Kepemimpinan Gerakan Zakat

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
IMG_20160929_162919

Penulis : @Nana Sudiana*)

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. As-Sajdah (32) :24).

Suatu ketika saya naik bus dari Terminal Kampung Rambutan menuju Yogyakarta. Ketika baru saja akan masuk bekasi, tiba-tiba bus yang kami tumpangi mogok. Sopirnya bingung, apalagi kondekturnya yang lebih tidak paham mesin mobil. Dan ditengah kebingungan itu, sosok penumpang pria yang bersama isterinya duduk di belakang sopir kemudian menjadi seakan dewa penolong. Tak perlu waktu lama, ia turun tangan langsung–dengan risiko ikut belepotan oli– dan Alhamdulillah mobil pun bisa melaju, bahkan hingga sampi Yogya pagi harinya tak sedikitpun kambuh, apalagi mogok serius seperti ketika awal.

Bapak ini rupanya seorang teknisi di bengkel khusus mobil bus, ia tak banyak komentar dan tak banyak menduga, bisa mendeteksi dari suara yang ia dengarkan dari derum mesin. Kerusakan itu kata dia kecil dan akibat adanya komponen yang salah ketika memasangnya. Hebat ya, ternyata kebiasaan ia bergelut dengan mesin ia akhirnya bisa dengan mudah menyelesaikan problem yang ada.

Bayangkan saja bila tak ada bapak tadi, kondisi di tol, mana hari mulai gelap dan sebagian penumpang membawa anak kecil dan balita yang langsung pada menangis karena lampu bus padam dan ac juga tidak menyala. Saat yang sama, sopir bus hanya duduk tenang dibelakang kemudi sambil melaporkan pada atasannya bahwa mobil yang ia bawa mogok di pinggir jalan tol. Ia tak berusaha memastikan kerusakan yang ada, apalagi mencoba mencari tahu pada temannya yang pernah membawa bus ini. Dan solusi atasannya pun sederhana, ia katanya akan segera mencarikan bus pengganti yang entah kapan adanya dan berapa lama akan sampi ke tempat kami mogok ketika itu.

Sopir idealnya memimpin bus, mengatur perjalanan kru dan seluruh penumpang yang ikut bersamanya. Juga mestinya memastikan bus yang akan ia bawa kondisinya laik jalan atau tidak. Namun, dengan alasan bus yang ia bawa ketika itu bukan bus yang biasa ia pegang, ia berkelit tak tahu banyak kondisi bus ini, termasuk kebiasaan-kebiasaan atau bahkan “penyakit” mesin bus ini. Katanya bus ini selama ini dibawa temannya yang tak lagi narik alias keluar dari perusahaan mereka. Dengan alasan itu, ia hanya cukup melaporkan dan tak berusaha mencari tahu, apa penyebab mogoknya bus. Ia malah menyuruh krunya yang jauh lebih tidak paham untuk membuka kap mesin, melihat-lihat mesin yang masih ia nyalakan dan memintanya memeriksa hingga ke bagian bawah bus. Lha apa yang bisa ditemukan bila paham mesin saja tidak, apalagi keganjilan atau kerusakannya.

Dalam kondisi menunggu bus yang mogok, saya sempat teringat cerita guru saya tentang formasi angsa terbang. Cerita ini mengisahkan adanya kebiasaan rombongan burung angsa yang tinggal di negara empat musim, kemudian ketika musim gugur maka angsa-angsa ini terbang ke arah selatan untuk menghindari musim dingin. Burung-burung angsa tersebut terbang dengan formasi berbentuk huruf “V”. Saat setiap burung mengepakkan sayapnya, hal itu memberikan “daya dukung” bagi burung yang terbang tepat di belakangnya. Ini terjadi karena burung yang terbang di belakang tidak perlu bersusah payah untuk menembus “dinding udara” di depannya.

