Amil Hingga Anak Cucu

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Ditulis oleh Nana Sudiana (Sekjend FOZ & Direksi IZI)

 

“Biarkan anak-anak Anda mengamati tindakan kebaikan Anda yang tidak mengenal tempat dan waktu, karena hal itu dapat menular” –Kevin Heath

 

Kata siapa dinasti hanya untuk urusan politik dan kekuasaan. Kata siapa pula, dinasti itu pasti merugikan dan tak ada guna. Dalam urusan zakat, sah-sah saja bila para amil yang juga orang tua pada akhirnya anak-anaknya mengikuti dirinya menjadi amil pula. Bukan hanya anak, bahkan hingga ke anak cucu. Dinasti sendiri tak selalu negatif, asal daya juang dan spiritnya sama untuk kebaikan dan kesejahteraan negara dan bangsa, tak ada yang dilanggar dan terenggut haknya.

Menjadi amil zakat sekaligus menjadi orang tua adalah niscaya. Ini siklus alamiah saja. Setelah menikah lalu punya anak. Bagi seorang amil yang juga orang tua, menjadi ayah adalah sebuah kebanggan sekaligus kekhawatiran. Bangga karena Allah percaya untuk menjadi orangtua dan khawatir bila tak amanah dalam menjaga dan mendidiknya.

Orang tua di jaman disrupsi dan penuh tantangan seperti saat ini memang tidak mudah. Apalagi adanya pandemi atau wabah global seperti saat ini. Membesarkan anak-anak dengan sebagian besar waktunya di rumah lebih tidak mudah lagi. Apalagi bagi bapak atau Ibu yang terpaksa tetap bekerja ditengah pandemi yang melanda.

Tidak ada memang sekolah menjadi orang tua. Semua akhirnya kembali pada kemampuan dan keterampilan masing-masing dalam mengelola rumah tangga, termasuk merawat dan mendidik anaknya masing-masing. Walau sebenarnya setiap orang tua bisa belajar dari mana saja, termasuk mendapat inspirasi dari siapapun, tetap saja butuh kearifan dan kebijaksanaan untuk melihat mana yang sesuai serta paling tepat.

Dalam tulisan singkat ini, kita berharap ada gambaran singkat tentang bagaimana menjadi amil dan mewariskannya pada generasi penerus setelah kita. Baik generasi penerus secara genetis atau penerus secara ideologis.

 

Keluarga Amil, Keluarga Harapan

Bagi amil yang sudah berkeluarga, tentu saja memiliki istri dan anak-anak yang baik adalah sebuah kebahagiaan. Ini tak lain kebaikan dan berkah dari Allah SWT yang patut disyukuri. Ini juga adalah nikmat dan anugerah kehidupan dari-Nya. Walau hal ini jamak terlihat, namun tetap saja menjadi bagian keluarga yang baik adalah harapan terindah yang dimiliki seorang amil.

Dari data amil yang ada di Indonesia, ternyata jumlah amil yang sudah menikah lebih sedikit dari yang belum menikah. Dan dari yang sudah menikahpun, sampai saat ini masih ada yang sedang berjuang agar dikaruniai seorang anak dalam keluarganya. Walau memiliki anak pastinya akan membuat kerepotan baru dalam mengurusnya dibanding ketika hanya suami istri, namun faktanya ada keindahan sekaligus kesyukuran atas amanah dari Allah yang berupa anak ini.

Dengan begitu, ditengah situasi apapun, amanah jadi orang tua harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Juga tidak ada alasan untuk mengeluh dengan keberadaan anak-anak ditengah kehidupan keluarga kita. Begitu dapat amanah anak, bagaimanapun caranya kita harus mulai merencanakan dan menyiapkan perawatan dan pendidikan anak-anak hingga nanti ia tumbuh dewasa dan mandiri.

