cukup dibantu dan disempurnakan kebutuhan Hajiyat (sekunder)-nya atau justru sekedar difasilitasi agar mustahik bisa sempurna kebutuhan Tahsiniat atau kamaliat (tersier)-nya.
Setelah mengetahui ini, harapannya mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan mustahik bisa meningkat dan ia bisa baik hidupnya di dunia (dengan Mu’amalah) maupun di akhirat (dengan ‘aqidah dan Ibadah) yang ia jalani.
Ini mungkin terlihat sedikit rumit dan teoritis, mendekatkan proses pendayagunaan zakat dengan konsep dharurah dan maqhasid syariah, namun memang sejatinya tak bisa dihindari. Karena memang sebagaimana kita tahu, tugas amil zakat ini selain mampu menjaga amanah pengelolaan dana dengan baik.
Juga mampu bekerja keras dan sungguh-sungguh untuk menemani mustahik-mustahik yang meminta maupun yang tidak meminta pada lembaganya untuk mencapai kemaslahatan hidup yang dimulai dari kemampuan untuk memenuhi kebutuhan Dharuriat (Primer), kebutuhan Hajiyat (sekunder), dan kebutuhan Tahsiniat atau kamaliat (tersier)-nya.
Amil harus berdiri laksana pilar kebaikan bagi umat. Ia juga harus merasa menjadi bagian dari Rahmat Allah pada manusia, sebagaimana yang Allah sebutkan: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS Al Anbiya :107).
Dan mustahik prioritas yang harus dicari dan segera dibantu adalah orang-orang yang punya kesadaran dan keimanan yang tinggi walau mereka sedang dihimpit masalah. Mereka yang ketika sedang dicoba Allah dengan masalah senantiasa ingat dan berdo’a hanya pada-Nya.
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Al Baqarah: 201-202).
Lembaga amil zakat harus berdiri dan menjadi penegak dalam membantu kemaslahatan hidup mustahik, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.
Kata Abu Ishaq al-Shatibi, kemaslahatan itu sendiri dalam Islam terumuskan dalam lima tujuan hukum yakni: Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama), Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa), Hifdz Al’Aql (Memelihara Akal), Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan) dan Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta). Kelima tujuan tadi yang kemudian hukum Islam tersebut di disebut al-maqasid al khamsah atau maqasid syari’ah.
Bila kita berbicara tentang kemaslahatan, tentunya hal ini terus mengalami perkembangan, termasuk harapan kemaslahatan bagi mustahik. Hal ini tentu saja wajar terjadi, mengingat terjadinya perkembangan akan kebutuhan dan tuntutan dalam kehidupan yang juga berubah. Nah, untuk menentukan tingkat kemaslahatan, umumnya di kenal dengan istilah skala prioritas.
Tantangan inilah juga yang ada pada lembaga zakat kini, bagaimana memastikan metode prioritas ini agar dapat di gunakan sebagai alat yang efektif untuk melaksanakan fungsi pendistribusian dan pendayagunaan zakat sehingga pengalokasiannya bisa efektif, efisien dan tepat sasaran.
Semoga dengan kemampuan yang baik dalam mendayagunakan zakat, harapan akan hadirnya “Peradaban Zakat” yang bermuara pada terciptanya spirit zakat yang menjadi bagian kehidupan sehari-hari umat Islam di Indonesia bisa terwujud. Sebuah lansekap kehidupan yang menggambarkan secara nyata mewujudnya kehidupan yang bahagia dan sejahtera, lahir batin dan di dunia dan akhirat. Semoga.