Ketika burung angsa pemimpin yang terbang di depan menjadi lelah, ia akan terbang memutar ke belakang formasi, dan burung angsa lain akan terbang menggantikan posisinya. Dari sana kita melihat bagaimana soal kepemimpinan ini intinya pada kemampuan dan kepercayaan dalam tim untuk berbagi tugas dan saling mengisi, termasuk percaya untuk saling menggantikan posisi.

Yang lebih menakjubkan adalah ketika seekor burung angsa menjadi sakit, terluka, atau ditembak jatuh oleh pemburu burung. Maka secepatnya dua burung angsa yang lain akan ikut keluar dari formasi bersama burung angsa tersebut dan mengikutinya terbang turun untuk membantu dan melindungi. Mereka akan tinggal dengan burung angsa yang jatuh itu sampai ia mati atau dapat terbang lagi. Setelah itu mereka akan terbang dengan kekuatan mereka sendiri atau dengan membentuk formasi lain untuk mengejar rombongan mereka. Luar biasa bukan, ada tanggungjawab kolektif yang melekat pada apa yang dilakukan rombongan angsa ini. Mereka adalah binatang, namun pelajaran tentang empati, perhatian dan kemauan melakukan perlindungan terhadap yang membutuhkan bisa kita lihat di sana. Ini mungkin di dalam dunia kita manusia bisa disebut sahabat sejati, menemani bahkan memastikan kondisi temannya di masa-masa sulitnya. Ini angsa, lalu bagaimana dengan kita?

Semangat Zakat dalam Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah soal keseharian. Dimanapun dan kapanpun kita berada, tak bisa dihindari pasti akan bertemu soal ini. Kepemimpinan walau sekecil apapun skalanya tetap saja ia akan terasa nyata dan terlihat fungsinya. Kepemimpinan memang telah melekat erat dengan keseharian hidup manusia, baik dalam kehidupan di rumah, ketika bermasyarakat, berorganisasi, ataupun dalam skala besar ketika hidup dalam lingkup sebuah negara.

Kepemimpinan dalam Islam disebut dengan imamah. Imamah ini sendiri dasar katanya “imam” yang berarti “pemimpin”. Kedudukan pemimpin dalam Islam sangatlah penting, bahkan statusnya fardu kifayah. Dalam soal ini, setiap manusia akan berdosa apabila tidak adanya seorang pemimpin pun yang hadir ditengah manusia yang ada. Dan saat yang sama pembebanan hukum tentang kepemimpinan ini akan terbebas manakala salah seorang dari umat Islam ada yang terpilih salah satunya atau beberapanya sesuai tingkatan dan kebutuhannya untuk menjadi pemimpin di masing-masing formasi yang ada.

Kepemimpinan Islam idealnya berkorelasi dengan besarnya kemanfaatan. Hal ini seiring dengan salah satu makna zakat, yakni zakat bermakna An Numuw. Arti dari makna An-Numuw, ini adalah “tumbuh” maka akan semakin kuat manfaat yang dirasakan oleh masyarakat yang dipimpinnya. Karena itu pula, baik buruk sebuah masyarakat dipengaruhi oleh para pemimpinnya.

Menjadi pemimpin sejatinya tak mudah, apalagi bila dilihat tanggungjawabnya yang juga lebih dari mereka yang dipimpinnya. Namun tentu saja kita juga tak bisa menolak amanah kepemimpinan yang dipercayakan pada kita. Kepemimpinan walau sekecil apapun lingkupnya memerlukan perhatian dan fokus lebih dari kita. Besar kecil lingkupnya pada dasarnya hanya masalah ukuran saja, karena formulasinya tetap saja sama. Amanah butuh pembuktian kemampuan dan butuh penunaian tanggungjawab.

Dalam gerakan zakat terkini, dimana tantangan ke depannya semakin tak mudah. Para pimpinan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) semakin tak gampang dalam memimpin organisasinya masing-masing. Kepemimpinan di internal organisasi soalnya bukan ditentukan oleh ada di level mana organisasinya berada, namun seberapa bisa ia menunjukan kapasitas dan kualitasnya. Tantangan yang ada, justru seberapa serius iklim kepemimpinan hadir dan membangun kualitas layanan juga komunikasi pada stekholders zakat yang ada di sekitar organisasinya.

