Forum Organisasi Zakat (FOZ) juga mulai menambah kesadaran para lembaga zakat agar memiliki social enterprise atau unit bisnis sosial. Tentunya bisnis tersebut harus bersifat halal, tidak melanggar ketentuan agama, sekaligus dibolehkan undang-undang.
Dengan begitu, lembaga zakat mempunyai sum ber pendapatan baru untuk menyubsidi biiaya-biaya operasional ketika menjalankan fungsi lembaga sosial, termasuk lembaga zakat.
“Contohnya lembaga Nurul Hayat, mereka tidak mengambil porsi asnaf amil 12,5 persen karena biaya salary manajemennya ditutup dari pendapatan bisnis akikahnya,” kata Ketua Umum FOZ, Bambang Suherman.
Bambang berharap lembaga zakat lainnya bisa mencontoh Nurul Hayat. Jika lembaga memiliki sumber pendapatan baru selain zakat, kesejahteraan amil zakat bisa dijaga.
Cendikiawan Muslim Prof KH Didin Hafidhuddin berharap harus ada standar gaji untuk amil ke depan. Dia menjelas kan, para amil juga memiliki keluarga sehingga perlu diperhatikan biaya hidupnya meliputi kesehatan dan pendidikannya.
Meski demikian, ia menegaskan, kesejahteraan amil bukanlah fokus utama, sebab kesejahteraan para penerima zakat atau mustahiklah yang harus diutamakan. “Jadi, amil zakat jangan mendahulukan gaji tapi dahulukan kerjanya karena menjadi amil orientasinya bukan gaji,” kata Prof Didin kepada Republika belum lama ini.
Menurut dia, amil zakat harus mengurusi mustahik sepanjang waktu. Misalnya, dengan mendatangi lokasi kemiskinan dan melihat kondisi rumah fakir miskin.
“Amil itu harus terjun ke lapang an serta punya data komplit dan akurat terkait kemiskinan, itu baru amil yang kerjanya full time dan memikirkan mustahik. Jadi, jangan menunggu diam di kantor, itu bukan amil,” katanya.
Prof Didin menjelaskan, amil zakat bukanlah pegawai biasa karena profesi ini berkaitan dengan agama. Bahkan kata dia, Allah memuliakan profesi amil sebab sudah memuliakan manusia de ngan menyejahterakan orang-orang mis kin. Dengan begitu, kualitas amil juga harus ditingkatkan.
Baginya, amil zakat harus bisa menjadi sahabat mustahik, pandai berkomunikasi, pintar dalam ilmu fikih zakat, serta berhati baik. “Di zaman Nabi Muhammad SAW, para sahabat nabi yang terkemuka seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Mu’adz bin Jabal merupakan amil zakat yang dikenal pintar, genius, juga amanah. Jadi bu kan sekadar pegawai biasa,”tegas mantan ketua Baznas ini.
Sumber: Republika.co.id