Oleh: NUR EFENDI (Ketua Umum Forum Zakat Nasional)
Membuka tulisan ini, saya harus menyampaikan selamat kepada pegiat zakat dan para amil di Lembaga Manajemen Infaq (LMI), yang akhirnya mendapat legalitas sebagai lembaga amil zakat nasional (Laznas). Pencapaian ini bisa disebut sebuah prestasi, tentu setelah melalui berbagai persyaratan yang harus dipenuhi. Beberapa lembaga amil zakat masih berjuang untuk mendapatkan predikat itu.
LMI berdiri tahun 1995 sebagai Lembaga Amil Zakat tingkat Propinsi Jawa Timur. Saya melihat LMI makin tumbuh dan berkembang menjadi lembaga kemanusiaan yang mengedepankan kecerdasan emosi, keterbukaan dan kepekaan dalam merancang program kemanusiaan serta bertanggung jawab dan menjunjung tinggi kredibilitas semua pihak. Semua itu semakin kukuh dengan terbitnya Keputusan Menteri Agama RI Nomor 184 Tahun 2016 tentang Surat Keputusan sebagai LAZNAS kepada Yayasan LMI Ukhuwah Islamiyah.
Dengan adanya legalitas, maka tugas besar menanti di depan. Apa sesungguhnya sasaran yang hendak dicapai dari zakat dan filantropi Islam? Zakat dan dan filantropi Islam seharusnya memiliki sasaran ganda, yakni perubahan individual dan perubahan kolektif. Pertama, mengubah individu menjadi manusia peduli, lebih dari sekadar memberi. Kedua, mengubah tatanan sosial/kolektif untuk membangun kultur tanggung jawab sosial dan kesejahteraan bersama.
Nah, dalam pembacaan kami di Forum Zakat (FOZ), setidaknya da delapan tantangan yang harus kita jawab secara berjamaah. Tantangan ini muncul dalam pemetaan secara nasional.
Pertama, sosialisasi pemahaman umat Islam Indonesia yang rendah terhadap zakat. Masih banyak yang berpikir zakat hanya dilakukan saat Ramadhan. Itu pun hanya zakat fitrah. Padahal ada kewajiban lain, yaitu zakat maal seperti zakat penghasilan. Belum lagi bentuk derma lainnya seperti infak dan sedekah. Sosialisasi harus lebih massif dilakukan oleh lembag zakat.
Kedua, masih banyak umat Islam yang tidak menyalurkan zakatnya melalui lembaga resmi, sehingga tidak tercatat. Hal itu disebabkan kurangnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga amil zakat, infak dan sedekah. Nah, posisi Laznas LMI dan LAZ lain yang telah mendapat izin operasional dari Kementerian Agama penting untuk meyakinkan publik tentang legalitas, transparansi dan kompetensi lembaga. Ini untuk menaikkan public trust terhadap kelembagaan.
Karena rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat, sebagian muzaki bahkan ada yang membagikan zakatnya secara langsung. Seperti mengundang fakir miskin untuk membagikan uang dan paket sembako. Penyaluran zakat seperti ini tentu tidak memiliki dampak yang besar karena sifatnya sangat konsumtif dengan tujuan sesaat.
Lembaga amil zakat harus meningkatkan akuntabilitas dan profesionalitas. Selain itu perlu melakukan inovasi dan pembaharuan di dalam mengelola zakat sehingga masyarakat memiliki kepercayaan untuk menyalurkan zakatnya melalui amil zakat.
Ketiga, tantangan yang harus dihadapi oleh organisasi pengelola zakat adalah memberikan muzaki kemudahan dalam membayar zakat. Muzakki, yang masuk kelas menengah ke atas ini, sangat mengutamakan kemudahan layanan termasuk dalam bentuk layanan yang ramah teknologi sehingga di kemudian hari, sudah seharusnya, organisasi pengelola zakat membentuk unit-unit pengumpul zakat hingga ke tingkat kelurahan atau di setiap kompleks perumahan elit. Selain itu, peran teknologi masih menyimpan banyak peluang untuk dimanfaatkan sebagai suatu bentuk kemudahan.