Bagaimana organisasi menunjukan kemampuan dan kapasitasnya dihadapan setiap persoalan yang dihadapi. Kemampuan kepemimpinan nantinya akan terlihat dari cara dan metode organisasi dan seluruh sumberdayanya dalam setiap melakukan respon maupun aktivitasnya, baik yang sifatnya reguler atau pun non reguler seperti ketika ada bencana atau musibah yang terjadi dan memerlukan bantuan segera.

Menjadi pemimpin di organisasi pengelola zakat juga jelas bukan tanpa risiko. Ada sejumlah konsekuensi yang harus diterima seorang pemimpin, yang positif maupun negatif. Risiko sebagai pemimpin OPZ adalah akan diikuti, bahkan tak sekedar hal-hal baiknya saja, yang negatif pun bisa jadi akan tertular tak sengaja dan bisa diikuti anak buah kita. Bila baik, tentu akan memberikan dampak kebaikan yang luas. Dalam Islam tentu saja dampak luas ini bisa juga selaras dengan istilah amal jariyah yang pahalanya tak akan habis walau orang yang pertama kali membuat kebaikan ini telah meninggal dunia. Namun karena kebaikan-kebaikan maupun kebiasaan baiknya diteruskan maka ia tetap akan mendapatkan pahalanya. Sebaliknya, bila ketika hidup ternyata seorang pemimpin malah mewariskan ketidakbaikan, lalu diikuti oleh para pengikutnya, maka dosanya juga bukan tak mungkin akan mengalir hingga pada para pemimpin pendahulu atau penggagas perbuatan tadi.

Mungkin pada zaman dahulu, risiko para pemimpin organisasi pengelola zakat yang harus ditanggung tidak begitu besar. Apalagi ketika pemimpin yang ada ketika itu termasuk dalam model kepemimpinan yang kharismatik. Pemimpin seperti ini umumnya cukup dihormati dan dicintai para pengikutnya. Kepemimpinan kharismatik melahirkan situasi panutan dan pengikut. Tak banyak bantahan apalagi sanggahan dari mereka yang dipimpin. Mereka yang dipimpin bisa jadi malah kebablasan mengikuti apa saja yang diajarkan dan dilakukan para pemimpin. Dan kadang ketika hal ini terjadi, para pemimpin malah menikmati situasi ini dan tergelincir memasuki kebanggan sebagai pemimpin yang diagungkan.

Menjadi pemimpin di OPZ memang tak mudah, saat yang sama ia pun harus realistis, bahwa ia tak mungkin bisa menyenangkan semua orang. Baik yang dipimpinnya maupun rekan sejawatnya ataupun para pimpinan lain yang ada. Tentu saja menjadi teramat berat jika para pemimpin OPZ diharuskan mampu memenuhi seluruh keinginan orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Sekalipun seorang pemimpin OPZ dianggap mampu berbuat adil, jujur, mampu mengayomi semuanya, amanah, sabar dan ikhlas, pada dasarnya ia tak akan sanggup membuat seluruh orang yang dipimpinnya merasa puas. Tetap ada sejumlah keterbatasan yang melekat pada diri seorang pemimpin. Baik yang sifatnya manusiawi, atau karena sebab teknis lainnya.

Di era sosial media, seorang pemimpin OPZ jauh lebih berat tugasnya, bukan karena ia diberikan beban untuk menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya, namun justru ia punya peluang digugat dan diprotes bila melakukan kekeliruan atau kesalahan pada mereka yang ia pimpin. Bahkan lebih tragis lagi bila segala kesalahan atau kelemahan kepemimpinannya diumbar di sosial media secara vulgar. Segala aib pun pasti akan langsung direspon publik dan menjadi konsumsi netizen yang secara bebas akan komentar apa saja sesuai selera masing-masing. Dan anehnya, tak berlaku sebaliknya, ketika seorang pemimpin OPZ melakukan kebaikan atau mampu mendorong pencapaian-pencapaian yang baik, bahkan bisa mengukir sejumlah prestasi yang membanggakan bagi OPZ, belum tentu para pimpinan OPZ ini dianggap berhasil. Keberhasilan pemimpin OPZ tadi, kadang diapresiasi sekedarnya dan dianggap wajar dan lumrah dilakukan sebagaimana tugasnya selaku pimpinan di organisasi pengelola zakat.