Dan semua orang tua, ternyata harapan-nya sama, ingin anaknya soleh atau solehah dan kehidupannya berhasil, bahkan melibihi orang tuanya. Harapan umum orang tua pastinya selain berprestasi lebih dari orang tua dari sisi pendidikan, karier dan kedudukannya, juga lebih baik kehidupan agamanya. Ini terlihat umum dan sederhana, namum faktanya, tak semua orang tua mendapati itu semua. Ada yang senang anaknya berhasil secara materi, namun kadang ia kurang baik dalam hal lainnya. Sebaliknya, ada saja kekurangan anak di mata orang tua, walau mungkin tak pernah muncul dalam kata atau ujaran verbal dari mereka.

 

Mendidik Anak Menjadi (Seperti) Amil

Ada satu hal lagi, para amil yang juga orang tua pasti akan bangga ketika apa yang ia lakukan ternyata diikuti dan diteruskan oleh anaknya. Bahkan lebih dari itu, ia juga mungkin amat terharu bila akhirnya, anak kandungnya sendiri menghargai dirinya dan profesinya sebagai amil.

Bagi orang tua yang amil, tak peduli seberapa lama seorang anak biologisnya membantu pekerjaan dirinya sebagai amil, ia tetap akan merasa bangga dan merasakan kepuasan dalam mendidik seorang anak.

Dengan situasi tadi, seorang ayah atau Ibu yang amil, merasa terbahagiakan hidupnya walau bisa jadi secara materi tak berlebihan. Ia merasa cukup, begitu juga jiwa-nya. Ada kebahagiaan dan rasa terima kasih atas balasan anak terhadap dirinya. Juga ada semacam rasa senang atas penghargaan anaknya atas profesi amil yang dijalani orang tuanya.

Pertanyaan-nya, apa saja yang perlu kita siapkan sehingga kita para amil punya kaderisasi amil berikutnya. Baik anak biologis kita maupun para amil muda yang akan menjadi penerus gerakan zakat Indonesia dan menjadi pembawa obor spirit kebaikan zakat di negeri ini.

 

Pertama, didiklah anak kita untuk peduli sesama dengan tulus

Para Nabi, Rasul dan orang-orang sholeh sebelum kita dalam hidup mereka tak hanya soal memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya semata. Mereka walau tak semua termasuk orang kaya, terbiasa menjadikan hidupnya bak sebuah teko atau tempat air minum sebelum ke gelas atau cangkir. Begitu teko ini ada isinya, maka tak menunggu lama, ia akan disdistribusikan bagi yang memerlukan. Kadang bukan soal uang saja, bisa makanan, pakaian dan beragam kebutuhan lainnya. Kita para amil yang selama ini berjuang, yang kadang penuh keprihatinan dan bercucuran keringat, terbiasa membantu sesama. Nah sesekali, ajak dan biasakan anak-anak kita untuk jadi bagian yang memberikan sesuatu pada sesama. Baik harta benda yang kita miliki atau amanah pihak lain yang ada pada kita untuk dibagikan pada yang memerlukan. Anak-anak yang sejak kecil mengerti dengan pekerjaan orang tuanya sebagai amil, Insyaallah ia akan paham bagaiamana posisinya begitu ia dewasa dan memiliki harta benda serta kedudukan dalam kehidupannya. Legacy yang kita harapkan, pada dasarnya lebih luas dari barang atau uang yang kita bisa berikan pada anak kita, namun justru yang akan mereka terima adalah nilai-nilai kemuliaan dalam kehidupan manusia.

Anak-anak amil harus tahu, bahwa air mata dan darah-nya yang jatuh dalam berjuang menjadi amil zakat adalah sebuah jalan baik dalam mendekatkan diri-nya pada jalan Allah SWT. Di jalan ini, pengorbanan selalu diperlukan, karena memang untuk menjadi insan mulia, terkadang ada begitu banyak halangan dan tantangan-nya. Sejarah telah membuktikan, tiada satu Nabi, para ulama dan oang-orang soleh yang hidupnya lantas merasa nyaman dan berhenti berjuang Ketika dirinya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Inilah makna spirit amil zakat, boleh jadi anak-anak seorang amil akhirnya jadi apapun, namun dalam jiwanya harus tertanam kepedulian dan cinta pada sesama manusia, termasuk kesediaannya untuk adil dan menjadi solusi atas problematika yang dihadapinya.