Tantangan keempat, organisasi pengelola zakat harus mampu membuktikan bahwa zakat sangat efektif untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin. Sayangnya, organisasi pengelola zakat belum memiliki data yang kongkret mengenai tingkat efektifitas zakat yang telah diberdayagunakannya. Belum ada data yang menjelaskan seberapa banyak masyarakat miskin yang berhasil keluar dari garis kemiskinannya.
Kelima dan ini terkait dengan tantangan keempat yaitu bagaimana mendorong pemerintah agar menempatkan zakat secara layak. Selama ini, organisasi pengelola zakat seperti berada pada dunia yang lain dalam konstelasi perekonomian Indonesia. Seandainya organisasi pengelola zakat mampu membuktikan bahwa zakat cukup efektif dalam mengentaskan kemiskinan bukan tidak mungkin pemerintah akan lebih memprioritaskan penyelenggaraan zakat ketimbang instrumen lainnya.
Tantangan keenam yang harus dijawab oleh organisasi pengelola zakat adalah membuktikan bahwa organisasi pengelola zakat seperti LAZ dan BAZ mampu bersinergi. Di saat segala persoalan semakin kompleks, dengan sinergi segala persoalan bisa diatasi dan apapun bisa dikerjakan dengan baik. Muzakki membutuhkan karya monumental organisasi pengelola zakat dan mustahik sedang menanti perbaikan bagi kehidupannya.
Ketujuh, pengelolaan dan penyaluran dana zakat dan filantropi yang baik dan terencana. Dengan meningkatnya kedermawanan umat Islam dapat meningkatkan kesejahteraan sosial dalam bidang kesehatan, pendidikan, sosial dan pemberdayaan ekonomi. Zakat memiliki pengaruh dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan mempersempit kesenjangan pendapatan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat yang baik dan terencana mampu mengentaskan kemiskinan, paling tidak menguranginya.
Dengan potensi yang sangat besar dan berbagai tantangan dalam pengelolaan dana filantropi islam, masih banyak pekerjaan rumah bagi semua stakeholder dana zakat dan filantropi tidak hanya pemerintah ataupun lembaga zakat, melainkan termasuk masyarakat selaku penyumbang dan penerima.
Lembaga amil zakat profesional tentu tidak sembarangan mendistribusikan zakat. Seperti Laznas LMI yang sudah memiliki banyak program. Zakat tidak hanya dimanfaatkan untuk satu tujuan saja. Bahkan, sebagian di antaranya dikelola menjadi zakat produktif untuk kepentingan umat.
Saya melihat ada program layanan dakwah, program layanan terintegrasi yang meliputi pengajian, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi pada masyarakat binaan LMI. Juga ada Beasiswa Penghafal Qur’an, Peduli Guru Qur’an, Peduli Da’i. Di wilayah pendidikan, LMI memiliki Program Pintar, aktivitas pendidikan yang menyasar sekolah dan guru. Selain itu ada program penyaluran bantuan biaya sekolah dan biaya hidup yang disertai pula dengan pembinaan secara berkala kepada anak yatim usia sekolah (SD, SMP, SMA) dari keluarga kurang mampu.
Di wilayah kesehatan, LMI memiliki Program Sehati, yang mendirikan Rumah Bersalin Cuma-Cuma, Santunan Sehati, dan Banana Sehati, yaitui pemberian bantuan langsung kepada korban bencana alam berupa makanan, minuman, obat-obatan, dan kebutuhan darurat yang lain. Sementara di wilayah ekonomi, LMI melakukan pemberdayaan ekonomi dengan pemberian modal usaha dan pembinaan kepada masyarakat kurang mampu yang sudah mempunyai usaha mikro.
Saya mengucapkan selamat berjuang bagi Laznas LMI, yang telah mendapat legalitas resmi dari Kemenag. Selanjutnya, mari bersama elemen zakat se-Indonesia menjawab tantangan yang telah saya jabarkan di atas. Jika tantangan itu bisa kita selesaikan secara berjamaah, mari lihat hasil yang luar biasa bagi kontribusi zakat untuk Indonesia tercinta ini. Mari bergandengan tangan.[]