 

Pemimpin dan Kerja Keras

Dibalik beratnya amanah yang diberikan dipundak para pemimpin OPZ, anehnya kadang masih ada orang-orang yang secara terbuka menginginkan masuk menjadi bagian inti manajemen OPZ. Sejumlah orang ini kadang kurang memahami dan mendalami esensi terdalam tugas dia kelak menjadi pemimpin di OPZ. Sejumlah pihak malah merasa mendapatkan keberuntungan atau prestasi ketika akhirnya ia dianugerahi beban kepemimpinan di lingkaran utama sebuah OPZ. Padahal menjadi pemimpin OPZ juga harus siap bekerja lebih keras dan lebih banyak dari mereka yang ia pimpin.

Mereka yang ketika memimpin OPZ menjadi teladan umumnya adalah yang mau bekerja keras dan berani mengambil risiko. Ia bahkan bukan hanya mampu menunjukan ia bisa dan bahkan terbiasa kerja keras, namun juga mampu membangun budaya kerja keras sekaligus membangun kekuatan dan kerjasama tim. Dalam posisi kepemimpinan yang ada, budaya kerja pemimpin menjadi penting adanya karena ia juga laksana virus, bisa menular dan menjadi kebiasaan di internal organisasi.

Menjadi pemimpin di lingkaran utama OPZ adalah sejatinya menjadi juga menjadi teladan untuk budaya kerja keras organisasi. Seorang pemimpin tak memiliki ruang leluasa untuk berkeluh kesah, apalagi menunjukan sikap malas, mau menang sendiri dan tak berani mengambil keputusan yang berisiko. Ia juga harus menyadari bahwa seorang pemimpin, termasuk di OPZ yang ia kelola ditakdirkan untuk bekerja lebih keras sepanjang amanah yang ia emban. Ia harus juga siap untuk lebih mencurahkan perhatian dan membangun perilaku produktif; lebih berani menerobos resiko dan mampu mengkahi situasi yang ada secara lebih baik.

Di luar itu, masih ada sikap pemimpin OPZ yang harus dimiliki yakni lebih siap untuk menerima tekanan dan tahan terhadap segala perubahan dan dinamika organisasi, baik di linkungan internal OPZ maupun lingkungan eksternalnya. Ia juga harus lebih siap menaklukkan setiap rintangan dan hambatan yang ada di OPZ-nya maupun dalam lansekap dunia zakat dengan integritas yang tinggi.

Pemimpin OPZ adalah energi. Dan pemimpin OPZ pula yang bisa membangun spirit sekaligus menginspirasi seluruh SDM yang ada.Ketika pemimpin OPZ sangat semangat dan bekerja dengan keras, maka seluruh SDM yang ada tanpa diberi perintah atau di dorong dengan keras mereka akan dengan senang hati menunjukan hal yang sama. Akan ada antusiasme dari tim yang ada di OPZ yang juga akan menjadi aura bersama diantara orang-orang yang ada di OPZ tersebut.

Sebagaimana energi, ia akan merambat melewati raung dan waktu di sekitarnya. Perlahan pemberdayaan internal organisasi akan tercipta dan menghadirkan semangat kerja bersama-sama tanpa kenal lelah. Di kemudian hari, secara alamiah satu demi satu pemimpin baru di lingkungan OPZ-nya akan lahir. Ia akan menyerap semua energi, vitamin dan pupuk kebaikan disekitarnya dan segera akan menumbuhkan ruas-ruas baru pohon kepemimpinan berikutnya.