Kedua, libatkan mereka dalam kegiatan kita

Di manapun bumi di pijak, menjadi orangtua yang didengar dan diperhatikan nasihatnya oleh anak-anaknya sendiri tentu saja membanggakan. Lebih dalam lagi kebanggaan ini, manakala anak-anaknya mampu meneruskan spirit dan perjuangan orang tua-nya yang berjuang di dunia amil zakat. Anak-anak para amil, tak cukup harus menuruti nasihat orang tuanya. Mereka juga harus tahu dan mengerti apa pekerjaan orang tuanya juga tujuan akhir yang ingin dicapai dalam hidupnya.

Untuk menguatkan konsep pengasuhan dan pendidikan agar spirit amil masuk ke dalam jiwa seorang anak, sejak dini perlu melibatkan anak dalam beragam kegiatan orang tua. Kegiatan ini diharapkan menumbuhkan habbit yang positif bagi diri anak serta akan membentuk konsep diri yang menyatu dengan apa yang dikerjakan orang tua. Dengan begitu, tak perlu banyak nasihat dan arahan yang harus diberikan, cukup dengan interaksi langsung, maka transfer budaya dan keterampilan bisa secara otomatis terjadi. Di luar itu, tentu saja masih diperlukan doa-doa yang tak putus dari kita, para orang tua untuk kebaikan dan keberhasilan hidup mereka.

Ada setidaknya tiga manfaat penting manakala para amil melibatkan anak-anaknya sejak dini dalam kegiatan keseharian sebagai seorang amil, baik saat di kantor maupun Ketika di lapangan. Ketiga manfaat itu adalah : Pertama, anak akan mendapatkan teladan yang baik untuk proses identifikasi perannya kelak dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat ; Kedua, rasa kagum atau adoration anak terhadap orang tuanya akan semakin membuka komunikasi yang baik antara anak dengan orang tua, sehingga hubungan bertambah erat; dan Ketiga, anak belajar cara-cara berinteraksi sosial yang lebih luas terhadap orang lain. Hal ini muncul karena saat anak bangga dan mengapresiasi apa yang telah dilakukan orang tuanya, ia juga belajar menghargai serta berempati atas peran orang lain.

Orang tua yang dibanggakan anak-anaknya, tak melulu soal harta dan fasilitas. Mereka pada dasarnya akan membanggakan orang tua-nya bila mereka diperhatikan kebutuhannya dan diberikan kasih sayang yang cukup. Dengan mengajak anak untuk tahu dan terlibat pekerjaan orang tuanya, hal ini sebenarnya memberi contoh bagaimana cara menjalani kehidupan sebagai seorang amil dengan dinamikanya. Cara ini adalah cara positif agar anak memahami apa yang dikerjakan orang tua untuk dirinya, termasuk pula untuk orang lain yang bahkan tidak dikenal sebelumnya. Di masa yang akan datang, rasa bangga anak yang merasakan perjuangan dan kasih sayang dari orang tuanya itu akan berkembang menjadi motivasi untuk bisa bekerja keras, peduli pada sesama dengan tidak melupakan jalan sukses menuju cita-cita yang diharapkan.

Ketiga, perbanyaklah dialog dua arah

Semua kita mafhum, bahwa mendidik anak dan generasi muda untuk menjadi atau seperti seorang amil tidak mudah. Amil sebagaimana kita tahu karakter DNA-nya adalah pejuang. Ia terbiasa berkorban untuk orang lain dan mendahulukan kepentingan yang lebih besar. Dan dalam konteks kepemimpinan, menjadikan seseorang  menjadi amil pada dasarnya sedang menyiapkan sebuah generasi mas’uliyah dengan pundak yang siap menahan beban dakwah. Para amil ini, diharapkan mampu memikul amanah besar dakwah. Dakwah yang dimaksud di sini tentu saja dakwah zakat dan dakwah Islam secara umum. Para amil yang dididik ini diharapkan juga memilik ibadah yang khsuyuk, punya karakter sabar, jujur dan pemberani. Seorang Ulama menasehati : “Jadilah ahli ibadah sebelum kalian jadi amil”. Dengan situasi ini, menjadi amil tentu saja tak bisa dilimpahkan pada orang-orang yang urusan dirinya sendiri saja belum selesai. Menjadi amil dengan alasan tadi, tak mungki mampu dipikul oleh generasi rebahan, yang terlalu santai hidupnya dan tanpa motivasi yang kuat untuk membantu dan berkorban bagi sesama.

