Forumzakat – Forum Zakat menggelar Uji Publik Naskah Akademik dan RUU Tentang Pengelolaan Zakat, pada Rabu, (20/4/2022) di UPT TIK UIN Syarif Hidayatullah secara hibrida. Agenda ini diikuti oleh akademisi dan praktisi zakat dari pelbagai tingkatan.
Ketua Bidang II Advokasi Forum Zakat, Arif R Haryono, mengatakan Forum Zakat telah mendorong reformasi tata kelola zakat melalui perubahan regulasi. Adapun proses penyusunan usulan telah dimulai dari tiga tahun lalu, dari kaji empirik hingga penyusunan naskah akademik dan draft usulan perubahan UU Pengelolaan Zakat.
“UU Pengelolaan Zakat ini menjadi perhatian kita bersama selaku pegiat zakat, kita sadari bahwa UU Zakat tersebut memiliki banyak kekurangan yang perlu diperbaiki,” kata Arif. “Kami telah meminta masukan dari ahli, dan kini kami meminta masukan dari publik. Agar dokumen yang diusulkan tidak hanya mumpuni dari sisi akademik, juga kuat dari aspek sosiologis”, imbuhnya.
Perwakilan dari LAZ Al Azhar, Ilham Zamzani mengatakan pandangannya terkait UU Zakat yang berlaku saat ini yang menempatkan BAZNAS pada dua fungsi yaitu operator dan regulator. “Kami menyepakati gagasan adanya BZI (Badan Zakat Indonesia) yang mengatur hal-hal terkait dengan regulasi zakat. Saat ini di LAZ Al Azhar, proses perizinan LAZ Al Azhar Jawa Tengah yang lama, sebab BAZNAS fokus pada fungsi sebagai operator dan sibuk pendistribusian,” tuturnya.
Senada, Ketua Badan Pengurus Lazismu Pusat, Mahli Zainuddin Tago menyepakati pemisahan fungsi regulator pada BAZNAS. “LAZISMU telah mendiskusikan secara internal usulan rancangan undang-undang versi Forum Zakat. Kami menyetujui OPZ terdiri dari LAZ dan BAZ yang mana izin pendiriannya kepada Kementerian Agama. LAZISMU juga mengusulkan bahwa perizinan LAZNAS perlu disederhanakan hingga tingkat daerah. LAZISMU mengusulkan, dengan 1,000 cabang lebih di seluruh Indonesia, semestinya tidak perlu lagi mengurus izin di tingkat daerah jika izin di pusat telah diberikan,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Bamuis BNI, Sudirman menyampaikan saran dan rekomendasinya untuk RUU Zakat. “Ke depan, BZI ini yang memberikan perizinan operasional untuk LAZ. Kemudian, BZI ini yang melakukan pemeriksaan terhadap OPZ, BAZ, LAZ dan UPZ baik secara berkala maupun pada waktu yang diperlukan,” jelasnya.
Selain itu, Sudirman juga mengungkapkan pengalamannya mengelola zakat di BUMN pasca UU zakat. “Kegiatan zakat dimulai di lingkungan BUMN menjadi sejarah bangkitnya pengelolaan zakat. Bamuis BNI mulai dari tahun 1970 namun dengan UU Zakat dan Perbaznas menjadi tersingkirkan. Salah satunya, pola sharing 70:30 antara OPZ dan BAZNAS menjadi disintensif bagi lembaga yang baru berkembang karena dana kelolaan belum mencapai pendapatan/hak amil yang mampu mensejahterakan pegawai,” bebernya.
Sementara, Public Interest Research and Advocacy Public (PIRAC), Nor Hiqmah turut membeberkan permasalahan UU Zakat yang berlaku diantaranya sentralisasi pengelolaan zakat, potensi kriminalisasi amil tradisional, pelaku restriktif dan diskriminatif yakni tidak adanya dukungan untuk LAZ.
“Sedangkan BAZ telah mendapat dukungan dari APBD, tidak adanya intensif pajak bagi OPZ, rezim birokrasi yang mempersulit perizinan, tidak adanya dukungan penguatan SDM, belum diaturnya pengumpulan zakat berbasis digital,” jelasnya. Peran negara, lanjutnya, dalam pengelolaan zakat seharusnya memberikan perlindungan hukum pengelolaan zakat, mempermudah proses pendaftaran LAZ, perlindungan profesi amil dan tata kelola serta literasi zakat.
Direktur Utama LAZIS Baiturrahman Slamet Surahmat, mengatakan naskah akademik ini perlu diperkuat dari kajian teologis. “Di Indonesia, Zakat bersifat partisipatori. Sejarahnya dulu para wali menggunakan zakat untuk modal dakwah, serta zakat dijadikan sebagai bukti kekuatan raja, dengan memberi perhatian kepada rakyatnya contohnya seperti kerajaan di jawa. Inilah yang menjadi keunikan Indonesia dan menyarankan untuk melakukan pendampingan teologi kepada ulama besar untuk menyeragamkan pemahaman yakni zakat juga bisa bersifat partisipatif berdasarkan kultural bangsa indonesia, dan OPZ menjadi tangan panjang negara dalam menghimpun dan menyalurkan dana zakat. Zakat bisa dikelola oleh masyarakat tidak hanya oleh pemerintah saja,” bebernya.
“Banyak peraturan yang tidak sinkron dan salah seperti bila ditinjau dari tata kelola negara sebenarnya BAZNAS lebih tinggi dari Kemenag karena BAZNAS dipilih oleh DPR dan bertanggung jawab kepada rakyat melalui presiden. Sedangkan Kemenag adalah pembantu presiden. Namun dalam UU tertuang bahwa Kemenag mengawasi BAZNAS,” tandasnya.
Selain itu, terdapat masalah akibat tumbuhnya BAZNAS yang terlalu cepat karena didukung oleh APBD sehingga menyebabkan BAZNAS pusat dan daerah saling bersaing seperti kasus penempatan spanduk BAZNAS pusat dan daerah yang bersebelahan. “Terdapat konflik of interest di dalam BAZNAS karena surat rekomendasi dan kepentingan politik sehingga dana penyaluran zakat disalurkan kepada politik eksekutif Kemenag terutama menjelang pemilu, apalagi pengelolaan dana zakat tidak diaudit. Terdapat pula pengalaman yang bercerita bahwa terdapat kebingungan di dalam pegawai BAZNAS karena dalam penyaluran dana zakat harus mendapatkan izin dari pihak eksekutif dan sekretaris daerah. Harapannya bisa diminimalisir dari pasal di RUU ini, karena pada uu zakat terlalu bersifat umum,” tuturnya.
Perlu diperkuat penyelarasan UU zakat dengan UU lainnya serta penyelarasan stakeholder yang berkaitan dengan ekonomi keuangan syariah terutama dengan KNEKS dan wakaf. “Setuju bahwa zakat dan wakaf digabung dan tetap menjadi ziswaf atau tidak terpisah. Sebab wakaf membutuhkan biaya operasional yang bisa diambil dari infaq sedekah. Perjelas juga hubungan antar stakeholder yakni BAZNAS, Kemenag dan BZI. Dan lebih baik jangan membuat lembaga baru, namun memperkuat Kemenag,” tegas Slamet.
Terakhir, ia mencontohkan di Turki, riset pertahanan dibiayai oleh Ziswaf. “Maka di Indonesia bisa melakukan hal serupa, dana zakat bisa dialokasikan untuk sektor agraris karena sebagian besar petani di indonesia dikuasai oleh pemodal,” kata dia. (*)