Pemimpin OPZ yang berenergi tak takut tersaingi oleh kader-kader baru yang ia tumbuhkan. Bahkan ia sejak awal justru memberikan ruang untuk berdinamika dan mengasah jiwa kepemimpinan setiap orang yang ada dibawahnya. Seiring waktu pemimpin OPZ yang berenergi mungkin akan menua dan bahkan mati, namun semangat, dedikasi dan spirit perjuangannya tak akan pernah bisa dikuburkan dalam gundukan tanah seberapapun dalamnya.

Energi adalah kekal, ia boleh jadi terkubur tenang di kedalaman bumi, namun semangatnya tetap menyala dalam jumlah yang mungkin malah lebih besar dan luas dari spirit awal yang pernah dibawa seorang pemimpin OPZ. Lalu, apakah selesai tugas seorang pemimpin OPZ ketika ia bisa membangun organisasinya dengan baik? Ternyata jawabannya belum.

Ia juga punya tanggungjawab lain yang ada diluar organisasinya. Ia tak cukup membantu internal organisasinya, lingkungan diluarnya juga memerlukan sentuhan untuk diperbaiki. Ibarat angsa dalam formasi terbang yang saya ceritakan di awal, seluruh bagian dari rombongan migrasi angsa ini punya tanggungjawab mengawal setiap angsa yang ada menuju tujuan akhir perjalanan.

Demikian juga dengan para pimpinan OPZ, ia juga punya kewajiban membangun iklim gerakan zakat Indonesia untuk terus tumbuh dengan baik dibawah seluruh aturan dan regulasi yang sungguh-sungguh ditaatinya bersama-sama. Di luar itu, diperlukan juga koordinasi dan suara bersama yang menunjukan kehadiran, perhatian dan juga kesadaran bersama untuk membawa gerakan zakat menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Ini bukan utopia, apalagi khayalan yang tak ada dasarnya. Kini dihadapan gerakan zakat, ada 27,7 juta rakyat Indonesia yang berkategori miskin sebagaimana rilis BPS di akhir Maret 2017. Gerakan zakat memang bukan satu-satunya pihak yang bertanggungjawab akan hal ini. Apalagi masih ada pemerintah yang jauh lebih mampu melakukan upaya sistematis menurunkan tingkat kemiskinan di negeri ini. Gerakan zakat diminta atau tidak partisipasinya, harus didorong oleh para pimpinan OPZ-nya untuk bersatu padu membangun solusi yang nyata untuk membantu tugas negara mengurangi kemiskinan sekaligus gap antara orang-orang kaya dengan mereka yang belum beruntung secara ekonomi.

Gerakan zakat juga perlu saling berkoordinasi dan berkomunikasi untuk membangun iklim sistem tata kelola gerakan zakat yang krdibel, profesioanl dan akuntabilitasnya baik. Ini soal kesediaan berbagi peran dan berbagi tanggungjawab, jadi tak soal ia lembaganya apa atau seberapa besar kapasitasnya. Setiap OPZ dengan dipimpin oleh para leader-nya harus memiliki inisiatif memajukan gerakan zakat dan memastikan setiap pelaku di gerakan zakat memiliki kesadaran untuk bergandengan tangan bersama. Tak peduli seberapa susah dan beratnya perjalanan bersama dalam menuju titik akhir gerakan, yang jelas setiap bagian dari gerakan, ibarat ada amgsa yang sakit ketika terbang, harus ada bagian yang dengan penuh kesadaran tinggi bersedia menunjukan aksi nyata-nya untuk saling memperhatikan dan membantu sama lain.

Wallahua’lam bishowwab.

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah (9) : 105).

Ditulis dalam perjalanan Surabaya-Semarang, dan diselesaikan di akhir fajar Hari Selasa, 29 Agustus 2017.

*). Nana Sudiana, Direktur Pendayagunaan Laznas IZI & Ketua Bidang Jaringan dan Keanggotaan Forum Zakat (FOZ).