Dengan besarnya harapan tadi, menjadi amil jelas butuh persiapan panjang serta penyiapan mental yang tak mudah. Dan untuk menguatkan mental anak-anak kita, juga generasi muda amil Indonesia, kita butuh memperkuat dialog dengan anak-anak kita ini. Dialog ini penting untuk memastikan respon dan kepahaman anak-anak dan generasi muda akan apa yang akan dikerjakan dan dilakukan di masa yang akan datang. Dengan memperbanyak dialog, kita transfer perasaan, keinginan dan harapan secara sadar dalam bingai keyakinan yang sama bahwa masa depan itu akan lebih baik.

Keempat , ajarkan kasih sayang sejak dini

Mendidik anak ibarat menanam pohon jambu batu. Bisa saja membutuhkan waktu lama untuk sampai memetik hasilnya. Walau lama, kita tetap menunggunya dengan sabar. Durasi menunggu ini tak sama satu sama lainnya, bahkan bisa bertahun-tahun, itu pun tak pasti. Dan Ketika berbuah pun, di periode awal, belum semua muncul bunga dan apalagi menjadi buah yang banyak. Lamanya waktu Ketika menunggu, tiba-tiba seolah hilang manakala pohon jambu batunya berbuah. Kira-kira begitulah perasaan kita sebagai orang tua saat mendidik anak. Penuh tantangan dan dinamika. Namun akhirnya terbayar lunas manakala anak yang kita didik berhasil dalam kehidupannya, bahkan lebih baik dari kita semua.

Kasih sayang, baik terhadap anak maupun sesama manusia ibarat sebuah gelombang. Ia akan merambat dan mengalir melewati medan yang luas.  Fenomena anak-anak amil yang bermasalah bila kita dalami ternyata masalahnya mereka kurang perhatian dan kasih sayang. Di sadari atau tidak, kenapa kita sendiri (para amil) dan juga anak-anak dan generasi muda amil daya juangnya sering melemah?, tiada lain juga bisa jadi kurangnya perhatian dan kasih sayang para sesepuh atau pendahulu gerakan zakat ini. Dengan daya juang yang lemah, maka bisa menggangu estafet dakwah. Dengan kelemahan ini juga, proses pencapaian Langkah menuju cita-cita kebaikan di masa depan bisa semakin berat.

Pelarian anak akan kasih sayang, bisa ke banyak hal. Termasuk ke dalam hal ini adalah munculnya kecanduan anak-anak pada gadget, game online, youtube dan lain-lain. Hal ini bisa mengakibatkan relasi yang terbangun antar generasi jadi tak normal. Ada kesulitan komunikasi dan pada akhirnya akan merusak relasi anak-ayah atau sebaliknya. Bahkan bisa juga relasi horisontal antar generasi menjadi tak harmoni. Walau generasi hari ini secara  fisik lebih baik, didukung dengan kemajuan ekonomi dan peningkatan taraf hidup yang semakin baik, nyatanya dari sisi mental, belum tentu hal ini lebih baik. Di saat seperti inilah orang tua tetap harus memperhatikan anak-anaknya dengan baik dan terus memastikan agar mereka secara masuliyah mentalnya sehat, kuat dan tabah serta berada dalam lingkup kedisplinan dan keyakinan yang baik akan masa depan. Kita juga harus tetap memberikan kasih sayang dan bimbingan dalam segala hal.

Kelima, pastikan mereka paham sebelum menjadi sesuatu

Ketika anak kita ingin kita dorong untuk jadi orang yang sukses dan berhasil dalam hidupnya, maka kita harus sudah menyiapkan mentalnya terlebih dahulu sebelum memberikan nasehat atau mengajarkan sesuatu. Hal ini penting agar ada kesiapan mendasar dari seorang anak terhadap ilmu, pengetahuan dan keterampilan yang akan diajarkan. Inilah yang disebut persiapan pemahaman sebelum ilmu. Pemahaman ini penting agar Ketika anak-anak mulai menikmati proses pendidikannya, ia telah kuat jiwanya, bahkan kelak siap memimpin masyarakat di lingkungan tempat tinggal dan lingkungan lainnya yang lebih luas. Ia juga nantinya tanpa keterpaksaan akan menyerap ilmu secara maksimal dan secara konsisten akan terus belajar dengan sungguh-sungguh

Menuntut ilmu bagi seorang anak layaknya berjihad. Selain butuh kesadaran diri yang kuat untuk belajar, ia juga harus mampu menyerap ilmu yang dipelajarinya untuk kebaikan diri dan masyarakatnya. Namanya ilmu, tentu akan mubazir bila justru tak berguna, atau malah justru membuat halyang tidak baik. Seorang amil yang juga orang tua, tentu saja berkeinginan besar anak-anak-nya sanggup menuntut ilmu dan mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Mereka bukan hanya harus soleh akhlaknya, namun juga menjadi seorang alim, orang yang berilmu dan mulia. Dengan pemahaman yang baik dan tertanam dalam jiwa seorang anak, bisa jadi kelak ia akan mampu menjadi solusi atas setiap permasalahan umat. Imam Syafii berkata: “Siapa yang masa mudanya tidak digunakan menuntut ilmu, maka dia akan merasakan kehinaan sepanjang hidupnya”.

*

 

Seorang amil yang Allah anugerahi anak-anak yang baik dan soleh atau solehah pastilah senang hatinya. Ia juga pasti akan bersyukur pada Allah atas amanah ini. Namun pertanyaan-nya, apakah anak-anaknya juga bangga memiliki orang tua yang berprofesi sebagai seorang amil?. Sebuah pepatah lama berkata “ketam menyuruh anaknya berjalan betul,” artinya, orang tua pandai menasihati anak, namun tak dapat melakukannya sendiri. Hal ini bisa saja terjadi ketika para orang tua yang sibuk lalu tiba-tiba berharap anaknya berhasil dan bisa ia banggakan. Orang tua seperti ini bisa jadi lupa bahwa diri mereka juga perlu menjadi orang tua yang membanggakan bagi anak-anak-nya. Relasi yang terbangun antara anak dengan orang tua ini amat tergantung pada kedekatan selama ini. Kalau ada anak seorang amil bangga bahwa orang tuanya adalah amil. Pastilah orang tua anak ini lebih bangga lagi.

Saat seorang anak merasa bangga kepada orang tuanya, maka hubungan yang terjadi antara anak dan orang tua akan menjadi lebih positif dan terjalin kehangatan. Ketika seorang anak bangga terhadap orang tua, termasuk profesinya sebagai amil zakat, sesungguhnya ini merupakan proses identifikasi peran oleh anak, karena ia pada dasarnya belajar tentang peran dirinya kelak lewat orang tua dan orang-orang di sekitar lingkungannya.

Berkaitan soal orang tua yang menjadi kebanggaan anak, bukan berarti seorang ayah atau Ibu harus berprestasi, atau menduduki jabatan yang tinggi. Menjadi orang tua yang membanggakan anak adalah soal bagaimana orang tua dapat memenuhi kebutuhan anak, baik secara lahir maupun secara batin atau kasih sayangnya. Para orang tua yang amil, walaupun selalu sibuk bekerja dan berada dalam kepadatan melayani orang lain, tetaplah mengelola waktunya untuk berbagi kasih sayang dan perhatian dengan anak. Perhatian semacam ini dari orang tua, akan memicu kebanggan anak tanpa memperhitungkan pekerjaan yang hebat atau kedudukan yang tinggi. Ini amat berarti bagi anak, dibandingkan bila para orang tua yang penuh kekayaan dan kemewahan hidupnya, tapi tak punya waktu untuk mereka.

Wallahu a’lam.